PSIKOLOGI PENGARANG
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Psikologi
Sastra
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.pd
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.pd
Disusun oleh kelompok : 1
1.
Ana Lutfiah (15188201002)
2.
Asa Ayu Sakinah (15188201004)
3.
Devi Putri Q (15188201006)
4.
Hasanah
(15188201009)
5.
Hesti
Liadarwati (15188201010)
6.
Lailiatuz Zainia (15188201016)
7.
Nida’ Qurrotul Firdaus
(15188201026)
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP
PGRI PASURUAN
PRODI
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA 2015/A
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah member
rahmat dan hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
psikologi pengarang dengan baik, sholawat serta salam kami sampaikan kepada
baginda Rosulluah Muhammad SAW.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah psikologi sastra yang berhubungan dengan prodi pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia di STKIP PGRI Pasuruan.Makalah berisi tentang materi yang akan
di pelajari
M.
Bau Firmasnyah, M.Pd selaku dosen
pembimbing mata psikologi sastra. Karena dengan bimbingan dan tutunan beliau
kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Serta teman-teman yang telah memberikan motivasi kepada kami sehingga kami
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat menambah
wawasan pembaca namun kami sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh
karena itu kami dengan senang hati akan menerima segala kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya,sehingga dimasa mendatang
makalah ini akan hadir lebih baik lagi.
Pasuruan, September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
COVER........................................................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................
1.1
Latar Belakang................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................. 1
1.3
Tujuan................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................
2.1 Memori Psikologis Pengarang........................................................... 2
2.2 Tipologi Psikis Pengarang.................................................................. 3
2.3 Psikobudaya Pengarang..................................................................... 5
2.4 Kepribadian Pengarang...................................................................... 7
BAB III PENUTUP...............................................................................
3.1
Kesimpulan ....................................................................................... 9
3.2
Saran.................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Psikologi pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi sastra yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra. Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan hubungannya dengan psikologi pengarang serta pengaplikasian psikologi pengarang terhadap karya sastra.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Psikologi pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi sastra yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra. Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan hubungannya dengan psikologi pengarang serta pengaplikasian psikologi pengarang terhadap karya sastra.
Secara teori, terdapat
hubungan antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional
seorang penulis akan berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan. Keadaan
yang bahagia tentunya dapat mengispirasi berbagai karya yang dihasilkan. Begitu
pula sebaliknya. Setiap
penulis memiliki doktrin dan kepercayaan sendiri-sendiri, maka seorang penulis
yang idialisme akan memunculkan sastra dengan terkadung nilai doktrin yang
kuat. Ketiga, melalui jenjang pendidikan. Karena pendidikan bertujuan mencetak
karakter maka penulis banyak menemukan karya sastra yang mengangkat
masalah-masalah pendidikan berangkat dari masalah pendidikan penulis sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang ada, diantaranya
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang ada, diantaranya
(1). Apa Memori Psikologis Pengarang ?
(2). Bagaimana Tipologi Psikis Pengarang ?
(3). Apa Psikobudaya Pengarang ?
(4). Apa Kepribadian
Pengarang ?
1.3 Tujuan Masalah
(1). Untuk mendeskripiskan pengertian tentang memori psikologis pengarang
(2). Untuk mendeskripsikan tentang
tipologis psikis pengarang
(1). Untuk mendeskripiskan pengertian tentang psikobudaya pengarang
(2). Untuk mendeskripsikan pengertian kepribadian pengarang
(1). Untuk mendeskripiskan pengertian tentang psikobudaya pengarang
(2). Untuk mendeskripsikan pengertian kepribadian pengarang
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
Memori Psikologis Pengarang
Memori
Psikologi Pengarang
Memori adalah persoalan siapapun,
termasuk pengarang. Pengarang dengan sendirinya akanmenggunakan memori untuk berkarya.
Sayangnya memori tersebut terbatas. Jarang pengarang yang dapat mengingat
seluruh hal. Bahkan, yang pernah dilihat dua atau tiga jam ynag lalu, sering
kali sudah tidak ingat lagi. Padahal, ingatan merupakan faktor psikis yang amat
penting bagi pengarang. Hanya melalui ingatan, karya dapat dibangun secara
intensif.
Yag perlu dikaji dalam kaitannya dengan
pengarang, menurut Wright (1991:149) adalah mencermati sastra sebagai analog
fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat memahami
seberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan
ketaksadaran yang bermanfaat. Proses penelitian semacam ini perlu hati-hati,
sehingga akan dapat di temukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang
tidak masuk akal, tetapi dalam sastra sah-sah saja.
Dalam permasalahan itu, saya tidak
menolak jika T.S. Eliot (Wellek dan Warren, 1989:94-95) memperkenalkan
pandangannya yang khas tentang penyair. Penyair juga tak akan lepas dari
fantasi kejiwaan, seperti dinyatakan Wright tadi. Bahkan, amat mungkin fantasi
dalam diri penyair semakin berlebihan. Penyair dianggapnya mengulangi kembali
atau tetap mempertahankan hubungan dengan masa kanak-kanaknya dan dengan masa
muda umat manusia, sementara ia melangkah ke masa depan. Karya sastra dalam
konteks ini, merupakan “rekam ulang” masa lalu tidaklah keliru. Rekaman itu
merupakan potret jiwa. Pemutaran ulang kejiwaan, tentu tidak sekedar yang
berasal dari dirinya, tetapi juga lingkungannya. Kekayaan diri pengarang akan
ditempa oleh kondisi lain.
Pada tahun 1918, Eliot menulis “Seniman
lebih primitif dan sekaligus lebih beradab daripada orang-orang sezamannya” (“The artist is more primitive, as well as
more civilized, then hiscontemporaries...”). pada tahun 1932, ia kembali
mengulang konsepsi ini, terutama tentang “imajinasi pendengaran” serta
pencitraan visual penyair. Ia berbicara tentang pencitraan yang selalu
berulang, yang mungkin memiliki nilai simbolik, tetapi simbolik apa, kita tak
pernah tahu, karena citraan itu mengacu ke dalaman perasaan yang tak dapat kita
lihat (may have syimbolic value, but of
what we cannot tell, for they have come to represent the depths of feeling into
which we cannot peer). Pendapat ii memberikan keluasan pandangan bahwa
pengarang memang orang eksklusif. Banyak hal yang tak terlihat oleh mata orang
biasa, dapat tertangkap oleh pengarang. Hanya saja, penangkapan pengarang tidak
mentah-mentah, melainkan disimbolkan. Padasaat penyair Kanwa menulis Serat Arjunawiwadha, ia mengkritisi
kejiwaan raja Erlangga pada masa itu, yang selalu disimbolkan oleh kemenangan
Arjuna melawan Prabu Niwatakawaca. Empu Kanwa menjadi corong psikologibudaya
zaman, bahwa kesaktian pribadi itu penting dibanding kekuasaan.
Eliot mengutip karya-karya Caillet dan
Bade tentang hubungan gerakan simbiolisme dan psyche primitif sebagai
contoh-contohyang baik, ia menyimpulkan bahwa “mentalitas pra-logika tetap ada
dalam diri manusia beradab, tapi hanya dapat di jangkau oleh, atau melalui
penyair”. Pernyataan ini dapat dibenarkan karena penyair mampu memanfaatkan
komunikasi batin untuk menangkap mentalitas zaman. Jiwa zaman dapat diramu
menggunakan daya imajinasi kritis penyair. Dari sini, akan muncul kejiwaan
secara primitif secara simbolik bahwa pemikiran psikologis ynag berunuansa takhayul
pun sebenarnya merujuk pada kepribadian yang beradab. Sebut saja, pada saat
penyair (anonim) mengungkap Serat Gatoloco, ternyata mampu menggerakkan
simbol-simbol zaman. Simbol erotik yang dibangun dengan kekuatan jiwa profetik,
dapat menjadi kesaksian jiwa masyarakat. Kepribadian Gatoloco yang polos, mampu
menggugah imajinasi pengarang untuk mengungkap simbol metafisik yang berbobot.
Dalam kata-kata Eliot itu, kita dengan
cepat melihat pengaruh Carl Jung dan pengulangan tesis Jung bahwa dalam alam
bawah sadar manusia, daerah masalalu, masa kanak-kanak dan masa bayi yang
tertekan ke bawah sadar, ada ‘kesadaran kolektif’, yakni daerah masalalu umat
manusia dan masa sebelum manusia ada. Jung menciptakan tipologi psikologi yang
rumit. Memori yang menyelimuti pengarang sekurang-kurangnya ada empat faktor
psikologis, yaitu (1) pikiran, (2) perasaan, (3) intuisi, dan (4) sensasi, yang
dibagi lagi atas dua kategori yaitu kategori extrovet dan introvet. Di luar dugaan, ia tidak menggolongkan semua
pengarang ke kategori introvet-intuitif, atau kategori introvet saja. Untuk
menghindari penggolongan yang terlalu sederhana, ia mengatakan bahwa ada
pengarang yang menunjukkan tipe aslinya melaluitulisan-tulisannya, dan ada yang
justru menampilkan antitipenya, yakni tipe pelengkap yang kontras dengan
kepribadiannya.
Dari empat faktor psikologis tersebut,
satu dengan yang lain saling melingkupi. Dunia pengarang tak bisa hanya
mengandalkan satu tipe saja. Karya yang hanya mengandalkan pikiran kurang
begitu menyentuh jika tanpa kehadiran perasaan, begitu seterusnya. Apabila
keempat tipe itu dilacak dalam karya sastra di Indonesia, tentu akan banyak
yang dominan, yaitu aspek perasaan (emosi). Perasaan seaakan menjadi modal
utama pengarang melukiskan duniannya.
2.2 Tipologi Psikis
Pengarang
Keadaan psikis pengarang adalah suasana
unik. Pengarang hidup dalam suasana yang lain dari yang lain. Pada realitas
semacam ini, tugas peneliti psikologi sastra hendaknya lebih menukik sampai
hal-hal yang bersifat pribadi. Hal personal itu dikaitkan dengan sastra yang di
hasilkan. Dari sini, bisa memunculkan aneka tipe kepengarangan.
Pada dasarnya, dapat dinyatakan bahwa
homo scriptor tidak terdiri dari satu tipe saja. Simpulan Wellek dan Warren
(1989: 95-98) ini cukup mewakili peta psikologi sastra kerena pengarang memang
tidak berjiwa tunggal. Pengarang adalah makhluk multijiwa, yang bisa bersuara
apa saja. Kita bisa menggolongkan Coleridge, Shelly, Baudelarine, dan Poe-
kesemuanya penulis-penulis romantik – dalam satu kelompok. Sejajar dengan ini
kita juga dapat menggolongkan penulis Widi Widayat, Any Asmara, Ayu Utami dalam
kategori pengarang berjiwa romantik. Meskipun karyanya ada nilai-nilai kejiwaan
lain, hal itu berarti pengarang memang bersifat ganda.
Ada penyair lirik, romantik, dramatik,
dan epik yang secara psikologis mampumenciptakan denyut kejiwaan. Penyair
Darmanto jatman, yang memiliki keilmuan dasar psikologis dengan Karta Iya Bilang Boten dapat
dikategorikan dengan sebagai penyair lirik psikologis. Karya-karya dwibahasa
dia cukup kental dengan endapan psikologi Jawa. Hal tersebut juga berarti multi
jiwa akan dibarengi oleh multi bahasa sebagai sarana simbolik. Pengarang juga
tak pernah mengkalim dirinya termasuk golongan mana. Kritikus atau pembacalah
yang mencoba menggolongkan hal tersebut. Oleh sebab itu, golongan tersebut bukan paten, melainkan lentur atau cair.
Novelis dan cerpenis juga dapat
digolongkan seperti itu. Seorang ahli tipologi yang lain, Kretschmer (seorang
Jerman), membedakan penyair dengan novelis, yaitu penyair kurus, lemah dan
mudah diserang “schizophrenia”, sedangkan novelis gemuk, pendek dan tidak stabil
emosinya. Penggolongan semacam inilah yang tidak sepenuhnya disetujui karena
“schizophrenia” adalah gejala sakit jiwa yang mengasingkan diri, dapat melanda
penulis apa saja, termasuk novelis dan cerpenis. Mungkin, kondisi kepenyairan
luar negeri dengan negara kita berbeda, hingga kesimpulan Wellek dan Warren
demikian terwujud. Padahal, jika direnungkan, siapa saja dapat mengasingkan
diri karen hendak menemukan orisinilitas. Bahkan, puisi-puisi imajinatif Imam
Gazali pun demikian halnya, sementara novelis Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Parukjuga demikian. Hanya
saja, kapasitas pengasingan diri satu dengan yang lain memang bisa berbeda.
Sastrawan juga dapat dibagi lagi dalam
dua tipe psikologis, yaitu (a) sastrawan yang kesurupan (possessed) yang penuh
emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan, dan (b) sastrawan
pengrajin (maker), yang penuh keterampilan, terlatih dan bekerja dengan serius
dan penuh tanggung jawab. Penggolongan ini tidak selalu tepat. Oleh karena
sifat “kesurupan” dalam tradisi sastra, sebenarnya modal yang tidak sederhana.
Kesurupan tidak bisa dinilai semena-mena. Begitu juga sastrawan “pengerajin”,
tampaknya sekedar mementingkan produktivitas, bukan kualitas.
Memang harus disadari bahwa perbedaan
tersebut dapat dilihat sepanjang sejarah sastra : sastrawan “kesurupan” adalah
penyair primitif shaman, penyair romantik, penyair ekspresionis, dan penyair
surealis. Sementara penyair profesional dari Irlandia dan Islandia serta
penyair-penyair Ranaisans, dan neoklasik adalah tipe “pengerajin”. Tentu kedua
tipe ini tidak merupakan dau kutub yang terpisah secara eksklusif. Milton, Poe,
Henry James, Eliot, Shakespeare, Dante adalah pengarang yang memadukan kedua
tipe itu dalam diri mereka. Mereka menyajikan obsesi-obsesi kehidupan dalam
karya yang dibuat dengan penuh ketekunan, ketelitian, dan kesadaran. Tak ada
satupun pengarang ynag secara tepat
dapat masuk pada tipologi tersebut. Apalagi, derap psikologi pengarang sewaktu-waktu
juga dapat berubah.
Penggolongan dua kutub seni ynag paling
terkenal dan berpengaruh adalah yang di buat oleh Nietzsche dalam bukunya The
Birth of Tragedy (1872). Apollo dan Dionysus dua dewa seni Yunani mewakili dua
jenis seni dan proses seni, seni patung dan seni musik, tingkat psikologis
mimpi dan keadaan mabuk ekstase. Keduanya kira-kira sejalan dengan penggolongan
sastrawan “pengerajin” dan sastrawan “kesurupan”, sastrawan klasik dan
romantik. Keadaan ekstase dan “pengerajin” dalam sastra, secara psikologis amat
sulit dipisahkan. Pengarang yang sukses kadang-kadang harus memanfaatkan
keduannya. Kedalaman imajinasi biasanya terbangun melalui ekstase. Tipe-tipe
pengerajin, sebenarnya dalam sastra tergolong underdoge. Oleh sebab itu, dunia
sastra lebih tepat disebut pengarang kreatif.
Pada bagian selanjutnya, psikolog
Prnacis, Ribot, terpengaruh Nietzsche ketika membagi dua tipe imajinasi
sastrawan menjadi tipe “plastis” dan tipe diffluent
(cair). Pengarang tipe “plastis” mampu membuat pencitraan visual yang tajam,
yang dirangsang oleh pengindraan dari luar. Pengarang tipe diffluent (pendengaran dan simbolik), memulai imajinasi melalui
emosi atau perasaan, lalu menuangkannya melalui irama dan pencitraan yang
didorong oleh stimulus dari dalam dirinya. Yang termasuk tipe terkahir adalah
penyair simbolis dan pengarang cerita romantik, seperti Tieck, Hoffman, dan
Poe. Jelas Eliot mendapatkan ide dari teori Ribot ketika ia mengkontraskan
imajinasi visual Dante dan imajinasi pendengaran Milton. Kedua tipe tersebut
secara psikologis tidak dapat dipandang remeh. Sebab, watak plastis dan cair
dalam sastra merupakan kondisi kejiwaan yang di butuhkan. Gagasan yang plastis
dan cair akan menentukan karya sastra itu menarik atau tidak.
2.3 Psikobudaya Pengarang
Psikobudaya adalah kondisi pengarang
yang tidak lepas dari aspek budaya. Kejiwaan pengarang dituntun oleh kondisi
budayanya. Pengarang yang bebas sama sekali dari faktor budaya, hampir tidak
ada. Faktor budaya akan menyublim secara halus dalam jiwa pengarang. Dalam
artikel tulisannya, Munandar (1993:19-26) banyak menyoroti masalah psikologi
kreativitas pengarang yang terikat dengan budaya. Meskipun tulisan tersebut
belum didukung oleh penelitian mendalam di lapangan, namun tetap dapat
dijadikan pijakan pemikiran. Paling tidak, penelitian psikologis akan memahami
betapa penting faktor internal dan eksternal dalam psikologis pengarang.
Pengarang tidak bisa lepas dari budaya, pribadi, dan moral yang mengitari
jiwanya. Oleh sebab itu,
kreativitas pengarang sebenarnya
merupakan “cetak ulang” dari jiwanya. Menurut dia, kebanyakan pengarang dalam
menggambarkan proses kreatif pada dirinya dalam kesibukan mengarang (dalam buku
Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II), mengakui bahwa
menulis dan mengarang membutuhkan iklim tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh
Sitor Situmorong (Eneste,1984:3) bahwa “Sejak lahir atau tumbuh dari iklim
tertentu, situasi dan kondisi budaya. ... Penciptaan sebuah sajak, dilakukan
oleh seseorang dalam iklim budaya, iklim sastra.” Bahkan, dikatakan “Faktor
Budaya dan kesempatan sosial ikut menentukan karier seseorang”. Pernyataan ini
memang belum secara langsung terikat dengan iklim psikologis. Namun, tidak
tertutup kemungkinan bahwa budaya pengarang akan membentuk kejiwaannya.
Maka, peneliti perlu merunut budaya apa
saja yang dapat mempengaruhi kreativitas sastrawan. Arieti (1976) menyebutkan
masyarakat atau budaya yang menumbuhkan kreativitas anggota masyarakatnya
sebagai creativogenic society. Walaupun proses kreatif merupakan suatu fenomena
“intrapsikis”, ia merupakan bagian dari suatu sistem terbuka. Sintesis magis
(yaitu penciptaan dari suatu karya kreatif) tidak terjadi tanpa masukan dari
dunia luar, dan sangat dibantu/ dimudahkan oleh iklim atau lingkungan yang
tepat. Menurut, Arieti, masyarakat yang didalamnya berlaku hukum-hukum yang
adil dan benar, memberikan kondisi psikologis dan ekonomis untuk semua anggota
masyarakat, merupakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan kreativitas. Pendapat
demikian dapat dibenarkan, sebab pengarang jelas sebagai makhluk yang hidup
dalam pusaran masyarakat. Masyarakat jelas tidak steril dengan pengaruh lain.
Akibatnya, kondisi psikologis pengarang tercampuri faktor lain. Faktor mana
yang dominan dalam kreativitas, tergantung bagaimana seleksi pengarang itu
sendiri. Secara lebih khusus, Arieti membedakan berbagai faktor sosio kultural
yang creativogenic. Faktor pertamayang menurutnya paling esensial adalah
tersedianya sarana/ prasarana budaya. Misalnya, di Jakarta, adanya Taman Ismail
Marzuki yang memungkinkan para seniman, budayawan, sastrawan, dan sebagainya.
Saling bertemu, berdiskusi dan memaparkan karya-karya seni mereka sangat
membantu perkembangan seni (termasuk seni sastra). Sebagai contoh, Sori Siregar
(Enestr, 1984:119) dapat bertemu dengan Arif Budiman di TIM, yang menghasilkan
percakapan yang mana antara lain merangsangnya untuk tidak membatasi diri pada
penulisan cerpen, tetapi juga novel. Faktor kepengarangan demikian,menurut
hemat saya, memang tidak terelakkan dalam diri psikis pengarang. Pengarang yang
hidupnya penuh liku-liku kultural, tentu amat kaya jiwanya. Di Yogjakarta,
misalnya, di zaman Umbu Landu Paranggi, dengan Sanggar Bambu, budaya Malioboro
amat berperan. Peristiwa obrolan dan nongkrong di jantung kota, akan membentuk
kreativitas batin.
Kreativitas kedua dari budaya
creativogenic ialah keterbukaan terhadap berbagai rangsangan kebudayaan, baik
yang nasional maupun internasional. Indonesia beruntung karena memiliki
kekayaan dan keberagaman budaya etnis, yang tentunya memperluas dan memperkaya
wawasan dan pengalaman pengarang, apalagi juga mempunyai pengalaman mengenai
budaya asing, di luar negeri. Tampak bahwa kebanyakan pengarang memang
mempunyai cukup banyak kesempatan untuk berkunjung ke luar negeri, apakah untuk
tujuan pendidikan,pekerjaan, atau lainnya. Kondisi ini juga menempa sastrawan
nusantara yang pernah berkunjung ke luar negeri. Dalam proses studi, seperti
Budi Darma, Umar Kayam, Rachmat Djoko Pradopo, jelas kejiwaannya terpengaruh
budaya lain. Dalam karyanya tentu dimotori oleh budaya lain tersebut. Begitu
pula sastrawan Cak Nun, Linur Suryadi A.G, Darmanto Jatman yang pernah belajar
writing di luar negeri akan tertempa jiwannya. Tanpa kehilangan “identitas
nasional” keterbukaan terhadap berbagai rangsangan, juga dari luar negeri,
hanya akan memperkaya dan meningkatkan kualitas kepengarangan di Indonesia.
Faktor lainnya ialah timbulnya kemerdekaan (pembahasan) setelah masa tindasan
atau pengekangan. Kondisi ini dapat menumbuhkan daya cipta para senian, dalam
hal ini sastrawan. Kehidupan sastra di Indonesia tidak mungkin tidak, sangat
dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa atau kejadian historis yang penting,
seperti masa Kolonialisme Belanda (misalnya, munculnya Pujangga Baru pada tahun
1930-an yang ditandai oleh semangat kebangsaan yang mengejar kemajuan. Semangat
pembebasan ini melahirkan puisi modern Indonesia pada tahun 1930-an). Masa
pendudukan Jepang dan kemudian masa kemerdekaan Indonesia betapa banyak
karya-karya sastra “diilhami” oleh peristiwa-peristiwa di masa-masa tersebut.
Demikian pula perkembangan politis secara langsung atau tidak mempengaruhi
kehidupan sastra di Indonesia (saya sendiri walaupun bukan seniman atau
sastrawan merasa beruntung sebagai “anak tiga raman”, mempunyai pengalaman yang
lebih kaya daripada mereka yang hanya mengenal zaman kolonialisme atau zaman
merdeka). Hasrat dalam menghadapi atau menantang kesulitan-kesulitan yang
timbul, memperjuangkan kemerdekaan, atau apa yang dirasakan sebagai ketidakadilan,
diskriminasi, ini semua merupakan motivasi yang sangat kuat untuk mengarang
atau menulis sajak. Faktor yang tidak kurang pentingnya ialah paparan
(exposure) terhadap rangsagan yang berbeda-beda, bahkan saling kontras. Dengan
memperoleh rangsangan baru dari berbagai budaya, seseorang meningkatkan
kemungkinan diperolehnya “sintesis kreatif”. Konsep kreativitas sebagai
kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru dari unsur-unsur atau
konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya. Karakteristik lainnya ialah adanya
toleransi dan minat terhadap pandangan yang berbeda dan beragam, bukan saja
terhadap pandangan dari budaya, melainkan terhadap segala jenis atau bentuk
divergensi. Suatu karya kreatif sering mengganggu orang karena
ketidaklazimannya. Orang merasa lebih aman dengan apa yang dikenal atau
diketahui. Toleransi terhadap pandangan yang berbeda ini perlu diikuti oleh
sikap ingin tahu mengenai hal-hal yang baru, yang orisinal. Dari faktor budaya
psikologis demikian, dapat dimengerti bahwa pengarang tidak tunggal. Pengarang
adalah pribadi yang multirupa. Jiwa pengarang dapat diubah atau mengubah
biasanya. Dalam konteks ini berarti penelitian psikologi sastra perlu
memperhatikan aspek budaya disekitar pengarang. Pengarang yang hidup dalam
lingkup budaya keras,marginal, ketidakadilan tentu berbeda karyanya. Budaya
kota dan desa juga akan membentuk jiwa pengarang. Aspek psikologi keluarga
sering memengaruhi kejiwaan pengarang. Pengarang yang berasal dari keluarga
miskin dan mapan, sering berbeda ekspresinya. Dengan demikian, aspek psikis
dapat dipengaruhi oleh situasi ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Jiwa
pengarang berarti merupakan ramuan dari sekitar unsur pembangun estetika. Tugas
peneliti adalah menemukan sekian banyak unsur pengaruh psikis itu, sehingga
makna hakiki akan tertangkap. Pengarang yang bagus tentu yang kaya akan
unsur-unsur psikis tersebut, sekaligus mampu mengolah dalam karya secara
seksama.
2.4 Tipologi Psikis Pengarang
Kepribadian
adalah persoalan jiwa pengarang yang asasi. Pribadi pengarang akan memengaruhi
ruh karya. Belajar dari gagasan benedict (Danandjaja,1994:41), kepribadian
seseorang ada yang normal ada abnormal. Pribadi normal, biasanya mengikuti
irama yang lazim dalam kehidupannya. Apapun abnormal, bila terjadi deviasi kpribadian.
Kedua wilayah pribadi sah-sah saja dalam kehidupan pengarang.
Kepribadian memang dapat dibentuk. Dalam pertemuan
dengan orang-orang yang ternama dalam bidang sastra dan diluar sastra, pribadi
pengarang akan terbentuk. Interaksi antara pribadi-pribadi atau kelompok
individu yang mempunyai minat yang sama mempunyai dampak yang amat menentukan.
Sitor situmorang (Eneste, 1984:8) berupaya agar ia sempat berjumpa dengan para
seniman yang tenar. Hamsad rangkuti mengungkapka bagaimana ia dengan pindah dari
kota kecil ke medan, mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh seniman medan; mula
mula ia memang merasa “tidak dianggap” pleh mereka, tetapi dengan diterimanya
salah satu karyanya dimajalah sastra yang terkenal, mereka mau menegurnya dan
meminjaminya buku-buku, hal mana membuatnya lebih mengenal karya-karya sastra.
Faktor terakhir yang dikemukakan oleh arieti sebagai
cretivougenic ialah pemberian
insentif dan penghargaan. Meskipun hadiah yang paling besar untuk kreativitas
adalah kreativitas itu sendiri, dan tak ada yang lebih menggembirakan dalam
arti memuaskan pribadi yang kreatif daripada kegiatan mencipta itu sendiri
(proses), atau karya kreatifnya (produk), intensif dan penghargaan dapat
memperkuat motivasi. Namun, jika berlebih justru menghilangkan motivasi
intrinsik untuk mencipta. Bagaimanapun, keamanan atau jaminan finansial dapat
membantu hal tersebut. Sekali lagi, faktor-faktor creativogenic tersebut hanya
merupakan masukan untuk kreativitas individu, tetapi yang lebih esendial
adaalah unsur-unsur intrapsikis dari pribadi kreatif.
Dari suatu penelitian tentang pendapat para ahli
psikologi di indonesia mengenai ciri-ciri kpribadian kreatif (Munandar, 1977)
diperoleh urutan ciri-ciri sebagai berikut: (a) imajinatif, (b) berprakarsa
(dapat memulai sesuatu sendiri), (c) mempunyai minat yang luas, keterbukaan
terhadap rangsangan baru , (d) mandiri (bebas dalam berpikir), (e) rasa ingin
tau yang kuat, (f) kepetualangan, (g) penuh semangat, energik, (h) percaya
diri, (i), bersedia mengambil resiko, dan (i) berani dalam keakinan.
Kebanyakan ciri-ciri ini dapat dikenali pada para pengarang atau sastrawan kita.
Kreativitas sebagai konsep ditinjau dari segi 4P, yaitu dari aspek pribadi,
pendorong, proses, dan produk. Ditinjau dari aspek pribadi, tindakan atau prilaku
kreatif muncul dari keunikan kepribadian individu dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Ditinjau dari segi pendorong atau dorongan,
kreativitas dalam sastra, maka ialah jika ingin menumbuhkan kreativitas dalam
sastra, maka kita perlu menghargai keunikan pribadi seseorang. Menurut
pramoednya anata toer (eneste, 1984:69),
pengalaman berkreasi adalah sangat pribadi, sangat subjektif
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Psikologi pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.
Karena
memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan pengarang selaku pencipta karya
sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan eskpresif.
Pendekatan ekspresif memiliki fokus
kajian dan cara yang mirip dalam
mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta karya sastra. Kalau dicermati
lebih lanjut, pendekatan ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih luas
karena tidak hanya terbatas pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga latar
belakang sosial budaya tempat pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa psikologi
pengarang, sebenarnya merupakan salah satu wilayah kajian dalam pendekatan
ekspresif. Oleh karena itu, untuk memisahkan keduanya pada kasus-kasus
pengarang dan karya tertentu sering kali tidak memungkinkan.
3.2 Saran
Dalam
penyusunan makalah ini tentu ada kekurangan dan kelebihan di dalamnya. Maka
dari itu, kami menerima segala kritik dan saran yang nantinya akan kami jadikan
perbaikan untuk melengkapi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara Suwardi. Metode Penelitian Psikologi Sastra, Yogyakarta : MedPress
http://trieepram.blogspot.co.id/








0 komentar:
Posting Komentar