MAKALAH
PSIKOLOGI SASTRA
“PSIKOLOGI PEMBACA”
“Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori
Humanistik Abraham Maslow”
Dibimbing Oleh :
Bayu Firnamsyah, M.Pd
Disusun Oleh :
Kelompok 3 A
Dia Rodiah (15188201007)
Mar’ah Qonitatillah (15188201019)
Nafisa (15188201025)
Nur Solikhaturrosida (15188201032)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA 2015 A
STKIP PGRI PASURUAN
2017-2018
Kata
Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Psikologi Sastra
dengan judul “Psikologi Pembaca”.
Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua
itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Pasuruan, 12 November 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR......................................................................................................
i
DAFTAR
ISI.....................................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
1.3 Tujuan Pembahasan........................................................................................... 2
BAB
II KAJIAN TEORI
2.1 Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori
Humanistik Abraham Maslow.........
3
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Kesan dan Sikap Pembaca (Abdul
Ghofar) dalam Artikel “Apa Pendapat Anda Tentang Cerpen Robohnya Surau Kami”
dengan Mengimplementasikan Teori Pemenuhan Kebutuhan Aktualisasi Diri 5
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan........................................................................................................ 9
3.2
Saran ................................................................................................................. 9
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................................
10
LAMPIRAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Karya
sastra adalah suatu karya yang dihasilkan melalui pengalaman jiwa, imajinasi
dan intuisi seorang pengarang. Karya sastra merupakan cerminan dari berbagai
pengalaman nyata seorang pengarang maupun orang lain yang digabungkan dengan
imajinasi serta intuisi pengarang. Karya sastra memiliki hubungan yang sangat
erat dengan realitas kehidupan manusia. Oleh karena itu, karya sastra dianggap
dekat dengan gejala-gejala kejiwaan manusia yang dalam hal ini berupa sikap dan
perilaku manusia itu sendiri (Hikma, 2015:1).
Sama
halnya dengan novel, cerpen adalah salah satu jenis karya sastra yang
menyajikan realitas kehidupan manusia berupa masalah yang berkenaan dengan
kejiwaan manusia atau bahkan tentang pemenuhan kebutuhan manusia dalam bertahan
hidup. Pemenuhan kebutuhan manusia tersebut dijelaskan dalam teori Humanistik
yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Menurutnya kebutuhan dibedakan menjadi
lima tahap, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan
rasa cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan yang terakhir adalah
kebutuhan akan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49).
Dari kelima tahap kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow tersebut,
kebutuhan yang paling penting dan yang akan penulis bahas dalam makalah ini
adalah kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang
mendorong individu untuk mengungkapkan diri atau aktualisasi diri. Kebutuhan
individu akan aktualisasi diri dapat diartikan sebagai hasrat individu untuk
memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri, untuk menyadari semua potensi
dirinya, dan menjadi apa saja menurut kemampuannya sendiri (Hikma, 2015:7).
Karya sastra dalam hal ini cerpen, bukan hanya berkaitan erat dengan
pengarang maupun proses kreatifnya serta isi dari karya sastra yang telah
diciptakannya saja, tetapi juga sangat berkaitan erat dengan pembacanya. Sebuah
karya sastra tanpa pembaca bagaikan minum teh tanpa gula, rasanya kurang
lengkap. Kehadiran pembaca sangat berpengaruh penting terhadap karya yang dihasilkan
oleh seorang pengarang. Melalui karya sastra, pembaca diharapkan mampu
menemukan kesan dan sikap setelah membaca. Kesan dalam hal ini adalah pembaca
mampu merasakan situasi-situasi yang ada dalam karya sastra sehingga
menimbulkan kesan bagi dirinya sendiri, sedangkan sikap disini berarti pembaca
mampu mengambil pesan yang terkandung dalam sebuah karya sastra kemudian
mengubah sikapnya menjadi lebih baik lagi.
Kesan dan sikap seorang pembaca dapat dilihat dari cara-caranya dalam
mengungkapkan pendapat setelah membaca sebuah karya sastra. Salah satu cara
yang digunakan yaitu dengan sebuah tulisan berupa artikel, esai, kritik, dan
lain-lain. Artikel “Apa Pendapat Anda Tentang Cerpen Robohnya Surau Kami”
merupakan salah satu bentuk pendapat yang dikemukakan oleh Abdul Ghofar setelah
membaca cerpen Robohnya Surau Kami. Melalui implementasi teori Humanistik
Abraham Maslow tentang pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri pada artikel yang
disusun oleh Abdul Ghofar tersebut maka akan ditemukan kesan dan sikap dari
pembaca setelah membaca cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengimplementasikan teori
Humanistik Abraham Maslow yang berupa aktualisasi diri untuk menemukan kesan
dan sikap pembaca yang ada dalam artikel “Apa Pendapat Anda Tentang Cerpen
Robohnya Surau Kami” karya Abdul Ghofar.
1.2 Rumusan
Masalah
2.
Bagaimana
kesan dan sikap pembaca (Abdul Ghofar) dalam artikel “Apa Pendapat Anda Tentang
Cerpen Robohnya Surau Kami” dengan mengimplementasikan teori pemenuhan kebutuhan
aktualisasi diri?
1.3 Tujuan
2. Untuk memperoleh deskripsi tentang kesan
dan sikap pembaca (Abdul Ghofar) dalam artikel “Apa Pendapat Anda Tentang
Cerpen Robohnya Surau Kami” dengan mengimplementasikan teori pemenuhan
kebutuhan aktualisasi diri.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1
Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik
Abraham Maslow
Teori psikologi humanistik dikembangkan
oleh Abraham Maslow. Psikologi humanistik menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang kreatif, dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran
melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri. Melalui Motivation
and Personatity (Wiyatmi, 2011:12).
Psikologi humanistik mempunyai empat
ciri, yaitu:
1. Memusatkan perhatian pada person yang
mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam
mempelajari manusia.
2. Menekankan pada kualitas-kualitas yang
khas manusia, seperti kreativitas, aktualisasi diri, sebagai lawan dari
pemikiran tentang manusia yang mekanis dan reduksionistis.
3. Menyandarkan diri pada kebermaknaan
dalam memilih masalah yang akan dipelajari dan prosedur penelitian yang akan
digunakan.
4. Memberikan perhatian penuh dan
meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik
pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu (Misiak dan Sexton,
dalam Walgito: 2004:92).
Menurut Maslow, tingkah laku manusia
lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar
kehidupan individu tersebut lebih bahagia dan sekaligus memuaskan. Maslow
mengemukakan teori kebutuhan bertingkat yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, serta
kebutuhan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49). Diantara lima kebutuhan
tersebut kebutuhan yang paling penting dan tertinggi dalam tingkatan kebutuhan
yang dikemukakan oleh Maslow adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Maslow menyatakan bahwa manusia
sejatinya merupakan makhluk yang baik, sehingga manusia memiliki hak untuk
merealisasikan jati dirinya agar mencapai self-actualization atau disebut juga
dengan aktualisasi diri (Minderop, 2013: 48). Setiap manusia berhak untuk
melakukan aktualisasi diri, untuk mencapai aktualisasi diri tersebut manusia
harus terlebih dahulu memenuhi empat kebutuhan lainnya dalam tingkatan
kebutuhan Abraham Maslow.
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan
keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi
potensi. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk
mengungkapkan diri atau aktualisasi diri. Kebutuhan individu akan aktualisasi
diri dapat diartikan sebagai hasrat individu untuk memperoleh kepuasan dengan
dirinya sendiri, untuk menyadari semua potensi dirinya, menjadi apa saja
menurut kemampuannya dan menjadi kreatif untuk bebas mencapai puncak prestasi
potensinya, serta menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang
dimilikinya untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi
yang dimiliki. Dengan demikian, kebutuhan aktualisasi diri ini merupakan
kebutuhan yang mendorong individu untuk menunjukkan potensi yang dimilikinya
setelah kebutuhan-kebutuhan lainnya terpenuhi (Hikma, 2015:7). Kebutuhan
aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengungkapkan diri berdasarkan
potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu, kebutuhan yang
memanfaatkan segala potensi yang ada dalam diri seseorang untuk terus
mengembangkan kemampuannya hingga seseorang tersebut menjadi individu yang
mampu menunjukkan serta mengungkapkan apa yang ada didalam dirinya.
Maslow menganggap bahwa orang-orang
yang teraktualisasi diri adalah orang-orang yang luar biasa karena mereka telah
menjadi manusia secara penuh. Ciri-ciri universal dari manusia-manusia ini
adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, melihat hidup apa adanya,
dan bersikap objektif (Goble, dalam Nugrahini, 2014:21). Seseorang dapat dikatakan
telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri apabila ia dapat mengamati realitas
kehidupan secara tepat, mengemukakan pendapatnya dengan jelas, spontan, dan
sederhana. Seseorang yang telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri melihat
segala realitas kehidupan secara apa adanya dan sederhana. Kebutuhan
aktualisasi diri dapat dilihat melalui pengungkapan pendapat yang dilakukan
oleh seseorang berdasarkan potensi atau kemampuan yang dimiliki.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Kesan dan Sikap Pembaca (Abdul Ghofar) dalam
Artikel “Apa Pendapat Anda Tentang Cerpen Robohnya Surau Kami” dengan
Mengimplementasikan Teori Pemenuhan Kebutuhan Aktualisasi Diri.
Abdul Ghofar, sebagai seorang yang telah membaca dan menganalisis cerpen “Robohnya
Surau Kami” karya A.A Navis tergambar pada kutipan berikut:
“Bagi saya, cerpen yang berjudul ‘Robohnya
Surau Kami’ sangat mengkritik.” (Ghofar,
2014:1).
Dalam kutipan tersebut Abdul Ghofar
mengungkapkan apa yang telah ia baca. Kata “Bagi saya” merupakan hasil dari analisis
Abdul ghofar tentang cerpen Robohnya Surau Kami yang mengkaitkan psikologi
dirinya sendiri sebagai pembaca dengan isi cerpen yang telah dibacanya. Kesan
pertama yang dirasakan oleh pembaca (Abdul Ghofar) adalah kritik sosial yang
sesuai dengan realitas kehidupan, seperti kutipan berikut:
“Kritik-kritik sosialnya mengalir
dengan jujur untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi yang membacanya, agar
hidup pembaca tersebut lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu
hitam dan yang putih itu putih, benar-benar sesuai dengan yang dilihatnya.”
(Ghofar, 2014:1).
Berdasarkan kutipan diatas, Abdul
Ghofar mengaktualisasikan diri melalui pendapatnya tentang pengarang cerpen
“Robohnya Surau Kami” (A.A. Navis) yang menggunakan kritik sosial pada cerpen tersebut
secara apa adanya. Kritik-kritik sosial yang disajikan oleh pengarang dalam
karya sastranya membuat pembaca (Abdul Ghofar) menjadi terkesan, sehingga Abdul
Ghofar sadar dan mengubah sikapnya menjadi lebih baik lagi. Selain itu,
pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri Abdul Ghofar sebagai pembaca terlihat dari
pendapat-pendapat yang ia ungkapkan secara jelas dan spontan dalam artikelnya,
seperti kutipan berikut ini:
“Sejurus dengan penyudutan karya
itu, ternyata masih banyak yang mengacungkan jempol, termasuk saya. Kenapa?
Alasan saya sama dengan mereka yang mengacungkan jempol tadi yaitu itulah
sastranya, menghadirkan dialog antara Tuhan dengan hamba-hamba-Nya tidak
menjadi masalah.” (Ghofar, 2014:1).
Berdasarkan kutipan diatas, terlihat
bahwa Abdul Ghofar mengaktualisasikan diri. Tanpa ragu dan secara spontan ia
menyatakan rasa salutnya terhadap cerpen “Robohnya Surau Kami”, bahkan ia juga
menambahkan alasan atas rasa salutnya tersebut berdasarkan potensi yang ada
dalam dirinya sendiri. Rasa salut Abdul Ghofar merupakan sebuah kesan yang
dapat menimbulkan sikap positif atau setuju terhadap ide dan gagasan dalam
cerpen “Robohnya Surau Kami”. Menurutnya, menghadirkan dialog antara Tuhan
dengan hamba-hamba-Nya merupakan suatu bentuk karya sastra yang estetis dan
tidak ia permasalahkan. Dalam artikel “Apa Pendapat Anda Tentang Cerpen
Robohnya Surau Kami” Abdul Ghofar menyatakan pendapatnya tentang bagaimana
penilaian seseorang terhadap sebuah karya sastra. Menilai sebuah karya sastra
haruslah bijaksana melalui berbagai macam sudut pandang. Oleh karena itu, tidak
heran jika banyak orang yang menilai bahwa cerpen “Robohnya Surau Kami” sangat
jelas dalam mengkritisi agama dan hal tersebut merupakan pendapat yang
bertentangan dengan Abdul Ghofar, seperti pada kutipan berikut:
“Kalau cerpen karya A.A. Navis ada
yang menilai sangat keterlaluan dalam mengkritik agama, menurut saya itu hanya
cara penulis yakni A.A. Navis sendiri dalam menyampaikan gagasan atau ide.”
(Ghofar, 2014:1).
Dari kutipan diatas, Abdul Ghofar
kembali mengaktualisasikan diri. Ia mengemukakan pendapat yang berbeda dari
orang pada umumnya. Setiap karya sastra pasti akan memiliki sisi positif maupun
negatif, namun Abdul Ghofar memberikan pendapat yang positif terhadap cerpen
“Robohnya Surau Kami”. Selain itu, ia menyatakan pendapat tersebut dengan bahasa
yang sederhana dan logis, sehingga Abdul Ghofar akan memiliki kesan positif
atau dengan kata lain ia memberikan apresiasi yang baik terhadap isi cerpen
maupun pengarangnya. Secara khusus, Abdul Ghofar menjelaskan tentang tokoh
serta wataknya yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”. Lalu, ia
menjelaskan tentang pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Ia kembali
menyatakan pendapat positif terhadap ide pengarang, hal itu tergambar dalam
kutipan berikut ini:
“Dalam
kalimat yang berisi cemoohan atas apa-apa yang dilakukan oleh si Kakek
tersebut, A.A. Navis sebagai penulis ingin menyampaikan bahwa setiap orang
jangan mudah terpancing untuk marah jika diejek atau dinasihati karena bisa
jadi orang berbuat seperti itu karena ada hal-hal yang kurang baik yang telah
kita lakukan. Walaupun dengan kata-kata yang satir dengan dibumbui cemoohan,
sebenarnya gagasan atau ide yang akan disampaikan oleh A.A. Navis adalah sangat
baik. Meski berbau kritik tetapi itulah kenyataan yang ada.” (Ghofar, 2014:2).
Berdasarkan
kutipan diatas, pembaca (Abdul Ghofar) mengamati realitas kehidupan yang
terdapat dalam cerpen tersebut dengan tepat, sehingga ia mendapatkan sebuah
kesan untuk selalu menginteropeksi diri sendiri dan bersikap tidak mudah marah
terhadap komentar apapun yang diberikan oleh orang disekitarnya. Aktualisasi
diri yang ditunjukan oleh Abdul Ghofar dalam kutipan tersebut yaitu ia kembali
mengungkapkan rasa setujunya terhadap gagasan A.A. Navis berupa kritik yang
sesuai dengan kenyataan dalam realitas kehidupan secara apa adanya. Hal yang
menjadi sorotan pula dalam artikel Abdul Ghofar adalah rasa syukur, ia
menjelaskan pendapatnya tentang dialog dalam cerpen A.A. Navis yang berisikan
rasa syukur, seperti dalam kutipan dibawah ini:
“Selain itu,
gagasan atau ide yang disampaikan oleh A.A. Navis berupa syukur. Mensyukuri apa
yang ada di hadapan kita itu lebih baik daripada kita mengabaikannya.
Masalahnya, kita belum tentu menyadari akan sesuatu hal yang patut untuk
disyukuri dan dimanfaatkan itu.” (Ghofar, 2014:2).
Dari kutipan
diatas, pendapat Abdul Ghofar tersebut menunjukkan suatu bentuk aktualisasi
diri, dimana ia mengungkapkan pendapatnya secara sederhana dan mengkaitkannya
dengan realitas kehidupan dirinya sendiri. Ia merasa bahwa dirinya sendiri dan
orang-orang yang membaca artikelnya masih belum bisa menyadari hal-hal apa saja
yang patut untuk disyukuri atau dimanfaatkan, sehingga ia menemukan kesan rasa
syukur dan berusaha memiliki sikap untuk selalu bersyukur dengan apa yang telah
ada. Kemunculan tokoh-tokoh rekaan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” sangatlah
berarti penting menurut pembaca (Abdul Ghofar). Melalui tokoh-tokoh tersebut
A.A. Navis mengungkapkan ide dan gagasannya dengan baik, hal itu terlihat dalam
kutipan berikut:
“Sangat
ironis memang jika kita meyaksikan kehidupan Haji Shaleh yang ber-ending
seperti itu. Maka dari itu, A.A. Navis menyampaikan pesan, gagasan atau ide
dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang seolah-olah baik dan benar seperti si
Kakek dan Haji Shaleh, dan tokoh-tokoh yang seolah-olah buruk dan jahat seperti
Ajo Sidi.” (Ghofar, 2014:4).
Dari kutipan
diatas, aktualisasi diri pembaca (Abdul Ghofar) tergambar saat ia menyatakan
pendapatnya sesuai dengan apa yang ia ketahui secara sederhana. Ia memandang
bahwa, tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh A.A. Navis telah tersampaikan dengan
baik, sehingga melalui tokoh-tokoh tersebut Abdul Ghofar sebagai pembaca menemukan
kesan dan sikap yang baik serta suka dengan cerpen “Robohnya Surau Kami”. Diakhir
artikel, Abdul Ghofar menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam cerpen “Robohnya
Surau Kami” karya A.A. Navis, seperti pada kutipan berikut ini:
“Pesan yang
bisa kita ambil dari cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ karya A.A. Navis ini adalah
jangan cepat bangga dengan perbuatan baik kita karena bisa jadi baik di mata
manusia tetapi tidak baik di mata Tuhan, jangan menyia-nyiakan apa yang kita
miliki, maka dari itu cermati firman Tuhan. Kemudian yang terakhir jangan
mementingkan diri sendiri, seperti yang difirmankan Tuhan dalam cerpen ini.”
(Ghofar, 2014:4).
Berdasarkan
kutipan diatas, Abdul Ghofar mengaktualisasikan dirinya sendiri melalui
penyampaian pesan dari cerpen tersebut berdasarkan potensi atau kemampuan yang
berkembang dalam dirinya sendiri. Pengungkapan pesan tersebut akan menimbulkan
kesan serta sikap Abdul Ghofar setelah
membaca cerpen “Robohnya Surau Kami”. Abdul Ghofar mendapatkan kesan bermanfaat
dengan menyampaikan pesan-pesan yang terkanung dalam cerpen tersebut. Selain
itu, dengan menyampaikan pesan-pesan tersebut Abdul Ghofar sebagai pembaca juga
mendapatkan sikap tidak akan cepat berbangga diri dengan perbuatan-perbuatan
yang ia lakukan, tetap bersyukur dan tidak menyia-nyiakan apa yang ia miliki,
serta tidak egois terhadap orang lain.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
1. Berdasarkan analisis terhadap sikap dan kesan pembaca (Abdul Ghofar)
dalam artikel “Apa Pendapat Anda Tentang Cerpen Robohnya Surau Kami” dengan
mengimplementasikan teori pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri teori humanistik
Abraham Maslow maka dapat disimpulkan bahwa kesan dan sikap pembaca (Abdul
Ghofar) setelah membaca cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah pembaca memiliki kesan salut
dan memberikan apresiasi yang baik terhadap cerpen “Robohnya Surau Kami” serta
mendapatkan kesan bermanfaat atas pesan-pesan yang tekandung dalam cerpen
tersebut. Sikap yang pembaca (Abdul Ghofar) dapatkan setelah membaca cerpen
tersebut adalah sikap-sikap yang positif atau setuju dengan gagasan atau ide
dari pengarang cerpen yaitu A.A. Navis. Selain itu, melalui pesan-pesan yang
terkandung dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”, pembaca (Abdul Ghofar)
menunjukkan sikap yang baik yaitu berusaha untuk selalu bersyukur dan tidak
menyia-nyiakan apa yang dimiliki, tidak cepat berbangga diri dengan
perbuatan-perbuatan yang ia lakukan, dan tidak egois terhadap orang lain. Pada
intinya, membaca cerpen “Robohnya Surau Kami” membuat Abdul Ghofar sebagai
pembaca mampu mengaktualisasikan dirinya, mengemukakan pendapat, serta memiliki
kesan positif atau memberikan apresiasi yang baik terhadap cerpen karya A.A.
Navis tersebut. Setelah membaca cerpen “Robohnya Surau Kami” pembaca (Abdul
Ghofar) menunjukkan sikap yang baik dan berharap pesan-pesan yang terkandung
dalam cerpen tersebut mampu membawa perubahan yang baik pula untuk diri pembaca.
4.2 Saran
Diharapkan
kepada para pembaca, khususnya kelas 2014 A untuk bisa memahami dan menerapkan
tentang implementasi kesan dan sikap pembaca dalam artikel “Apa Pendapat Anda
Tentang Cerpen Robohnya Surau Kami” karya Abdul Ghofar (teori humanistik
Abraham Maslow). Jika makalah ini ada kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,
maka kami menerima kritikan atau saran dengan lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Ghofar, Abdul. 2014. Apa Pendapat Anda Tentang Cerpen Robohnya Surau Kami. [Online].
Tersedia: http://wacana.siap.web.id/2014/03/apa-pendapat-anda-tentang-cerpen-robohnya-surau-kami.html#.WCglftJ97IU
(diakses tanggal 13 November 2016).
Hikma, Nur. 2015. Aspek Psikologis Tokoh Utama
dalam Novel “Sepatu Dahlan” Karya Khrisna Pabichara (Kajian
Psikologi Humanistik Abraham Maslow). [Online]. Tersedia: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=421471&val=8476&title=ASPEK%20PSIKOLOGIS%20TOKOH%20UTAMA%20DALAM%20NOVEL%20SEPATU%20DAHLAN%20KARYA%20KHRISNA%20PABICHARA%20(Kajian%20Psikologi%20Humanistik%20Abraham%20Maslow)
(diakses tanggal 11 November 2016).
Minderop,
Albertine. 2013. Psikologi Sastra (Karya
Sastra, Metode, Teori, dan Contoh
Kasus).
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nugrahini,
Kartika Nurul. 2014. Kepribadian dan Aktualisasi Diri Tokoh Utama
dalam Novel Supernova Episode Partikel Karya Dewi Lestari (Tinjauan
Psikologi Sastra). [Online].Tersedia:
http://eprints.uny.ac.id/17273/1/Kartika%20Nurul%20Nugrahini%2010210144027.pdf (diakses tanggal 14 November 2016).
Walgito,
Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Ofset.
Wiyatmi.
2011. Psikologi Sastra (Teori dan
Aplikasinya). Yogyakarta: Kanwa Publisher.
LAMPIRAN
ARTIKEL
PEMBACA
Apa Pendapat
Anda Tentang Cerpen “Robohnya Surau Kami”
Abdul
Ghofar
A.A. Navis adalah sastrawan dan budayawan terkemuka di
Indonesia. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya untuk
menyinggung apa-apa yang dilihatnya. Karya sastranya yang terkenal adalah
cerita pendek yang berjudul, “Robohnya Surau Kami”. A.A. Navis biasa dijuluki
dengan sebutan “Sang Pencemooh”. Ia adalah sosok yang lebih suka ceplas-ceplos,
kata-katanya sangat satir dan apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir
dengan jujur untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi yang membacanya, agar
hidup pembaca tersebut lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu
hitam dan yang putih itu putih, benar-benar sesuai dengan yang dilihatnya.
Bagi saya, cerpen yang berjudul “Robohnya Surau Kami”
sangat mengkritik. Karya sastra tersebut merupakan karya sastra yang layak
diapresiasi dalam dunia literasi, khususnya kesusasteraan Indonesia. Namun, ada
beberapa pihak yang menyudutkan karya sastra itu lantaran terlalu menyinggung
ke arah agama. Mereka bilang cerpen karya A.A. Navis itu keterlaluan karena
menghadirkan dialog antara Tuhan dengan hamba-hamba-Nya. Sejurus dengan
penyudutan karya itu, ternyata masih banyak yang mengacungkan jempol, termasuk
saya. Kenapa? Alasan saya sama dengan mereka yang mengacungkan jempol tadi
yaitu itulah sastranya, menghadirkan dialog antara Tuhan dengan hamba-hamba-Nya
tidak menjadi masalah. Toh, banyak ustadz-ustadz yang jika ceramah sama persis
seperti itu.
Jika kita mampu bersikap bijaksana dalam menilai suatu
karya sastra, kita akan menilainya dari berbagai sudut pandang. Sangat maklum
kalau ada orang menilai dengan berbagai bentuk nilai, itulah keragaman. Begitu
juga dengan karya sastra. Kita tidak bisa memandang hanya dengan satu sisi.
Kalau cerpen karya A.A. Navis ada yang menilai sangat keterlaluan dalam
mengkritik agama, menurut saya itu hanya cara penulis yakni A.A. Navis sendiri
dalam menyampaikan gagasan atau ide.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam cerita ini,
khususnya si Kakek yang berprofesi sebagai garin, seolah-olah ia datang dari
sisi kebenaran, yakni agamis. Ia sangat menginginkan kebahagiaan di akhirat
sehingga ia terlalu mengabaikan urusan dunia. Kemudian datanglah tokoh yang
bernama Ajo Sidi yang biasa dijuluki si pembual. Ia membuat bualan untuk si
Kakek dengan cara menyinggung aktivitas dan rutinitas sehari-hari si Kakek. Ia
mengumpamakan bahwa si Kakek berposisi sebagai Haji Shaleh, dalam cerita
bualannya itu. Lantas, si Kakek pun geram karena ia merasa dikatakan oleh Ajo
Sidi sebagai manusia terkutuk. Seperti kata-kata si Kakek dalam dialog sebagai
berikut:
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya
isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan
hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku,
lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang
kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi
kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila
aku terkejut. Masya Allah kata ku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu?
Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Dalam kalimat yang berisi cemoohan atas apa-apa yang
dilakukan oleh si Kakek tersebut, A.A. Navis sebagai penulis ingin menyampaikan
bahwa setiap orang jangan mudah terpancing untuk marah jika diejek atau
dinasihati karena bisa jadi orang berbuat seperti itu karena ada hal-hal yang
kurang baik yang telah kita lakukan. Walaupun dengan kata-kata yang satir
dengan dibumbui cemoohan, sebenarnya gagasan atau ide yang akan disampaikan
oleh A.A. Navis adalah sangat baik. Meski berbau kritik tetapi itulah kenyataan
yang ada.
Di antara kita masih ada yang belum adil dalam
menyikapi segala sesuatu. Sejatinya, jika kita mencari kehidupan dunia, maka
kita tidak boleh melupakan kehidupan akhirat. Begitu pun sebaliknya, seperti
yang dilakukan oleh si Kakek tadi. Selain itu, gagasan/ide yang disampaikan
oleh A.A. Navis berupa syukur. Mensyukuri apa yang ada di hadapan kita itu
lebih baik daripada kita mengabaikannya. Masalahnya, kita belum tentu menyadari
akan sesuatu hal yang patut untuk disyukuri dan dimanfaatkan itu. Sebagaimana
yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita yang diutarakan oleh Ajo Sidi, Haji
Shaleh. Sesuatu yang mewakili bahwa kurangnya rasa syukur dalam cerita “Robohnya
Surau Kami” ini bisa kita amati dari penggalan dialog antara Haji Shaleh dengan
Tuhan. Misalnya sebagai berikut:
“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.
“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya, benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang maha kaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.” Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya, benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang maha kaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.” Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak negeri lain?”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”
“Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”
“Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Dari penggalan dialog yang cukup panjang tersebut kita
bisa menilai bahwasanya tokoh Haji Shaleh, tidak mensyukuri dan tidak
memanfaatkan tanah Indonesia yang terkenal subur dan kaya akan bahan tambang.
Ia lebih fokus dan memprioritaskan kehidupan akhirat sehingga ia lalai bahwa ia
memiliki keluarga, seperti istri, anak, dan cucu-cucunya. Sangat ironis memang
jika kita meyaksikan kehidupan Haji Shaleh yang ber-ending seperti itu. Maka dari itu, A.A. Navis menyampaikan pesan,
gagasan atau ide dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang seolah-olah baik dan
benar seperti si Kakek dan Haji Shaleh, dan tokoh-tokoh yang seolah-olah buruk
dan jahat seperti Ajo Sidi. Kemudian tokoh “Aku”, ia hanya menyaksikan.
Sebenarnya tokoh “Aku” ini orang pertama namun pelaku sampingan.
Pesan yang bisa kita ambil dari cerpen “Robohnya Surau
Kami” karya A.A. Navis ini adalah jangan cepat bangga dengan perbuatan baik
kita karena bisa jadi baik di mata manusia tetapi tidak baik di mata Tuhan,
jangan menyia-nyiakan apa yang kita miliki, maka dari itu cermati firman Tuhan.
Kemudian yang terakhir jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang
difirmankan Tuhan dalam cerpen ini.
(Dikutip dari: http://wacana.siap.web.id/2014/03/apa-pendapat-anda-tentang-cerpen-robohnya-surau-kami.html#.WCglftJ97IU)








0 komentar:
Posting Komentar