syarief uye

Autumn Falling Leaves

Rabu, 10 Januari 2018

ANALISIS KELOMPOK 1-A "Doa si gila"

PSIKOLOGI PENGARANG
“Analisis Cerpen Doa Si Gila”
Karya : Ken Hanggara
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Sastra
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.pd
Disusun oleh kelompok : 1 A
1.      Ana Lutfiah                             (15188201002)
2.      Lailiatuz Zainia                        (15188201016)
3.      Nida’ Qurrotul Firdaus           (15188201026)



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA 2015/A

1.      Psikologi pengarang sebagai hukum/tipe atau pribadi
Tipe adalah pribadi atau diri pengarang artinya pengarang dalam menulis karyanya bersumber dari diri pribadi, pengalaman pengarang atau hanya fiktif belaka  buah imajinasi pengarang, Jadi dalam karya tersebut apakah ada kaitanya dengan pengarang atau tidak. Hukum adalah Imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam cerita dan tidak ada hubunganya dengan pengalaman jiwa seorang pengarang.
Menurut kami sesuai dengan data yang telah kami analisis dalam cerita yang disampaikan oleh pengarang cerpen “Doa Si Gila” termasuk hukum karena dalam cerita tersebut tidak ada kaitanya dengan pengalaman jiwa seorang pengarang, pengarang mendapatkan ide sebuah cerita hanya dari sebuah lamunan atau dari kabar burung dan sebagainya. Tokoh maupun perwatakan “Aku dan ibu gila” juga tidak ada hubunganya dalam kehidupan sosial pengarang, tokoh “Aku dan ibu gila” hanyalah imajinasi seorang pengarang saja.

2.      Cerpen
“DOA SI GILA”
Karya Ken Hanggara

Aroma ketiak ibu-ibu sampai ke hidungku. Kukira aku harus bilang, "Anda butuh sabun mandi!" Aku sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum kusadari ada yang salah. Ibu-ibu itu, yang sedari mula aku memilih baju bekas di trotoar sudah mengoceh sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak yang tak tahu diuntung, ternyata tidak sewaras yang kupikir.
Mundur selangkah, dua langkah, tiga langkah... Haruskah kuhitung?
Aku mundur hingga jarak kami aman buatku tidak menghirup aroma memuakkan itu. Bau badan ibu-ibu yang tidak bisa dikenali sebagai bau manusia waras. Pantaslah ocehannya tanpa batas. Tak terbayang betapa orang menganggapku super sinting andai keburu melabraknya tanpa melihat penampilan itu lebih dulu. Amit-amit jabang bayi!
Dari jarak aman, ia masih mengangkat kedua lengan tinggi-tinggi, sehingga ketiak berbulu lebat terlihat jelas. Mengerikan! Untung aku di sini, berteduh di atap teras sebuah toko. Dia terus mengoceh soal suami dan anak-anaknya yang entah di mana. Perkara pribadi diadukan ke Tuhan yang Mahakuasa di tempat umum.
"Saya setuju Kau matikan mereka, bila perlu sekarang juga, detik ini juga. Karena mereka, hidup saya menderita!"
Lalu lalang pejalan kaki terhambat. Beberapa yang mungkin sadar bau badannya sengak, juga membencinya sampai mau muntah seperti diriku, mulai membelah formasi demi jarak aman buat lewat. Beberapa berhenti, sekadar mengamati dari dekat; seorang orang gila sedang berdoa kepada Tuhan.
"Bagaimana? Apa permintaanku terlalu berat?"
Lalu ia menambahkan betapa Tuhan satu-satunya yang terkuat di alam semesta, sehingga karena itulah permintaan agar suami dan anak-anaknya mati, tidaklah terlalu berat bagi Tuhan dan bisa segera dilaksanakan.
Tapi, mendengar kalimat kurang ajarnya, ia mengernyitkan dahi. Siapa dia hingga Tuhan perlu mengutamakannya? Manusia macam apa dia? Menyembah Tuhan saja jarang, minta yang bukan-bukan (aku tidak tahu apakah dia orang beriman atau tidak semasa waras dulu, tapi jangan diperdebatkan!). Bahkan, suaminya tidak menghormatinya, begitu yang dia ucap sebelum mencak-mencak karena ingat betapa cantik selingkuhan suaminya. Betapa seksi!"Oke, saya tidak seksi sehingga suami saya kabur. Tapi, itu bukan salah saya kok! Kenapa Anda membuat saya tidak seksi, wahai Tuhanku?!"
Kepentingan Tuhan banyak. Tapi Tuhan tidak kewalahan. Tapi, pantaskah meminta hal yang jahat kepada-Nya?
Ia menangis, membuat penonton iba dan mengelus dada. Barangkali karena tahu urusan ibu-ibu tidak waras ini ingin suami dan anak-anaknya mati mengenaskan, adalah urusan sepele, remeh-temeh, tidak penting bagi Tuhan, dan mestinya tidak dimohonkan kepada-Nya.
Menyadari kerumunan penonton, ia tergeragap dan menatap malu ke arah mereka. Sebagian kabur. Sebagian mundur. "Bapak-bapak, ibu-ibu, saya boleh berdoa, 'kan?!" tanyanya lalu menghapus air mata.
"Boleh. Silakan, silakan!"
Dengan takzim, ibu-ibu gila itu bersimpuh dan memejamkan mata. Angin membelai wajah dan rambut, juga tentu saja ketiaknya. Aroma ketiak sengak, yang bagiku busuk minta ampun, membuat beberapa orang terjajar ke belakang dan spontan menyumpal mulut dan hidung.
"Jangkrik!" umpat sebagian orang, karena tidak kuat menahan diri sehingga harus muntah-muntah. Keadaan mengacau. Kerumunan saling desak, saling sikut, sementara si gila tenang-tenang saja.
Aku mengikik geli. Jarang-jarang orang gila berdoa di pinggir jalan. Jadi tontonan lagi! Apa yang ada di kepala orang-orang sehingga tertarik melihat orang gila itu berdoa, yang kadang kalimatnya terdengar agak menggugat? Barangkali ingin tahu bagaimana orang gila berdoa; apakah lebih khusyuk dari yang masih waras? Atau, jangan-jangan sekadar ingin tahu masalah yang menimpa rumah tangga ibu-ibu malang itu sehingga ia menjadi gila? Dasar lancang!
Dengar perkataanku ini—pengakuanku tepatnya—bahwa aku berdiri di sini bukan karena ingin melihat aib yang membuat ia gila hingga ketiaknya tidak terurus dan berbau. Aku di sini karena penasaran bagaimana reaksi orang-orang yang menonton. Itu saja. Sejak mula aku sudah mau pergi, tetapi karena orang yang berkerumun makin banyak, aku pun penasaran mau tahu reaksi mereka. Jadi, jangan kira aku lancang!
Jalan macet karena orang-orang mulai bergerombol di trotoar. Penjual baju bekas, teh botol, dan batu akik yang menggelar dagangan secara sembarangan di trotoar pun dapat rejeki nomplok. Di antara para penonton, tentu saja ada yang bosan melihat si gila sehingga membeli apa yang menarik hati. Maka, para penjual girang tak keruan. Mereka bahkan jalan ke sana kemari demi menggaet lebih banyak pembeli.
Sementara, ibu-ibu gila kini membuka mata dan merapal sesuatu yang entah apa. Orang-orang saling tatap dan geleng-geleng kepala—masih dengan posisi menyumpal mulut dan hidung.
"Kalau memang ini tidak memberatkan," ia berkata lugas, "Tuhan pasti tidak akan ragu melakukannya."
Ia pun menangis. Seperti tak peduli kerumunan yang tadi membuatnya sungkan, ia terus menangis. Mobil-mobil berhenti, penumpangnya melongok dari dalam, mengira ada kecelakaan atau perkelahian jalanan. Oh, ternyata orang gila sedang berdoa. Ambil kamera deh! Jeprat-jepret, upload di Facebook, Instagram, Twitter...
Pengendara motor tak mau kalah. Lahan rejeki baru segera tercipta: pengangguran di kampung sekitar memancang tiang-tiang, menghubungkannya dengan tali, dan jadilah tempat parkir dadakan. Puluhan motor parkir, karena pengendaranya mau tahu apa yang terjadi pada ibu-ibu gila itu.
Begitulah, dua jam kemudian kondisi jalan benar-benar padat. Seperti ada presiden lewat, padahal cuma perempuan sinting dengan ketiak busuk sedang berdoa menggugat Tuhan agar mau menghabisi nyawa suami dan anak-anaknya. Tak kalah heboh ketika si ibu-ibu ngamuk karena ingat kurang ajarnya kedua anaknya. Anak-anak yang tak tahu diuntung, karena mendukung perbuatan bejat sang ayah demi imbalan berupa uang buat dolan ke diskotik dan menyewa perempuan nakal!
"Dunia sudah edan ya, Tuhan," dia mendesis. Para penonton saling desak. Puluhan blitz kamera menyambar wajah si gila. "Saya berharap tidak ikut edan. Karena dengan demikian, saya masih bisa mengenal-Mu!"
Orang-orang melongo. Si gila bangkit dan jalan. Kerumunan mengekor di belakang, termasuk aku, yang kini mau tahu apa yang bakal terjadi pada ibu-ibu aneh ini. Ia bilang mau mencari suami dan anak-anaknya. Biar ia sendiri yang melakukan niatnya, karena Tuhan tidak mau.
Pada saat itu, jika kau atau siapa pun berada di dalam sebuah helikopter, kau dapati pemandangan menakjubkan di bawah sini: ibu-ibu gila dengan seribu pengikutnya, mencari tiga pendosa demi sebuah hukuman mati. Benar-benar edan! Aku harap ini cuma mimpi. Semoga!

3.      Konsep
Dalam menganalisis cerpen “Doa Si Gila” kami menggunakan teori bawah sadar manusia Sigmun Freud yang mengatakan bahwa segi-segi terpenting perilaku manusia ditentukan oleh alam tak sadarnya. Untuk itu Freud mengemukakan teori tentang struktur kepribadian manusia. Struktur kepribadian manusia tersebut terdiri dari tiga bagian yang tumbuh secara kronologis, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir, diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber energi manusia, sehingga dikatakan juga oleh Freud sebagai jembatan antara segi biologis dan psikis manusia. Dalam hal ini Id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik (kacau, tanpa aturan), tidak mengenal moral, tidak memiliki rasa benar atau salah. Salah satunya yang diketahui Id adalah perasaan senang atau tidak senang. Sehingga dapat dikatakan bahwa Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Dalam hal ini Id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati, manja, sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri, dalam hal ini apa yang diinginkan harus segera dilaksanakan (Minderop, 2010:21)
Ego adalah segi kepribadian  yang harus tunduk pada Id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Dengan demikian ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan serta mau menanggung ketegangan dalam bahasa tertentu. Berlawanan dengan Id yang bekerja berdasarkan prinsip kesenangan, ego bekerja berdasarkan prinsip realita artinya ia dapat menunda pemuas diri atau mencari bentuk pemuas lain yang lebih sesuai dengan batasan lingkungan dan hati nurani. Ego menjalankan proses sekunder artinya ia menggunakan kemampuan berfikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah terbaik. Ego (terletak di antara alam sadar dan tak sadar) terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas denga mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan kepribadian (Minderop, 2010:22).
Sedangkan superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan “hati nurani” yang mengenali nilai baik dan buruk (Minderop, 2010:22). Sebagai mana Id, ego, superego tidak mempertimbangkan realitas  karena tidak bergumul dengan hal-hal realistik, kecuali ketika impuls seksual dan agresifitas Id dapat terpuaskan dalam pertimbangan moral. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah yang berasal dari luar. Dalam hal ini diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan demikian larangan yang tadinya dianggap asing bagi subyek, akhirnya dianggap sebagai berasal dari subjek sendiri. Superego merupakan dasar moral seseorang. Peranan superego dapat dibandingkan dengan hakim.







4.      Analisis
Analisis id, ego dan superego pada tokoh ibu gila.
No
Konsep
Data
Interpretasi
1
Id
Saya setuju kau matikan mereka, bila perlu sekarang juga, detik ini juga. Karena, hidup saya menderita.
Ibu gila ini sangat menginginkan suami dan anaknya mati. Karena suami dan anaknya yang membuat ibu gila tersebut menderita.


Ok saya tidak seksi sehingga suami saya kabur. Tapi, itu buan salah saya kok! Kenapa anda membuat saya tidak seksi. Wahai Tuhanku.
Ibu gila tersebut marah-marah kepada Tuhan. Karena Tuhan tidak memberinya tubuh yang seksi. Seperti selingkuhan suaminya.


Kalau memang ini tidak memberatkan “ia berkata lugas”. Tuhan pasti tidak akan ragu melakukannya.
Ibu gila ini kesal kepada Tuhan karena keinginannya tidak dikabulkan. Maka ibu gila itu menginginkan Tuhan untuk mengabulkan keinginannya.
2
Ego
Tapi mendengar kalimat kurang ajarnya, ia mengerutkan dahi. Siapa dia hingga Tuhan perlu menguatkannya? Manusia macam apa dia? menyembah Tuhan saja jarang menghormatinya begitu yang dia ucap sebelum mencak-mencak karena ingat betapa cantik selingkungan suaminya. Betapa seksi! Mendengar kalimat yang diujarkan ibu gila itu berfikir.
Ibu gila tersebut jarang menyembah kepada Tuhan karena permintaan ibu gila itu aneh-aneh. Sehingga dia diingatkan dengan suaminya yang memiliki selingkuhan yang seksi.
3
Superego
“Bapak-bapak, ibu-ibu saya boleh berdoakan”.
Ibu gila ini malu dan sadar bahwa semakin banyak orang yang melihatnya, maka dia berkata kepada orang-orang yang melihatnya bahwa dia ingin berdoa.


Kepentingan Tuhan banyak. Tapi Tuhan tidak kewalahan. Tapi, pantaskah meminta hal yang jahat kepadaNya.
Ibu gila tersebut sadar bahwa permintaannya tidak akan dikabulkan. Banyak yang diinginkan kepada Tuhan dan Tuhan itu adil tetapi tidak pantas tidak baik apabila meminta sesuatu yang tidak baik kepada Tuhan.


Daftar Rujukan
Endraswara Suwardi. Metode Penelitian Psikologi Sastra, Yogyakarta : MedPress
http://belajarpsikologi.com/struktur-kepribadian-id-ego-dan-superego-sigmund-freud/
http://trieepram.blogspot.co.id/

0 komentar:

Posting Komentar