PSIKOLOGI PENGARANG
“Analisis Cerpen Doa Si Gila”
Karya : Ken Hanggara
“Analisis Cerpen Doa Si Gila”
Karya : Ken Hanggara
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Psikologi
Sastra
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.pd
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.pd
Disusun oleh kelompok : 1 A
1.
Ana Lutfiah (15188201002)
2.
Lailiatuz Zainia (15188201016)
3.
Nida’ Qurrotul Firdaus
(15188201026)
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP
PGRI PASURUAN
PRODI
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA 2015/A
1.
Psikologi
pengarang sebagai hukum/tipe atau pribadi
Tipe
adalah pribadi atau diri pengarang artinya pengarang dalam menulis karyanya
bersumber dari diri pribadi, pengalaman pengarang atau hanya fiktif belaka buah imajinasi pengarang, Jadi dalam karya tersebut
apakah ada kaitanya dengan pengarang atau tidak. Hukum adalah Imajinasi seorang
pengarang yang dituangkan dalam cerita dan tidak ada hubunganya dengan
pengalaman jiwa seorang pengarang.
Menurut
kami sesuai dengan data yang telah kami analisis dalam cerita yang disampaikan
oleh pengarang cerpen “Doa Si Gila” termasuk hukum karena dalam cerita tersebut
tidak ada kaitanya dengan pengalaman jiwa seorang pengarang, pengarang
mendapatkan ide sebuah cerita hanya dari sebuah lamunan atau dari kabar burung
dan sebagainya. Tokoh maupun perwatakan “Aku dan ibu gila” juga tidak ada
hubunganya dalam kehidupan sosial pengarang, tokoh “Aku dan ibu gila” hanyalah
imajinasi seorang pengarang saja.
2.
Cerpen
“DOA SI GILA”
Karya Ken Hanggara
Aroma
ketiak ibu-ibu sampai ke hidungku. Kukira aku harus bilang, "Anda butuh
sabun mandi!" Aku sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum
kusadari ada yang salah. Ibu-ibu itu, yang sedari mula aku memilih baju bekas
di trotoar sudah mengoceh sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak
yang tak tahu diuntung, ternyata tidak sewaras yang kupikir.
Mundur
selangkah, dua langkah, tiga langkah... Haruskah kuhitung?
Aku
mundur hingga jarak kami aman buatku tidak menghirup aroma memuakkan itu. Bau
badan ibu-ibu yang tidak bisa dikenali sebagai bau manusia waras. Pantaslah
ocehannya tanpa batas. Tak terbayang betapa orang menganggapku super sinting
andai keburu melabraknya tanpa melihat penampilan itu lebih dulu. Amit-amit
jabang bayi!
Dari
jarak aman, ia masih mengangkat kedua lengan tinggi-tinggi, sehingga ketiak
berbulu lebat terlihat jelas. Mengerikan! Untung aku di sini, berteduh di atap
teras sebuah toko. Dia terus mengoceh soal suami dan anak-anaknya yang entah di
mana. Perkara pribadi diadukan ke Tuhan yang Mahakuasa di tempat umum.
"Saya
setuju Kau matikan mereka, bila perlu sekarang juga, detik ini juga. Karena
mereka, hidup saya menderita!"
Lalu
lalang pejalan kaki terhambat. Beberapa yang mungkin sadar bau badannya sengak,
juga membencinya sampai mau muntah seperti diriku, mulai membelah formasi demi
jarak aman buat lewat. Beberapa berhenti, sekadar mengamati dari dekat; seorang
orang gila sedang berdoa kepada Tuhan.
"Bagaimana?
Apa permintaanku terlalu berat?"
Lalu
ia menambahkan betapa Tuhan satu-satunya yang terkuat di alam semesta, sehingga
karena itulah permintaan agar suami dan anak-anaknya mati, tidaklah terlalu
berat bagi Tuhan dan bisa segera dilaksanakan.
Tapi,
mendengar kalimat kurang ajarnya, ia mengernyitkan dahi. Siapa dia hingga Tuhan
perlu mengutamakannya? Manusia macam apa dia? Menyembah Tuhan saja jarang,
minta yang bukan-bukan (aku tidak tahu apakah dia orang beriman atau tidak
semasa waras dulu, tapi jangan diperdebatkan!). Bahkan, suaminya tidak
menghormatinya, begitu yang dia ucap sebelum mencak-mencak karena ingat betapa
cantik selingkuhan suaminya. Betapa seksi!"Oke, saya tidak seksi sehingga
suami saya kabur. Tapi, itu bukan salah saya kok! Kenapa Anda membuat saya
tidak seksi, wahai Tuhanku?!"
Kepentingan
Tuhan banyak. Tapi Tuhan tidak kewalahan. Tapi, pantaskah meminta hal yang
jahat kepada-Nya?
Ia
menangis, membuat penonton iba dan mengelus dada. Barangkali karena tahu urusan
ibu-ibu tidak waras ini ingin suami dan anak-anaknya mati mengenaskan, adalah
urusan sepele, remeh-temeh, tidak penting bagi Tuhan, dan mestinya tidak
dimohonkan kepada-Nya.
Menyadari
kerumunan penonton, ia tergeragap dan menatap malu ke arah mereka. Sebagian
kabur. Sebagian mundur. "Bapak-bapak, ibu-ibu, saya boleh berdoa,
'kan?!" tanyanya lalu menghapus air mata.
"Boleh.
Silakan, silakan!"
Dengan
takzim, ibu-ibu gila itu bersimpuh dan memejamkan mata. Angin membelai wajah
dan rambut, juga tentu saja ketiaknya. Aroma ketiak sengak, yang bagiku busuk
minta ampun, membuat beberapa orang terjajar ke belakang dan spontan menyumpal
mulut dan hidung.
"Jangkrik!"
umpat sebagian orang, karena tidak kuat menahan diri sehingga harus
muntah-muntah. Keadaan mengacau. Kerumunan saling desak, saling sikut,
sementara si gila tenang-tenang saja.
Aku
mengikik geli. Jarang-jarang orang gila berdoa di pinggir jalan. Jadi tontonan
lagi! Apa yang ada di kepala orang-orang sehingga tertarik melihat orang gila
itu berdoa, yang kadang kalimatnya terdengar agak menggugat? Barangkali ingin
tahu bagaimana orang gila berdoa; apakah lebih khusyuk dari yang masih waras?
Atau, jangan-jangan sekadar ingin tahu masalah yang menimpa rumah tangga
ibu-ibu malang itu sehingga ia menjadi gila? Dasar lancang!
Dengar
perkataanku ini—pengakuanku tepatnya—bahwa aku berdiri di sini bukan karena
ingin melihat aib yang membuat ia gila hingga ketiaknya tidak terurus dan
berbau. Aku di sini karena penasaran bagaimana reaksi orang-orang yang
menonton. Itu saja. Sejak mula aku sudah mau pergi, tetapi karena orang yang
berkerumun makin banyak, aku pun penasaran mau tahu reaksi mereka. Jadi, jangan
kira aku lancang!
Jalan
macet karena orang-orang mulai bergerombol di trotoar. Penjual baju bekas, teh
botol, dan batu akik yang menggelar dagangan secara sembarangan di trotoar pun
dapat rejeki nomplok. Di antara para penonton, tentu saja ada yang bosan
melihat si gila sehingga membeli apa yang menarik hati. Maka, para penjual
girang tak keruan. Mereka bahkan jalan ke sana kemari demi menggaet lebih
banyak pembeli.
Sementara,
ibu-ibu gila kini membuka mata dan merapal sesuatu yang entah apa. Orang-orang
saling tatap dan geleng-geleng kepala—masih dengan posisi menyumpal mulut dan
hidung.
"Kalau
memang ini tidak memberatkan," ia berkata lugas, "Tuhan pasti tidak
akan ragu melakukannya."
Ia
pun menangis. Seperti tak peduli kerumunan yang tadi membuatnya sungkan, ia
terus menangis. Mobil-mobil berhenti, penumpangnya melongok dari dalam, mengira
ada kecelakaan atau perkelahian jalanan. Oh, ternyata orang gila sedang berdoa.
Ambil kamera deh! Jeprat-jepret, upload di Facebook, Instagram, Twitter...
Pengendara
motor tak mau kalah. Lahan rejeki baru segera tercipta: pengangguran di kampung
sekitar memancang tiang-tiang, menghubungkannya dengan tali, dan jadilah tempat
parkir dadakan. Puluhan motor parkir, karena pengendaranya mau tahu apa yang
terjadi pada ibu-ibu gila itu.
Begitulah,
dua jam kemudian kondisi jalan benar-benar padat. Seperti ada presiden lewat,
padahal cuma perempuan sinting dengan ketiak busuk sedang berdoa menggugat
Tuhan agar mau menghabisi nyawa suami dan anak-anaknya. Tak kalah heboh ketika
si ibu-ibu ngamuk karena ingat kurang ajarnya kedua anaknya. Anak-anak yang tak
tahu diuntung, karena mendukung perbuatan bejat sang ayah demi imbalan berupa
uang buat dolan ke diskotik dan menyewa perempuan nakal!
"Dunia
sudah edan ya, Tuhan," dia mendesis. Para penonton saling desak. Puluhan
blitz kamera menyambar wajah si gila. "Saya berharap tidak ikut edan.
Karena dengan demikian, saya masih bisa mengenal-Mu!"
Orang-orang
melongo. Si gila bangkit dan jalan. Kerumunan mengekor di belakang, termasuk
aku, yang kini mau tahu apa yang bakal terjadi pada ibu-ibu aneh ini. Ia bilang
mau mencari suami dan anak-anaknya. Biar ia sendiri yang melakukan niatnya,
karena Tuhan tidak mau.
Pada
saat itu, jika kau atau siapa pun berada di dalam sebuah helikopter, kau dapati
pemandangan menakjubkan di bawah sini: ibu-ibu gila dengan seribu pengikutnya,
mencari tiga pendosa demi sebuah hukuman mati. Benar-benar edan! Aku harap ini
cuma mimpi. Semoga!
3.
Konsep
Dalam
menganalisis cerpen “Doa Si Gila” kami menggunakan teori bawah sadar manusia
Sigmun Freud yang mengatakan bahwa segi-segi terpenting perilaku manusia
ditentukan oleh alam tak sadarnya. Untuk itu Freud mengemukakan teori tentang
struktur kepribadian manusia. Struktur kepribadian manusia tersebut terdiri
dari tiga bagian yang tumbuh secara kronologis, yaitu id, ego, dan superego. Id
adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir,
diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis
manusia dan merupakan sumber energi manusia, sehingga dikatakan juga oleh Freud
sebagai jembatan antara segi biologis dan psikis manusia. Dalam hal ini Id
bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik
(kacau, tanpa aturan), tidak mengenal moral, tidak memiliki rasa benar atau
salah. Salah satunya yang diketahui Id adalah perasaan senang atau tidak
senang. Sehingga dapat dikatakan bahwa Id bekerja berdasarkan prinsip
kesenangan. Dalam hal ini Id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati,
manja, sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri, dalam hal ini apa yang
diinginkan harus segera dilaksanakan (Minderop, 2010:21)
Ego
adalah segi kepribadian yang harus
tunduk pada Id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai
pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Dengan demikian ego adalah segi
kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan serta mau
menanggung ketegangan dalam bahasa tertentu. Berlawanan dengan Id yang bekerja
berdasarkan prinsip kesenangan, ego bekerja berdasarkan prinsip realita artinya
ia dapat menunda pemuas diri atau mencari bentuk pemuas lain yang lebih sesuai
dengan batasan lingkungan dan hati nurani. Ego menjalankan proses sekunder
artinya ia menggunakan kemampuan berfikir secara rasional dalam mencari
pemecahan masalah terbaik. Ego (terletak di antara alam sadar dan tak sadar)
terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh
pada prinsip realitas denga mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi
oleh realitas. Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya:
penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan kepribadian (Minderop,
2010:22).
Sedangkan
superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan
“hati nurani” yang mengenali nilai baik dan buruk (Minderop, 2010:22). Sebagai
mana Id, ego, superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan hal-hal
realistik, kecuali ketika impuls seksual dan agresifitas Id dapat terpuaskan
dalam pertimbangan moral. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi,
artinya larangan-larangan atau perintah yang berasal dari luar. Dalam hal ini
diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan demikian
larangan yang tadinya dianggap asing bagi subyek, akhirnya dianggap sebagai
berasal dari subjek sendiri. Superego merupakan dasar moral seseorang. Peranan
superego dapat dibandingkan dengan hakim.
4.
Analisis
Analisis
id, ego dan superego pada tokoh ibu gila.
No
|
Konsep
|
Data
|
Interpretasi
|
1
|
Id
|
Saya setuju kau matikan mereka, bila
perlu sekarang juga, detik ini juga. Karena, hidup saya menderita.
|
Ibu gila ini sangat menginginkan suami
dan anaknya mati. Karena suami dan anaknya yang membuat ibu gila tersebut
menderita.
|
Ok saya tidak seksi sehingga suami
saya kabur. Tapi, itu buan salah saya kok! Kenapa anda membuat saya tidak
seksi. Wahai Tuhanku.
|
Ibu gila tersebut marah-marah kepada
Tuhan. Karena Tuhan tidak memberinya tubuh yang seksi. Seperti selingkuhan
suaminya.
|
||
Kalau memang ini tidak memberatkan “ia
berkata lugas”. Tuhan pasti tidak akan ragu melakukannya.
|
Ibu gila ini kesal kepada Tuhan karena
keinginannya tidak dikabulkan. Maka ibu gila itu menginginkan Tuhan untuk
mengabulkan keinginannya.
|
||
2
|
Ego
|
Tapi mendengar kalimat kurang ajarnya,
ia mengerutkan dahi. Siapa dia hingga Tuhan perlu menguatkannya? Manusia
macam apa dia? menyembah Tuhan saja jarang menghormatinya begitu yang dia
ucap sebelum mencak-mencak karena ingat betapa cantik selingkungan suaminya.
Betapa seksi! Mendengar kalimat yang diujarkan ibu gila itu berfikir.
|
Ibu gila tersebut jarang menyembah
kepada Tuhan karena permintaan ibu gila itu aneh-aneh. Sehingga dia
diingatkan dengan suaminya yang memiliki selingkuhan yang seksi.
|
3
|
Superego
|
“Bapak-bapak, ibu-ibu saya boleh
berdoakan”.
|
Ibu gila ini malu dan sadar bahwa
semakin banyak orang yang melihatnya, maka dia berkata kepada orang-orang
yang melihatnya bahwa dia ingin berdoa.
|
Kepentingan Tuhan banyak. Tapi Tuhan
tidak kewalahan. Tapi, pantaskah meminta hal yang jahat kepadaNya.
|
Ibu gila tersebut sadar bahwa
permintaannya tidak akan dikabulkan. Banyak yang diinginkan kepada Tuhan dan
Tuhan itu adil tetapi tidak pantas tidak baik apabila meminta sesuatu yang
tidak baik kepada Tuhan.
|
Daftar Rujukan
Endraswara Suwardi. Metode Penelitian Psikologi Sastra, Yogyakarta : MedPress
http://belajarpsikologi.com/struktur-kepribadian-id-ego-dan-superego-sigmund-freud/
http://trieepram.blogspot.co.id/








0 komentar:
Posting Komentar