PROSES KREATIF
KARYA SASTRA
ANALISIS CERPEN
“PEREMPUAN BALIAN”
KARYA : SANDI
FIRLY
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi
Sastra
Dosen Pembimbing : M.Bayu Firmansyah, M.Pd
Disusun oleh Kelompok 4:
NikmatulMaulia (15188201027)
Niswatul Khasanah (15188201028)
Nur Maulidia Ratnaningsih (15188201031)
SEKOLAH TINGGI
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI
PASURUAN
PRODI PENDIDIKAN
BAHASA INDONESIA 2015/A
aPerempuan Balian
Oleh: Sandi Firly
Sebelum
peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai
perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan
tentang mimpimimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada
ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang
menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”
Idang memang
tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia
suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki
anak lakilaki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan
terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku banyak
menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanyakepada
teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia
perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa
kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita
kepadaku menirukan ucapannya.
Tabiat ini
kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian,
seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang
karena karismanya sanggup memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang
dari kampung-kampung jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih
dulu tiada, tak tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya,
kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan hidup
hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam,
penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya,
maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular
dan ayahnya.
Balai Atiran
terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung
itu. Enam keluarga yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk
di depan pintu bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu
yang terbuka itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka
menjamu, menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang
malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
Barisan-barisan
tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu
sebagian datang dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang
langit di atas jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak
berbulan. Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum
menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak.
Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran
yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang
bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah
dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah
kuali besar.
Para undangan
sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat
sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin
balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di
tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat
upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang
lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila.Kepalanya dibebat kain.
Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit
jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad.
Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan
batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang
Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh.
Segala berpusat
pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot
seperti kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam
mantra-mantra dan tarian purba.
Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang
seperti melayang, membayang,
tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran
waktu yang terus beringsut
susut.
Tiga tubuh
terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam
rampak tabuh gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang
tak pernah terduga.
Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai.
Menggetarkan udara yang berkibarkibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas,
tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para
balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai
layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
Balai itulah
cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya
tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual
untuk si sakit.
Tubuh kecil
kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya
tulangtulang berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang
cepat meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan
ceruk kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih
menyimpan kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut
ingin melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk.
Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama
tari tiga balian.
Diisap buyu,
penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah
balai.Tubuh yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara
kematian. Darah, daging,dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan
kering, serupa hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan
hantu-hantu besi bernama buldoser dan gergajidengan sang kendali pemakan
segala; manusia.
Sudah satu
bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga
malam tiga balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah
menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat
mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam
ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala
permohonan dan doa telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala
syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit
tetap
terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu
lidinya menjentik-jentik lantai.
Tiga balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak
gendang dan denting gelang
yang tiada sepi.
Seorang ibu
muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai.
Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut
berhari-hari tak tersisir tangan
dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini
nyawanya tengah di awang-awang
dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala
perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu seorang
ibu yang menjaganya. Sang
ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran upacara,
sesekali menengok kepadanya.
Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar
mendampingi anak
semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di
lubuk hati, ia
sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang
anak diambil sang ilah.
Seperti
menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian,
seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari.
Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian
mana pun juga, dengan
diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki
terhenti. Orang-orang tersihir,
terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya
perempuan itu yang
menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar,
menari, merapalkan mantra
dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus
panjang.
Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Tak ada seorang
pun yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda
berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh
peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah
balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit
sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya
telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh
tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka,
bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan berucap,
”Ayah....” Panggilannya pelan namun jelas.
Seketika saja,
orang-orang menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu
langsung memeluk dan menciuminya. ”Anakku... anakku... anakku..,” ucap keduanya
sembari menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah
terlepas dari maut.
Seolah
tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan
muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja
mulut-mulut bergeremeng
seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol.
”Siapakah dia?”
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap
sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang
kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu
mengangkat tubuh perempuan itu
ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.
Orang sekampung
tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba
menjadi balian, menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang,
seorang perempuan menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi
pinjulang, pembantu dukun
laki-laki.
Tapi malam itu,
Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengahtengah upacara.
Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah
dibaca para balian.
”Ini menyalahi
adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila,
bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang
lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski
berseberangan meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu
lelaki muda sembari
mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang
lagi setelah meneguk kopi
hitamnya.
Dengan wajah
agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang
balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan
ditimpa
bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.”
Setelah membayar
kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil
menggerutu, ”Celaka... celaka...
celaka.”
Setelah lelaki
tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa
dan malu karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga
malam.”
Aku melakukan
hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera
memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu
melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah
berakhir.
Selama
perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu,
benakku terus dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan
lelaki tua di warung yang
mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah, makna
apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung
itu akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari
perutnya.
Judul
: Perempuan Balian
Karya
: Sandi Firly
Sinopsis
Seorang gadis kecil yang bernama
Idang yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Ibunya meninggal saat
melahirkannya dan ayahnya meninggal ketika ia berusia 12 tahun. Kini sekarang
ia tinggal bersama neneknya. Seiring berjalannya waktu Idang dikenal sebagai
perempuan yang kurang waras. Karena ia sering mengamuk dan memanjat pohon serta
masuk ke dalam hutan-hutan terlarang yang biasanya dilakukan oleh anak
laki-laki. Suatu ketika ada upacara adat
yang mendatangkan Balian (dukun yang tersohor) dan berbagai macam ritual Balian
yang sedang menyembuhkan anak yang hampir menjemput mautnya tiba-tiba ia datang
disekerumpulan orang dengan menari-nari dan membacakan mantra-mantra yang tak
pernah dibaca oleh Balian manapun serta diiringi oleh denting gendang dikedua
tangannya.Keajaiban muncul ketika Idang membaca mantra-mantra itu dengan tariannya
yang mampu menyembuhkan anak yang hampir mati, mulai ada tanda-tanda kehidupan
dan sembuh dari penyakitnya. Setelah peristiwea itu orang-orang disekitarnya
menyebut Idang sebagai Perempuan Balian.
Latar Belakang Pengarang dalam
menciptakan cerpen yang berjudul
“Perempuan Balian” Karya Sandi
Firly
Sandi Firly lahir di Kuala Pembuang, Kalimantan
Tengah 16 Oktober 1975. Saat ini masih bekerja sebagai jurnalis dan karangannya
yang paling terkenal adalah novel yang sering ia muat di blog pribadinya. Salah
satu novelnya dengan judul “ Lampau ” yang telah di selesaikannya dalam waktu
sekitar 3-4 bulan. Novel Lampau semula berawal dari cerita pendek yang
pengarang tulis dengan judul “ Perempuan Balian “ (cerpen ini di terbitkan
koran kompas pada juni 2012, dan kemudian juga terpilih dan termuat dalam buku
cerpen pilihan kompas 2012). Namun pengarang merasa cerita tentang Perempuan
Balian masih bisa ia tulis lebih panjang dalam bentuk sebuah novel. pengarang
mengaku memiliki pengalaman terhadap setting cerita, yakni Loksodo, sebuah
kecamatan di pedalaman Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, yang sebelumnya
sudah berkali-kali pengarang kunjungi. Salah satu ritual yang menarik di
Laksodo adalah upacara aruh yang biasanya dilaksanakan saat memulai masa tanam,
panen, serta pengobatan. Ritual ini biasanya di pimpin oleh seorang Balian,
yang merupakan tokoh masyarakat. Dan tokoh ini harus seorang laki-laki, dalam
struktur setempat tidak dikenal seorang
perempuan menjadi Balian. Paling tinggi jabatan seorang perempuan hanyalah
sebagai pinjulang, atau pembantu Balian laki-laki. Lalu pengarang mengandaikan
bagaimana bila ternyata ada seorang perempuan yang memiliki ilmu setara dengan
seorang Balian laki-laki. Dan pada akhirnya pengarang pun membuat cerpen dengan judul “ Perempuan Balian”.
Konsep
Konsep yang digunakan dalam cerpen Perempuan Balian
karya Sandi Firly adalah Ratna (2004: 344-346), proses kreatif merupakan salah
satu model yang banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan psikologis. Karya
sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis yang sering dikaitkan dengan
gejala-gejala kejiwaan, seperti opsesi, kotemplasi, kompensasi, sublimasi,
bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itulah, karya sastra disebut sebagai salah
satu gejala (penyakit) kejiwaan.
Analisis
Karya Sastra Cerpen “Perempuan Balian” Karya Sandi Firly
Kata
Kunci : Kontemplasi, Kompensasi, Sublimasi, Neurosis,
Obsesi
Data 1
Termasuk ke dalam gangguan jiwa obsesi, karena tokoh
Idang tersebut mengalami guncangan jiwa yang diakibatkan oleh mimpi-mimpinya
yang aneh. Gangguan jiwa yang dialami tokoh Idang tersebut berupa pikirannya
yang tergoda oleh mimpi-mimpi anehnya dan sangat sukar dihilangkan. Kondisi
guncangan tokoh Idang dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
1. “Sebelum peristiwa malam itu yang akan
kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk
kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada
orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku.
Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga
aku sering bertemu Ayah.”
Interpretasi:
·
Tokoh
aku menceritakan seorang gadis yang menggalami guncangan jiwa.
·
Kesehariannya
gadis itu bertindak dan bersikap yang kurang wajar tidak seperti gadis yang
lainnya.
·
Gadis
itu menuturkan kepada semua orang apa yang sedang dilihat dan dirasakan dalam
dunia khayalnya.
2. ”Aku
banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena
cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku
tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,”
seseorang bercerita kepadaku menirukan ucapannya.
Interpretasi:
·
Idang bercerita kepada anak-anak seusianya bahwa ia berkawan dengan
makhluk yang tak kasat mata.
·
Akibatnya anak-anak seusinya mulai menjauhinya secara perlahan, karena
cerita yang disampaikan Idang tidak masuk akal.
·
Tetapi Idang tidak merasa kesunyian dalam hidupnya.
·
Kawan-kawan Idang di alam lain justru lebih banyak dibandingkan di
dunianya sendiri, kata seseorang yang menirukan ucapan Idang.
Data
2
Termasuk gangguan kompensasi, karena tokoh Idang
disini mencari kepuasan dalam dirinya sendiri tanpa ia sadari perilaku itu baik
atau tidak. Kepuasan tersebut didapatkan Idang dengan perilaku yang tidak
seharusnya dilakukan oleh anak perempuan seusianya, justru perilakunya seperti
anak laki-laki. Kepuasan yang dialami tokoh Idang tersebut merupakan pencarian
kepuasan dalam dirinya sendiri untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan
yang dialaminya. Kondisi kepuasan dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:
“Idang memang tak seperti kebanyakan
perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal
yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga
kerap melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan
terlarang.”
Interpretasi:
·
Bentuk tingkah
laku yang tidak sesuai dengan mestinya sebagai seorang gadis yang tinggal di
sebuah desa yang terpencil.
·
Tindakannya sama
sekali tidak mencerminkan perilaku seorang gadis.
·
Dia lebih suka
berteman dengan kesunyian dari pada suasana keramaian.
Data
3
Termasuk gangguan kontemplasi,
karena tokoh Idang memfokuskan pada kehidupannya yang sangat memprihatinkan
sehingga ia merenungkan dengan pikirannya sampai ia menjadi gadis yang pendiam.
Bukti kutipan bahwa tokoh Idang mengalami gangguan kejiwaan komtemplasi:
1. “Dengan hidup hanya ditemani nenek dari
ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia
bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang
mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya.”
Interpretasi:
·
Selama
ini Idang hanya tinggal bersama wanita paruh baya.
·
Dia
tumbuh menjadi gadis yang kurang berkomunikasi dan sukar bergaul dengan anak
seusianya.
·
Idang
selalu bercerita tentang mimpi-mimpinya yang tidak masuk akal pada anak seusianya.
2. “Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang
dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya
dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup
memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampong kampung jauh.
Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong
saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang
dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.”
Interpretasi:
·
Almarhum ayah Idang terkenal sebagai seorang Belian yang dikagumi semua
orang.
·
Karisma ayahnya sanggup mendatangkan orang-orang desa maupun luar
desanya.
·
Ayahnya tutup usia ketika Idang masih anak-anak.
·
Ibunya meninggal saat melahirkannya
·
Ia disebut sebagai anak pembawa sial dalam kehidupan.
Data 4
Termasuk gangguan sublimasi, karena
tokoh Idang disini mengalami perubahan kearah satu tingkat yang lebih tinggi.
Tidak diduga bahwa gadis yang selama ini dianggap gila oleh orang-orang
ternyata dapat menyembuhkan orang yang sakit. Sehingga dia mendapat julukan
perempuan Balian. Bukti kutipan bahwa tokoh Idang mengalami gangguan kejiwaan
komtemplasi:
1.
“Tapi malam itu,
Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah tengah
upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak
pernah dibaca para balian dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya.
Tiga balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam
keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat
segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra
dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus panjang.”
Interpretasi:
·
Seorang gadis
belia yang tiba-tiba muncul ditengah-tengah acara yang sedang berlangsung.
·
Lalu ia
menggerakan tubuhnya, bersenandung dan membacakan
mantra-mantra dengan
bacaan yang tidak pernah dibacakan Balian manapun.
·
Seorang gadis
itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang sedang menyaksikan upacara adat
tersebut.
2.
“Ini
menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu
dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini
alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua
lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja denganmereka, masih
dapat mendengarkan ucapan itu. ”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,”
sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.”
Interpretasi:
·
Orang-orang
tidak pernah menyangka jika ada seorang gadis muda yang akan menjadi Balian.
·
Menurut mereka,
seorang gadis jabatannya tidak lebih dari seorang pembantu Balian laki-laki.
Namun ia bisa membuktikan bahwa seorang gadis bisa menjadi Balian.
·
Tetapi orang
yang selama ini mereka anggap gila ternyata mempunyai mantra-mantra yang tidak
ada satu pun Balian lainnya tahu.
·
Banyak orang
yang menyaksikan bahwa gadis itu berhasil menyelamatkan nyawa anak yang hampir
tiada itu dan menyembuhkan dari penyakit yang dideritanya.
·
Ketiga laki-laki
tersebut nampak kecewa karena mereka tidak berhasil menyembuhkan anak itu.
Kesimpulan
Pengarang disini
sebagai tipe / hukum karena pengarang hanya mengandalkan dari daya khayal atau
imajinasinya dalam menciptakan sebuah karya sastra cerpen yang berjudul
“Perempuan Balian” karya Sandi Firly.
Disini pengarang melihat kejadian pada cerpen yang diciptakannya. Hal ini dapat di buktikan dari biografi
pengarang (latar belakang) yang tidak ada hubungannya dengan cerpen (karya
sastra) yang diciptakannya.












