syarief uye

Autumn Falling Leaves

Selasa, 26 Desember 2017

KELOMPOK 3 (PSIKOLOGI PEMBACA)

MAKALAH PSIKOLOGI SASTRA
Psikologi Pembaca”

Dibimbing Oleh :
Bayu Firnamsyah, M.Pd


Disusun Oleh :
Kelompok 3
Dia Rodiah (15188201007)
Ellyna May Nur Jannah (15188201008)
Imroatul Mufidah (15188201011)
Mar’ah Qonitatillah (15188201019)
Moh. Muklas (15188201022)
Nafisa (15188201025)
Nur Solikhaturrosida (15188201032)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2015 A
STKIP PGRI PASURUAN
2017-2018


Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Sastra dengan judul “Psikologi Pembaca”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.




Pasuruan, 10 Oktober 2017

Penyusun



 DAFTAR       ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah .............................................................................................  2
1.3  Tujuan Pembahasan ..........................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Daya Psikis Keras dan Lunak ......................................................................... 3
2.2 Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis ....................................................... 3
2.3 Eksperimental Estetik Pembaca Sastra  ........................................................... 5
2.4 Tipologi Psikis Pembaca................................................................................... 6
2.5 Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow…….. 7

BAB III PENUTUP 
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 9 
3.2 Saran ................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 9





 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Wallek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis- menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan, prikologi sastra mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya (Ratna: 2004: 340).
 (Ratna: 2004: 350) psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan penerapan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangant erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “psikologi sastra”. Artinya dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan psikologis sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologis karna dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai psikologi sastra, dapat ditarik benang merah mengenai definisi psikologi sastra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam penerapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.


1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud daya psikis keras dan lunak?
2.      Apa yang dimaksud resepsi dan kebebasan tafsir psikologis?
3.      Bagaimana Eksperimental estetik pembaca sastra?
4.      Apa yang dimaksud Tipologi psikis pembaca?
5.      Apa yang dimaksud kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan daya psikis keras dan lunak.
2.      Untuk mendeskripsikan resepsi dan kebebasan tafsir psikologis.
3.      Untuk mendeskripsikan eksperimental estetik pembaca sastra.
4.      Untuk mendeskripsikan tipologi psikis pembaca.
5.      Untuk mendeskripsikan kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow.














BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Daya Spikis Keras dan Lunak
Agak sulit untuk menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang terkait dengan resepsi pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya bukan studi sastra, melainkan penelitian pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit dipertanggung jawabkan, sebab bagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub sastra. Cukup unik jika sastra telah tersugup di hadapan pembaca. Konsep Holland (Wright, 1991:149) menyebutkan bahwa ada kemungkinan terjadi “kolusi” estetis antara pengarang dengan pembaca. Untuk memahai bagaimana resepsi psikis dapat terjadi dalam proses komunikasi sastra, dapat dicermati gagasan Holland (1968) dan Lesser (1989) yang secara tegas mengemukakamn masalah resepsi sastra secara psikologis. Bagi Holland, sastra memiliki efek relief (pembebasan) sehingga akhir dari semua analisi seni adalah a comfort (suatu kesenangan hidup). Kesenangan hidup di peroleh melalui ‘pelepasan’. Sekalipun karya sastra membuat perasaan kita sakit, bersalah, atau cemas, perasaan-perasaan itu (yang sesungguhnya hanyalah fantasi belaka) kita terima dan kita kuasai sedemikian rupa untuk menjadi pengalaman yang menyenangkan. Gagasan bahwa sastra akan menimbulkan kenikmatan, muncul sebagai akibat alternasi ritmik antara “gangguan” dan “penguasaan”. Orang susah, tetapi puas dan senang adalah efek ketika membaca sastra. Orang dapat kecewa psikisnya, tetapi lega karena membaca sastra. Dalam proses psikis semacam ini, berarti ada gelombang estetis yang merambat dari sastra ke psikis pembaca. Adapun Simon Lasser dalam bukunya Fiction and the Unconscious (1989), mengembangkan teori emotif mellau model komunikasi yang memungkinkan dia mendeskripikan efek-efek relief yang di rasakan pembaca.
2.2  Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis
   Resepsi adalah penerimaan. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural, akan memperkaya pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca bebas bermain imajinasi. Dari situ pula bebas menciptakan dunianya. Sastra setelah lepas dari tangan penulis menjadi hak banyak orang, termasuk pembaca.  Aspek psikis penulis, mungkin bisa diterima berbeda oleh pembaca. Pembaca sering berimajinasi lain ketika menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan pembaca juga sering kali mempengaruhi daya kritisnya. Dalam proses resepsiserupa, saya setuju dengan gagasan bahwa karya sastra ada hanya jika telah diciptakan kembali (dikonkretkan). Istilah “dikonkretkan” adalah hak pembaca. Pembaca boleh berbuat apa saja, menganalogikan bacaan dengan dirinya, boleh menangis, boleh marah, dan seterusnya. Proses konkretisasi itu sebenarnya proses psikologis.
   Daya kritis Junus demikian sah dan dapat dipahami, namun yang terpenting bagi peneliti psikologis adalah kemampuan memahami resepsi pembaca. Penulis, boleh juga pengucap, yang bekerja merumuskan sesuatu ke dalam teks memusatkan perhatiannya kepada hal-hal tertentu dengan melupakan hal-hal lain. dalam kaitan ini, Junus memberikan contoh dalam hubungan bahasa. Seseorang mungkin berhadapan dengan persoalan bagaimana merumuskan dua kalimat menjadi satu kalimat: (a) Saya percaya kepada Tuhan, (b) Tuhan itu satu. Berdasarkan proses bahasa Melayu yang biasa, maka keduanya dapat dibentuk menjadi satu kalimat, yakni “Saya percaya kepada Tuhan yang satu”. Namun, pembaca yang berhadapan dengan kalimat tersebut mungkin akan beranggapan bahwa kalimat itu berasal dari proses lain, yang tidak disadari kehadirannya oleh penulis tadi. Pembaca akan mengalami suatu proses lain, suatu cognition process. Ia akan mengaktifkan pemikirannya berdasarkan segala kemungkinan bahasa yang dikuasainya. Ia akan menyadari hakikat polisemi dari kontruksi “Tuhan yang satu”, karena dua arti menyatu dalam satu homonim.
   Contoh yang  diberikan di atas, hendak menyatakan bahwa teks sastra memang banyak mengundang tafsir. Teks sastra memiliki segala kemungkinan. Tiap pembaca boleh meresepsi secara psikis, sesuai pengalaman masing-masing. Orang yang pertama kali mengucapkan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, tidak menyadari bahwa orang tidak mungkin kencing selagi berlari. Ia juga tidak akan menyadari bahwa pepatah itu mempunyai implikasi lain dari yang dipikirkannya. Ia mungkin berfikir bahwa bila guru kencing duduk, maka murid juga akan kencing duduk (=mencangkung). Namun, pepatah itu memberikan implikasi lain. kalau “guru kencing duduk”, maka “murid akan kencing berdiri” karena pepatah itu menyarankan tentang murid yang “kurang ajar”. Apa yang ada pada pikiran pengucap ialah bagaimana merumuskan sesuatu yang mengandung pengertian kalau guru “kurang ajar”, maka murid akan lebih “kurang ajar” lagi, sedangkan murid akan jadi baik bila gurunya juga baik.
   Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser (1988:213) yang paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran. Teks sastra tidak selalu berhubungan dengan realitas objektif. Dunia sastra menurut Ingarden, akan dilukiskan secara intensional. Kalimat atau baris dalam sastra selalu bermuatan makna. Gagasan demikian sebenarnya lebih pada proporsi ingin menyatakan bahwa wacana sastra memang bersifat terbuka bagi penikmat. Siapa saja boleh berdebat dan mengajukan alibi. Bagi pembaca sastra yang jitu, tentu akan selektif terhadap permainan kata. Setiap pesan psikologis akan terbungkus rapi dalam bahasa. Perbedaan persepsi terhadap wacana sastra, justru memperkaya nilai sastra. Sastra tak pernah tunggal dalam hal makna. Semakin menyebarkan keragaman makna, sastra itu dipandang lebih bagus. Inilah tugas reseptor untuk menerka sampai ke batas psikis yang tepat.
2.3 Eksperimental Estetik Pembaca Sastra
1. Reaksi evaluatif pembaca.
   pembaca akan bereaksi setelah bersentuhan dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya telah terpenuhi berbagai berbagai butir reaksi. Reaksi bisa kea rah konstruktif dan destruktif.
Perlu di pahami bahwa sosiologi tertarik dalam funchtioning masyarakat, sementara psikologi tertarik pada functioning human mind ‘pikiran manusia’. Pendapat ini menekankan aspek kejiwaan dalam penelitian psikologi sastra. Psikologi pembaca juga tidak bisa lepas dari aspek psikis. Dalam buku evaluasi teks sastra, sagers (Sayuti, 20072-82) dengan serius membahas  evaluasi teks sastra secara psikologis. Paparan dia boleh di katakan  akan membantu pemahaman psikologis sastra yang terkait dengan pembaca. Dalam kaitan ini,pembaca adalah bagian dari komunikasi sastra yang tidak bisa ditiadakan. Tanpa pembaca, secara psikologis,  sastra kehilangan peminat. Psikologis sastra meliputi bidang penelitian yang luas,hanya ada sebagian yang memiliki relevensi dengan penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenaan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretative dan reaksi evaliatif pembaca terhadap teks sastra dapat di selidiki. Pernyataan ini memberikan penegasan bahwa penelitian psikologi sastra dapat menurut dua hal dalam resepsi, yaitu (a) reaksi pembaca, dan (b) evaluasi pembaca. Pembaca dapat menginterpretasi teks sastra sesuka hati. Mereka bebas berkomentar, yang penting masuk akal,
2. Langkah Kerja Estetik Ekspertimental
  Sebuah langkah eksperimental yang di tawarkan Bleich (pradopo, 1991:131) cukup penting di pegang oleh peneliti psikologi pembaca. Menurut dia, peneliti perlu menungkap “respon subjektif” pembaca teks. “Respon dia” ini akan menjadi data objektif. untuk  menangkap hal ini dapat dilakukan melalui dua kategori,yaitu (1) “jawaban” spontan pembaca teks,dan (2) ”arti” yang diatributkan pembaca kepadanya. Tanda petik pada kata jawaban dan arti ini menunjukkan bahwa keduanya adalah yang perlu dilacak.jawaban pembaca adalah ekspresi orisinal.Adapun arti harus diinterprestasikan. Itulah pelaksana ekspresimental yang patut dikritisi dalam penelitian.
   Metode penelitian apakah yang tersedia bagi estetika ekspresimental? Berlyne (1972) menyusun perbedaan-perbedaan berikut: (1) Sebagian besar rencana penelitian telah dioperasikan dengan putusan verbal dalam kaitannya dengan karya-karya seni; (2) Ada juga beberapa metode penelitian yang mengimplikasikan pencatatan psikologikal, misalnya mereka mencoba mengukur perubahan-perubahan dalam, aktivitas otak yang elektris ketika subyek sedang melihat film atau mendengarkan musik, yang mungkin menunjukkan perubahan tingkatan perasaan; (3) ada metode untuk mengukur apa yang di sebut non-verbal overt behavior ‘prilaku nonverbal’, misalnya suatu analisi dapat di buat tentang pilihan yang dapat dilakukan subjek terhadap dua karya seni atau lebih, dan waktu yang dibutuhkan bagi setiap pilahan dapat diukur, (4) Ada proyek yang tidak memerlukan responden, tetapi bermaksud menganalisis secara statistic materi artistic atau artefak, dengan pemusatan perhatian pada sisi atau hubungan antara kelas-kelas elemen.
2.4 Tipologi Psikis Pembaca
1. Kejiwaan Pembaca Sastra Anak
            Yang di maksud pembaca sastra anak adalah anak itu sendiri.Meskipum orang dewasa atau remaja bisa membacanya,pembaca sastra anak dalam konteks ini lebih khusus. Nugriyantoro (2005: 35-41) memberikan beberapa kontribusi sastra anak bagi anak.kontribusu ini tentu terkait pula dengan kejiwaan anak. Menurut dia, sastra anak di yakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati yang jelas. Nyanyian-nyanyian yang bisa didendangkan seorang ibu untuk membujuk si buah hati segera tertidur atau sekedar untuk menyenangkan, pada hakikatnya juga bernilai kesastran dan sekaligus mengandung nilai yang besar adilnya bagi perkenbangan kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan keindahan. Dengan membaca buku-buku cerita itu anak akan belajar bersikap dan tingkah laku secara benar. Lewat bacaan cerita itu anak akan belajar bagaimana mengelola emosinya agar tidak merugikan dirinya dan orang lain. Kemampuman seseorang mengelola emosi istilah yang di pakai adalah Emotional Quotien (EQ)  yang analog Intelligence Quotien (IQ), juga Spiritual Quention (SQ) dewasa ini di pandang  sebagai aspek personalitas yang besar pengaruhnya bagi kesuksesan hidup, bahkan diyakini lebih dari pada  IQ.  
2. Tipologi Psikis  Pembaca Remaja
            Pembaca juga raja. Dia berhak membuat merah hijau karya.Kebebasan imajinasi sering tak terkontrol.Akibatnya, sastra kadang-kadang lebih indah dari aslinya ketika di santap pembaca. Remaja mungkin gemar pada hal-hal cinta dalam sastra. Cinta adalah ahwal universal psikis manusia. Maka, kalo pembaca remaja mendambakan cinta dan seks, itu sah-sah saja. Golongan pembaca dari sisi umur memang sering berbeda inisiatif dan minatnya. Pembaca remaja, biasanya berbeda dengan pembaca dewasa.
3. Tipologi Psikis Pembaca Dewasa
            Pembaca dewasa,tuntutannya berlainan sama sekali dengan remaja.Orang dewasa telah matang kejiwaannya. Pembaca dewasa relative lebih mapan psikisnya. Banyak pilihanpun mereka lakukan dalam menentukan bacaan. Karena keseimbangan emosi stabil, tentu daya kekuatan psikis sastra ada perbedaan di banding pembaca remaja dan anak. Motivasi dan minat baca orang dewasa juga perlu di acak. Ada pembaca yang sekedar bersenang-senang, ada yang ingin meneliti, dan yang bermotif ekonomi, polotik, budaya, dan seterusnya. Seluruh hal tersebut di cermati aspek psikologisnya sehingga di temukan makna yang signifikan.
2.5  Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow
Teori psikologi humanistik dikembangkan oleh Abraham Maslow. Psikologi humanistik menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif, dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri. Melalui Motivation and Personatity (Wiyatmi, 2011:12).
Psikologi humanistik mempunyai empat ciri, yaitu:
1.    Memusatkan perhatian pada person yang mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia.
2.    Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti kreativitas, aktualisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanis dan reduksionistis.
3.    Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah yang akan dipelajari dan prosedur penelitian yang akan digunakan.
4.    Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu (Misiak dan Sexton, dalam Walgito: 2004:92).
Menurut Maslow, tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan individu tersebut lebih bahagia dan sekaligus memuaskan. Maslow mengemukakan teori kebutuhan bertingkat yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49). Diantara lima kebutuhan tersebut kebutuhan yang paling penting dan tertinggi dalam tingkatan kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Maslow menyatakan bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk yang baik, sehingga manusia memiliki hak untuk merealisasikan jati dirinya agar mencapai self-actualization atau disebut juga dengan aktualisasi diri (Minderop, 2013: 48). Setiap manusia berhak untuk melakukan aktualisasi diri, untuk mencapai aktualisasi diri tersebut manusia harus terlebih dahulu memenuhi empat kebutuhan lainnya dalam tingkatan kebutuhan Abraham Maslow.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk mengungkapkan diri atau aktualisasi diri. Kebutuhan individu akan aktualisasi diri dapat diartikan sebagai hasrat individu untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri, untuk menyadari semua potensi dirinya, menjadi apa saja menurut kemampuannya dan menjadi kreatif untuk bebas mencapai puncak prestasi potensinya, serta menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimiliki. Dengan demikian, kebutuhan aktualisasi diri ini merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk menunjukkan potensi yang dimilikinya setelah kebutuhan-kebutuhan lainnya terpenuhi (Hikma, 2015:7). Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengungkapkan diri berdasarkan potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu, kebutuhan yang memanfaatkan segala potensi yang ada dalam diri seseorang untuk terus mengembangkan kemampuannya hingga seseorang tersebut menjadi individu yang mampu menunjukkan serta mengungkapkan apa yang ada didalam dirinya.
Maslow menganggap bahwa orang-orang yang teraktualisasi diri adalah orang-orang yang luar biasa karena mereka telah menjadi manusia secara penuh. Ciri-ciri universal dari manusia-manusia ini adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, melihat hidup apa adanya, dan bersikap objektif (Goble, dalam Nugrahini, 2014:21). Seseorang dapat dikatakan telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri apabila ia dapat mengamati realitas kehidupan secara tepat, mengemukakan pendapatnya dengan jelas, spontan, dan sederhana. Seseorang yang telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri melihat segala realitas kehidupan secara apa adanya dan sederhana. Kebutuhan aktualisasi diri dapat dilihat melalui pengungkapan pendapat yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan potensi atau kemampuan yang dimiliki.






















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikologi sastra kaitannya dengan masalah pengaruh daya sastra adalah mengikuti aliran daya itu dalam diri pembaca. Mungkin sastra mengikuti proses keras, cepat, dan secara tiba-tiba menjadikan pembaca berubah total atau sebagian. Kemungkinan lain pengaruh yang lembut, penuh kearifan, tetapi tetap menjadi motif kuat dalam jiwa pembaca. Kemungkinan psikis yang terakhir ini, bisa jadi akan mengubah pandangan hidup pembaca.
Resepsi dan kebebasan tafsir psikologis
Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser (1988:213) yang paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran. Kalimat atau baris dalam sastra selalu bermuatan makna.
Eksperimental estetik pembaca sastra dibagi atas dua macam, yaitu:
1.      Reaksi evaluasi pembaca
Pembaca akan bereaksi setelah bersentuhan dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya telah terpenuhi berbagai butiran reaksi. Reaksi bisa ke arah kontruktif dan destruktif.
2.      Langkah kerja estetik eksperimental
Studi psikologis membutuhkan pengedepanan

Tipologi psikis pembaca dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Kejiwaan pembaca sastra anak.
2.      Tipologi psikis pembaca remaja.
3.      Tipologi psikis pembaca dewasa.
Menurut Maslow, tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan individu tersebut lebih bahagia dan sekaligus memuaskan. Maslow mengemukakan teori kebutuhan bertingkat yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49). Diantara lima kebutuhan tersebut kebutuhan yang paling penting dan tertinggi dalam tingkatan kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow adalah kebutuhan aktualisasi diri.

3.2 Saran
Pembaca adalah bagian dari kutub sastra. Sebagai pembaca di harapkan mampu meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan dalam diri pembaca.  


DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Jakarta: Media Pressindo.

0 komentar:

Posting Komentar