MAKALAH PSIKOLOGI
SASTRA
“Psikologi Pembaca”
Dibimbing Oleh :
Bayu Firnamsyah, M.Pd
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Dia
Rodiah (15188201007)
Ellyna May Nur Jannah (15188201008)
Imroatul Mufidah (15188201011)
Mar’ah Qonitatillah (15188201019)
Moh. Muklas (15188201022)
Nafisa (15188201025)
Nur Solikhaturrosida (15188201032)
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2015 A
STKIP
PGRI PASURUAN
2017-2018
Kata
Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Psikologi Sastra
dengan judul “Psikologi Pembaca”.
Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua
itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Pasuruan, 10 Oktober 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR......................................................................................................
i
DAFTAR
ISI.....................................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang..................................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah ............................................................................................. 2
1.3 Tujuan
Pembahasan .......................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Daya Psikis Keras dan Lunak .........................................................................
3
2.2 Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis .......................................................
3
2.3 Eksperimental Estetik Pembaca Sastra ...........................................................
5
2.4 Tipologi Psikis Pembaca...................................................................................
6
2.5 Kebutuhan
Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow…….. 7
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ....................................................................................................... 9
3.2
Saran ................................................................................................................. 9
DAFTAR
PUSTAKA .......................................................................................................
9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wallek dan
Austin (1989), Psikologi secara sempit diartikan sebagai ilmu tentang jiwa.
Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis- menulis. Maka
jika diartikan secara keseluruhan, prikologi sastra mengkaji karya sastra dari
sudut kejiwaannya (Ratna: 2004: 340).
(Ratna: 2004: 350) psikologi sastra adalah
analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan penerapan studi psikologis.
Artinya, psikologi turut berperan penting dalam menganalisis sebuah karya
sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur
pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada
tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam
karya sastra secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan
psikologi sangant erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut
dengan “psikologi sastra”. Artinya dengan meneliti sebuah karya sastra melalui
pendekatan psikologis sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan
psikologis karna dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang
mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
Dari beberapa
pendapat para ahli mengenai psikologi sastra, dapat ditarik benang merah
mengenai definisi psikologi sastra yaitu kajian teori konsep psikologi yang
diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam
penerapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
Psikologis
sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti
kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam
suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam
kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman
dan inspirasi terhadap masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud daya psikis keras dan lunak?
2.
Apa
yang dimaksud resepsi dan kebebasan tafsir psikologis?
3.
Bagaimana
Eksperimental estetik pembaca sastra?
4.
Apa
yang dimaksud Tipologi psikis pembaca?
5.
Apa
yang dimaksud kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mendeskripsikan daya psikis keras dan lunak.
2.
Untuk
mendeskripsikan resepsi dan kebebasan tafsir psikologis.
3.
Untuk
mendeskripsikan eksperimental estetik pembaca sastra.
4.
Untuk
mendeskripsikan tipologi psikis pembaca.
5.
Untuk
mendeskripsikan kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham
Maslow.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Daya
Spikis Keras dan Lunak
Agak sulit untuk
menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang
terkait dengan resepsi pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang
berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah
ini sebenarnya bukan studi sastra, melainkan penelitian pembaca. Pendapat ini
tampaknya juga sulit dipertanggung jawabkan, sebab bagaimanapun pembaca adalah
bagian dari kutub sastra. Cukup unik jika sastra telah tersugup di hadapan
pembaca. Konsep Holland (Wright, 1991:149) menyebutkan bahwa ada kemungkinan
terjadi “kolusi” estetis antara pengarang dengan pembaca. Untuk memahai
bagaimana resepsi psikis dapat terjadi dalam proses komunikasi sastra, dapat
dicermati gagasan Holland (1968) dan Lesser (1989) yang secara tegas
mengemukakamn masalah resepsi sastra secara psikologis. Bagi Holland, sastra
memiliki efek relief (pembebasan) sehingga akhir dari semua analisi seni adalah
a comfort (suatu kesenangan hidup). Kesenangan hidup di peroleh melalui ‘pelepasan’.
Sekalipun karya sastra membuat perasaan kita sakit, bersalah, atau cemas,
perasaan-perasaan itu (yang sesungguhnya hanyalah fantasi belaka) kita terima
dan kita kuasai sedemikian rupa untuk menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Gagasan bahwa sastra akan menimbulkan kenikmatan, muncul sebagai akibat
alternasi ritmik antara “gangguan” dan “penguasaan”. Orang susah, tetapi puas
dan senang adalah efek ketika membaca sastra. Orang dapat kecewa psikisnya,
tetapi lega karena membaca sastra. Dalam proses psikis semacam ini, berarti ada
gelombang estetis yang merambat dari sastra ke psikis pembaca. Adapun Simon
Lasser dalam bukunya Fiction and the Unconscious (1989), mengembangkan teori
emotif mellau model komunikasi yang memungkinkan dia mendeskripikan efek-efek
relief yang di rasakan pembaca.
2.2 Resepsi
dan Kebebasan Tafsir Psikologis
Resepsi adalah penerimaan. Penerimaan sastra
oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat sebuah surat berharga
yang dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah
kode-kode psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang
menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural, akan memperkaya
pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca
bebas bermain imajinasi. Dari situ pula bebas menciptakan dunianya. Sastra
setelah lepas dari tangan penulis menjadi hak banyak orang, termasuk
pembaca. Aspek psikis penulis, mungkin
bisa diterima berbeda oleh pembaca. Pembaca sering berimajinasi lain ketika
menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan pembaca juga sering kali mempengaruhi
daya kritisnya. Dalam proses resepsiserupa, saya setuju dengan gagasan bahwa
karya sastra ada hanya jika telah diciptakan kembali (dikonkretkan). Istilah
“dikonkretkan” adalah hak pembaca. Pembaca boleh berbuat apa saja,
menganalogikan bacaan dengan dirinya, boleh menangis, boleh marah, dan
seterusnya. Proses konkretisasi itu sebenarnya proses psikologis.
Daya kritis Junus demikian sah dan dapat
dipahami, namun yang terpenting bagi peneliti psikologis adalah kemampuan
memahami resepsi pembaca. Penulis, boleh juga pengucap, yang bekerja merumuskan
sesuatu ke dalam teks memusatkan perhatiannya kepada hal-hal tertentu dengan
melupakan hal-hal lain. dalam kaitan ini, Junus memberikan contoh dalam
hubungan bahasa. Seseorang mungkin berhadapan dengan persoalan bagaimana
merumuskan dua kalimat menjadi satu kalimat: (a) Saya percaya kepada Tuhan, (b)
Tuhan itu satu. Berdasarkan proses bahasa Melayu yang biasa, maka keduanya
dapat dibentuk menjadi satu kalimat, yakni “Saya percaya kepada Tuhan yang
satu”. Namun, pembaca yang berhadapan dengan kalimat tersebut mungkin akan
beranggapan bahwa kalimat itu berasal dari proses lain, yang tidak disadari
kehadirannya oleh penulis tadi. Pembaca akan mengalami suatu proses lain, suatu
cognition process. Ia akan mengaktifkan pemikirannya berdasarkan segala
kemungkinan bahasa yang dikuasainya. Ia akan menyadari hakikat polisemi dari
kontruksi “Tuhan yang satu”, karena dua arti menyatu dalam satu homonim.
Contoh yang
diberikan di atas, hendak menyatakan bahwa teks sastra memang banyak
mengundang tafsir. Teks sastra memiliki segala kemungkinan. Tiap pembaca boleh
meresepsi secara psikis, sesuai pengalaman masing-masing. Orang yang pertama
kali mengucapkan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, tidak
menyadari bahwa orang tidak mungkin kencing selagi berlari. Ia juga tidak akan
menyadari bahwa pepatah itu mempunyai implikasi lain dari yang dipikirkannya.
Ia mungkin berfikir bahwa bila guru kencing duduk, maka murid juga akan kencing
duduk (=mencangkung). Namun, pepatah itu memberikan implikasi lain. kalau “guru
kencing duduk”, maka “murid akan kencing berdiri” karena pepatah itu
menyarankan tentang murid yang “kurang ajar”. Apa yang ada pada pikiran
pengucap ialah bagaimana merumuskan sesuatu yang mengandung pengertian kalau
guru “kurang ajar”, maka murid akan lebih “kurang ajar” lagi, sedangkan murid
akan jadi baik bila gurunya juga baik.
Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun,
menurut Iser (1988:213) yang paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti
teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran.
Teks sastra tidak selalu berhubungan dengan realitas objektif. Dunia sastra
menurut Ingarden, akan dilukiskan secara intensional. Kalimat atau baris dalam
sastra selalu bermuatan makna. Gagasan demikian sebenarnya lebih pada proporsi
ingin menyatakan bahwa wacana sastra memang bersifat terbuka bagi penikmat.
Siapa saja boleh berdebat dan mengajukan alibi. Bagi pembaca sastra yang jitu,
tentu akan selektif terhadap permainan kata. Setiap pesan psikologis akan
terbungkus rapi dalam bahasa. Perbedaan persepsi terhadap wacana sastra, justru
memperkaya nilai sastra. Sastra tak pernah tunggal dalam hal makna. Semakin
menyebarkan keragaman makna, sastra itu dipandang lebih bagus. Inilah tugas reseptor
untuk menerka sampai ke batas psikis yang tepat.
2.3 Eksperimental Estetik Pembaca Sastra
1. Reaksi evaluatif pembaca.
pembaca akan bereaksi setelah bersentuhan
dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya telah terpenuhi berbagai berbagai
butir reaksi. Reaksi bisa kea rah konstruktif dan destruktif.
Perlu di pahami bahwa sosiologi tertarik dalam funchtioning masyarakat, sementara psikologi tertarik pada functioning human mind ‘pikiran manusia’. Pendapat ini menekankan aspek kejiwaan dalam penelitian psikologi sastra. Psikologi pembaca juga tidak bisa lepas dari aspek psikis. Dalam buku evaluasi teks sastra, sagers (Sayuti, 20072-82) dengan serius membahas evaluasi teks sastra secara psikologis. Paparan dia boleh di katakan akan membantu pemahaman psikologis sastra yang terkait dengan pembaca. Dalam kaitan ini,pembaca adalah bagian dari komunikasi sastra yang tidak bisa ditiadakan. Tanpa pembaca, secara psikologis, sastra kehilangan peminat. Psikologis sastra meliputi bidang penelitian yang luas,hanya ada sebagian yang memiliki relevensi dengan penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenaan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretative dan reaksi evaliatif pembaca terhadap teks sastra dapat di selidiki. Pernyataan ini memberikan penegasan bahwa penelitian psikologi sastra dapat menurut dua hal dalam resepsi, yaitu (a) reaksi pembaca, dan (b) evaluasi pembaca. Pembaca dapat menginterpretasi teks sastra sesuka hati. Mereka bebas berkomentar, yang penting masuk akal,
Perlu di pahami bahwa sosiologi tertarik dalam funchtioning masyarakat, sementara psikologi tertarik pada functioning human mind ‘pikiran manusia’. Pendapat ini menekankan aspek kejiwaan dalam penelitian psikologi sastra. Psikologi pembaca juga tidak bisa lepas dari aspek psikis. Dalam buku evaluasi teks sastra, sagers (Sayuti, 20072-82) dengan serius membahas evaluasi teks sastra secara psikologis. Paparan dia boleh di katakan akan membantu pemahaman psikologis sastra yang terkait dengan pembaca. Dalam kaitan ini,pembaca adalah bagian dari komunikasi sastra yang tidak bisa ditiadakan. Tanpa pembaca, secara psikologis, sastra kehilangan peminat. Psikologis sastra meliputi bidang penelitian yang luas,hanya ada sebagian yang memiliki relevensi dengan penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenaan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretative dan reaksi evaliatif pembaca terhadap teks sastra dapat di selidiki. Pernyataan ini memberikan penegasan bahwa penelitian psikologi sastra dapat menurut dua hal dalam resepsi, yaitu (a) reaksi pembaca, dan (b) evaluasi pembaca. Pembaca dapat menginterpretasi teks sastra sesuka hati. Mereka bebas berkomentar, yang penting masuk akal,
2. Langkah Kerja Estetik Ekspertimental
Sebuah
langkah eksperimental yang di tawarkan Bleich
(pradopo, 1991:131) cukup penting di pegang oleh peneliti psikologi pembaca.
Menurut dia, peneliti perlu menungkap “respon subjektif” pembaca teks. “Respon dia”
ini akan menjadi data objektif. untuk menangkap hal ini dapat dilakukan melalui dua
kategori,yaitu (1) “jawaban” spontan pembaca teks,dan (2)
”arti” yang diatributkan pembaca kepadanya. Tanda
petik pada kata jawaban dan arti ini menunjukkan bahwa keduanya adalah yang
perlu dilacak.jawaban pembaca adalah ekspresi orisinal.Adapun arti harus
diinterprestasikan. Itulah
pelaksana ekspresimental yang patut dikritisi dalam penelitian.
Metode penelitian apakah yang tersedia bagi
estetika ekspresimental? Berlyne (1972) menyusun perbedaan-perbedaan berikut:
(1) Sebagian besar rencana penelitian telah
dioperasikan dengan putusan verbal dalam kaitannya dengan karya-karya seni; (2)
Ada juga beberapa metode penelitian yang mengimplikasikan pencatatan
psikologikal, misalnya mereka mencoba mengukur perubahan-perubahan dalam,
aktivitas otak yang elektris ketika subyek sedang melihat film atau
mendengarkan musik, yang
mungkin menunjukkan perubahan tingkatan perasaan; (3) ada metode untuk mengukur
apa yang di sebut non-verbal overt behavior ‘prilaku nonverbal’,
misalnya suatu analisi dapat di buat tentang pilihan yang dapat dilakukan
subjek terhadap dua karya seni atau lebih, dan waktu yang dibutuhkan bagi setiap pilahan dapat
diukur,
(4) Ada proyek yang tidak memerlukan responden,
tetapi bermaksud menganalisis secara statistic materi
artistic atau artefak, dengan
pemusatan perhatian pada sisi atau hubungan antara kelas-kelas elemen.
2.4 Tipologi Psikis Pembaca
1. Kejiwaan Pembaca Sastra Anak
Yang
di maksud pembaca sastra anak adalah anak itu sendiri.Meskipum orang dewasa
atau remaja bisa membacanya,pembaca sastra anak dalam konteks ini lebih khusus.
Nugriyantoro (2005: 35-41)
memberikan beberapa kontribusi sastra anak bagi anak.kontribusu ini tentu
terkait pula dengan kejiwaan anak. Menurut dia, sastra anak di yakini memiliki kontribusi yang besar
bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan sebagai
manusia yang mempunyai jati yang jelas. Nyanyian-nyanyian yang bisa
didendangkan seorang ibu untuk membujuk si buah hati segera tertidur atau
sekedar untuk menyenangkan, pada hakikatnya juga bernilai kesastran dan sekaligus mengandung nilai
yang besar adilnya bagi perkenbangan kejiwaan anak,
misalnya nilai kasih sayang dan keindahan. Dengan membaca buku-buku cerita itu
anak akan belajar bersikap dan tingkah laku secara benar.
Lewat bacaan cerita itu anak akan belajar bagaimana
mengelola emosinya agar tidak merugikan dirinya dan orang lain.
Kemampuman seseorang mengelola emosi istilah yang di pakai adalah
Emotional Quotien (EQ) yang
analog Intelligence Quotien (IQ), juga Spiritual Quention (SQ)
dewasa ini di pandang sebagai aspek
personalitas yang besar pengaruhnya bagi kesuksesan hidup, bahkan diyakini
lebih dari pada IQ.
2. Tipologi Psikis
Pembaca Remaja
Pembaca juga raja. Dia berhak membuat merah hijau
karya.Kebebasan imajinasi sering tak terkontrol.Akibatnya, sastra kadang-kadang
lebih indah dari aslinya ketika di santap pembaca. Remaja mungkin gemar pada
hal-hal cinta dalam sastra. Cinta adalah ahwal universal psikis manusia. Maka,
kalo pembaca remaja mendambakan cinta dan seks, itu sah-sah saja. Golongan
pembaca dari sisi umur memang sering berbeda inisiatif dan minatnya. Pembaca
remaja, biasanya berbeda dengan pembaca dewasa.
3. Tipologi Psikis Pembaca Dewasa
Pembaca dewasa,tuntutannya berlainan sama sekali
dengan remaja.Orang dewasa telah matang kejiwaannya. Pembaca dewasa relative
lebih mapan psikisnya. Banyak pilihanpun mereka lakukan dalam menentukan
bacaan. Karena keseimbangan emosi stabil, tentu daya kekuatan psikis sastra ada
perbedaan di banding pembaca remaja dan anak. Motivasi dan minat baca orang
dewasa juga perlu di acak. Ada pembaca yang sekedar bersenang-senang, ada yang
ingin meneliti, dan yang bermotif ekonomi, polotik, budaya, dan seterusnya.
Seluruh hal tersebut di cermati aspek psikologisnya sehingga di temukan makna
yang signifikan.
2.5
Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik
Abraham Maslow
Teori psikologi humanistik dikembangkan
oleh Abraham Maslow. Psikologi humanistik menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang kreatif, dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran
melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri. Melalui Motivation
and Personatity (Wiyatmi, 2011:12).
Psikologi humanistik mempunyai empat
ciri, yaitu:
1. Memusatkan perhatian pada person yang
mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam
mempelajari manusia.
2. Menekankan pada kualitas-kualitas yang
khas manusia, seperti kreativitas, aktualisasi diri, sebagai lawan dari
pemikiran tentang manusia yang mekanis dan reduksionistis.
3. Menyandarkan diri pada kebermaknaan
dalam memilih masalah yang akan dipelajari dan prosedur penelitian yang akan
digunakan.
4. Memberikan perhatian penuh dan
meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik
pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu (Misiak dan Sexton,
dalam Walgito: 2004:92).
Menurut Maslow, tingkah laku manusia
lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar
kehidupan individu tersebut lebih bahagia dan sekaligus memuaskan. Maslow
mengemukakan teori kebutuhan bertingkat yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, serta
kebutuhan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49). Diantara lima kebutuhan
tersebut kebutuhan yang paling penting dan tertinggi dalam tingkatan kebutuhan
yang dikemukakan oleh Maslow adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Maslow menyatakan bahwa manusia
sejatinya merupakan makhluk yang baik, sehingga manusia memiliki hak untuk
merealisasikan jati dirinya agar mencapai self-actualization atau disebut juga
dengan aktualisasi diri (Minderop, 2013: 48). Setiap manusia berhak untuk
melakukan aktualisasi diri, untuk mencapai aktualisasi diri tersebut manusia
harus terlebih dahulu memenuhi empat kebutuhan lainnya dalam tingkatan
kebutuhan Abraham Maslow.
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan
keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi
potensi. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk
mengungkapkan diri atau aktualisasi diri. Kebutuhan individu akan aktualisasi
diri dapat diartikan sebagai hasrat individu untuk memperoleh kepuasan dengan
dirinya sendiri, untuk menyadari semua potensi dirinya, menjadi apa saja
menurut kemampuannya dan menjadi kreatif untuk bebas mencapai puncak prestasi
potensinya, serta menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang
dimilikinya untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi
yang dimiliki. Dengan demikian, kebutuhan aktualisasi diri ini merupakan
kebutuhan yang mendorong individu untuk menunjukkan potensi yang dimilikinya
setelah kebutuhan-kebutuhan lainnya terpenuhi (Hikma, 2015:7). Kebutuhan
aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengungkapkan diri berdasarkan
potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu, kebutuhan yang
memanfaatkan segala potensi yang ada dalam diri seseorang untuk terus
mengembangkan kemampuannya hingga seseorang tersebut menjadi individu yang
mampu menunjukkan serta mengungkapkan apa yang ada didalam dirinya.
Maslow menganggap bahwa orang-orang
yang teraktualisasi diri adalah orang-orang yang luar biasa karena mereka telah
menjadi manusia secara penuh. Ciri-ciri universal dari manusia-manusia ini
adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, melihat hidup apa adanya,
dan bersikap objektif (Goble, dalam Nugrahini, 2014:21). Seseorang dapat dikatakan
telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri apabila ia dapat mengamati realitas
kehidupan secara tepat, mengemukakan pendapatnya dengan jelas, spontan, dan
sederhana. Seseorang yang telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri melihat
segala realitas kehidupan secara apa adanya dan sederhana. Kebutuhan
aktualisasi diri dapat dilihat melalui pengungkapan pendapat yang dilakukan
oleh seseorang berdasarkan potensi atau kemampuan yang dimiliki.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikologi sastra
kaitannya dengan masalah pengaruh daya sastra adalah mengikuti aliran daya itu
dalam diri pembaca. Mungkin sastra mengikuti proses keras, cepat, dan secara
tiba-tiba menjadikan pembaca berubah total atau sebagian. Kemungkinan lain
pengaruh yang lembut, penuh kearifan, tetapi tetap menjadi motif kuat dalam
jiwa pembaca. Kemungkinan psikis yang terakhir ini, bisa jadi akan mengubah
pandangan hidup pembaca.
Resepsi dan kebebasan tafsir psikologis
Pembaca memang bebas sebagai penafsir.
Namun, menurut Iser (1988:213) yang paling esensial adalah bukan hanya mampu
meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai
ketaksadaran. Kalimat atau baris dalam sastra selalu bermuatan makna.
Eksperimental
estetik pembaca sastra dibagi atas dua macam, yaitu:
1. Reaksi evaluasi pembaca
Pembaca
akan bereaksi setelah bersentuhan dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya
telah terpenuhi berbagai butiran reaksi. Reaksi bisa ke arah kontruktif dan
destruktif.
2. Langkah kerja estetik eksperimental
Studi
psikologis membutuhkan pengedepanan
Tipologi psikis pembaca dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1.
Kejiwaan
pembaca sastra anak.
2.
Tipologi
psikis pembaca remaja.
3.
Tipologi
psikis pembaca dewasa.
Menurut
Maslow, tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk
mencapai tujuan agar kehidupan individu tersebut lebih bahagia dan sekaligus
memuaskan. Maslow mengemukakan teori kebutuhan bertingkat yaitu kebutuhan
fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan
akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49). Diantara
lima kebutuhan tersebut kebutuhan yang paling penting dan tertinggi dalam
tingkatan kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow adalah kebutuhan aktualisasi
diri.
3.2 Saran
Pembaca adalah
bagian dari kutub sastra. Sebagai pembaca di harapkan mampu meneladani
aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk
sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan dalam diri pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode
Penelitian Psikologi Sastra. Jakarta: Media Pressindo.








0 komentar:
Posting Komentar