PROSES KREATIF KARYA SASTRA
MAKALAH
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Psikologi Sastra
Dosen Pembimbing
: M. Bayu Firmansyah, M.Pd
PBSI 2015 A
Disusun Oleh Kelompok 1
1.
Irfanniyah
(15188201012)
2.
Kiki
Rizki Sintyani (15188201015)
3.
M.
Khozinatul Ashror (15188201018)
4.
Nikmatul
Maulia (15188201027)
5.
Niswatul
Khasana (15188201028)
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN
Jalan Ki Hajar
Dewantara No. 27-29 PasuruaN
Telp. (0343) 421948 Fax. (0343) 411086
Tahun Ajaran 2016-2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah yang sederhana ini.
Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Anakes dan Problematika Bahasa
Indonesia program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pasuruan.
Kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Bayu
Firmansyah. M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikologi Sastra yang
telah banyak memberikan masukan dan materi kepada kami.
2. Rekan-rekan
kelompok yang sudah bekerja sama dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
3. Rekan-rekan
mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015-A yang telah
memberikan saran dan motivasi kepada kelompok kami sehingga makalah ini bisa di
selesaikan.
Makalah
ini masih memiliki kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, saran koreksi dari
berbagai pihak sangat kami harapkan agar kami dapat memperbaiki penulisan
makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya bagi para mahasiswa. Amin.
Pasuruan, 17
Oktober 2017
Penyusun,
ii
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………….ii
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………………………1
1.2 Rumusan
Masalah…………………………………………………………………..1
1.3 Tujuan
Masalah……………………………………………………………………..1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 PSIKOLOGI
KREATIVITAS CIPTA SASTRA…………………………………....2
A.
Dorongan
Psikologis dalam Proses Kreatif Sastra………………………………2
B.
Gaya Psikologis
dalam Proses Kreatif Sastra……………………………………3
C.
Identitas
Psikologis dalam Proses Kreatif……………………………………....4
D.
Proses Kreatif
sebagai Akultulisasi Diri…………………………………………5
E.
Tahap-tahap
Psikologis dalam Pross Kreatif……………………………………5
F.
Model-model
Proses Kreatif Sastra……………………………………………...6
2.2 PSIKOLOGI
KREATIVITAS BACA SASTRA…………………………………….7
A.
Kreativitas
Kejiwaan Baca Sastra……………………………………………….7
B.
Baca Sastra:
Bermain-main Kejiwaan…………………………………………..8
C.
Psikologi
Membaca Puisi………………………………………………………..8
D.
Pengamatan, Penghayatan,
dan Penjiwaan …………………………………….10
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan………………………………………………………………………….14
3.2Saran…………………………………………………………………………………14
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut Cassirer (1990:104) ciri utama manusia bukan
fisik atau metafisik, melainkan karyanya. Keturunan, kekeayaan, dan berbagai
status sosial lain hanyalah pelengkap. Bahasa, seni, mitos, religi, sejarah,
dan ilmu pengetahuan, dan berbagai hasil kreativitas lain yang secara
keseluruhan dihasilkan oleh emosi dan intelektual, adalah hasil-hasil peradaban
manusia yang dianggap sebagai indikator terpenting untuk menunjuk identitasnya.
Pengarang, karya sastra dan pembaca adalah tiga
komponen kunci yang menuntukan keberadaan sastra sebagai ilmu, kritik sastra,
sejarah sastra dan ilmu sastra itu sendiri lahir melalui hubungan bermakna
antara tiga komponen tersebut. pada dasarnya pengaranglah yang dianggap sebagai
memiliki unsur kesejarahan paling dulu sebab seperti disinggung di atas,
pengarang merupakan asal usul karya. Meskipun demikian, dalam teori modern dan
postmodern, sejak ditemukannya teor-teori naratif, kehadiran pengarang
dihilangkan secara terus-menerus.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah
proses kreativitas cipta sastra?
2. Bagaimanakah
proses kreativitas baca sastra?
1.3 TUJUAN
1. Untuk
mendeskripsikan proses kreativitas cipta sastra.
2. Untuk
mendeskripsikan proses kreativitas baca sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PSIKOLOGI KREATIVITAS CIPTA SASTRA
A.
Dorongan
Psikologis dalam Proses Kreatif Sastra
Dorongan kejiwaan ada yang meledak-ledak, ada yang
keras, murung, sensasional, dan seterusnya. Dorongan ini akan menentukan
bagaimana proses kreatif sastra harus terwujud. Proses kreatif adalah daya
juang kejiwaan sastrawan menuju titik tertentu. Proses kreatif akan ditentukan
pula oleh etos sastrawan. Etos ini muncul tergantung ilham dan inspirasi yang
hadir dalam jiwanya. Terbentuknya karya sastra hampir seluruhnya melalui proses
kreatif yang panjang. Namun panjang dan pendeknya proses ini amat relatif, tergantung
kesiapan psikologis sastrawan.
Dorongan kejiwaan yang akan menentukan proses
kreatif lama dan tidak. Kecuali itu, jiwa pula yang akan menentukan bobot karya
dalam sebuah proses. Semakin siap jiwa sastrawan, proses kreatif akan berjalan
lancar. kelancaran dan kecairan karya sastra tergantung suasana psikologis
pula. Suasana ini yang akan mengusik dan menmbangun suhu karya sastra.
Ada beberapa golongan keadaan jiwa yang dapat
mendorong lahirnya proses kreatif sastrawan, yaitu (1) jiwa sedang iba (trenyuh),
yaitu keadaan psikis sastrawan merasa kasihan terhadap sebuah fenomena.
Manakalah sastrawan menyaksikan kejadian yang menyayat hati, menyentuh rasa,
mungkin akan segera lahir proses kreatif yang dalam; (2) jiwa sastrawan sedang
geram, artinya dalam keadaan marah, tidak menentu. Suasana semacam ini mungkin
muncul kemarahan dalam karyanya. Proses kreatif yang akan hadir adalah
bahasa-bahasa kasar (pisuhan), akan hadir dalam karyanya. Keadaan psikis ini
akan mempercepat pula proses terjadinyakarya sastra; (3) jiwa merasa kagum,
artinya asa rasa heran, penuh tanda tanya, ada rasa keagungan. Pada suasana
semacam ini, sastrawan hendak menyampaikan syukur, pantulan imajinatif ke arah
profetif dan sejenisnya. Ketika suasana kejiwaan demikian akan menjadi sebuah
inspirasi kritis bagi sastrawan. Inspirasi adalah daya dorong kuat psikis yang
mengharuskan sastrawan berekspresi.
Menurut Wellek dan Warren (1989), proses kreatif
meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya
sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah
pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif.
Struktur mental seorang penyair berbeda dengan suasana sebuah puisi. Impresi
berbeda dengan ekspresi. Sayangnya pengertian keduanya tidak diberikan
penjelasan yang akurat. Dalam kaitan ini, bisa dinyatakan bahwa impresi adalah
kesan sastrawan secara psikis terhadap fenomena. Kesan-kesan itu mungkin
gembira dan mungkin pula kekecewaan. Adapun ekspresi adalah bagian dari wacana
ekspresi atau ungkapan diri. Ekspresi merupakan cermin diri sastrawan.
Pelukis melihat sebagai seorang pelukis, sedangkan
lukisanya merupakan penjelasan dan penyelesaian dari penglihatan. Penyair
adalah pencipta puisi, sedangkan puisinya adalah perwujudan dari persepsi
hidupnya. Sebaliknya, bagi seorang pelukis yang menggunakan teknik apa pun,
setiap impresi juga dibentuk oleh hasil pelukisnya karena pelukis belajar dari
pengalaman yang tuntas. Atas dasar pengertian ini, berarti pengertian impresi
dan ekspresi bisa dipandang dari kelahiran karya.
“Inspirasi” adalah sebutan tradisional untuk faktor
bawah sadar dalam proses penciptaan. Inspirasi sebenarnya posisi kejiwaan
sastrawan atau seniman. Posisi kejiwaan itu bisa datang tiba-tiba atau berproses
demikian panjang.
B.
Gaya
Psikologis dalam Proses Kreatif Sastra
Gaya psikologis pengarang berbeda-beda. Semua karya
akan membentuk tradisi khas. Ada pengarang yang membutuhkan ketenangan dan
kesunyian, tetapi akan yang menulis di tengah keluarga atau keramaian sebuah
cafe. Ada juga perilaku sensational, seperti menulis pada malam hari dan tidur
pada siang hari.
Di Indonesia, ada penyair Suryanto Sastroatmaja yang
gemar menulis dengan tulisan tangan,
meskipun sudah ada komputer. Mungkin aspek kejiwaan jauh lebih mengalir,
disbanding suara ketik “tak-tik”,
yang tak karuan indahnya (monoton). Gaya semacam ini amat subjektif, tergantung
kebiasaan yang dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan, sejauhmana gaya
penulisan sastrawan itu mempengaruhi gaya psikisnya.
Dalam pandangan Ratna (2004:344-346), proses kreatif
merupakan salah satu model yang banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan
psikologis. Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis yang sering
dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaann seperti obsesi, komtemplasi,
kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itulah, karya
sastra disebut sebagai salah satu gejala (penyakit) kejiwaan.
Gaya psikologis memiliki peranan dalam proses
kreatif. Berbagai tradisi menulis yang bersifat psikologis akan menjadi penentu
warna sastra. Mungkin sekali karya melankolis lahir dari sastrawan bergaya
murung. Mungkin pula karya yang iklanistis lahir dari sastrawan propagandis.
Karena sastrawan terdorong oleh situasi penawaran ide, bisa jadi karyanya amat
berbau iklan. Begitu seterusnya hingga gaya psikologis akan tampak pada karya
seseorang, setelah dicermati satu per satu. Disinilah kecenderungan gaya
psikologis yang akan berperan.
C.
Identitas
Psikologis dalam Proses Keatif
Menurut, Jatman (1985) dalam bukunya Sastra Psikologi dan Masyarakat, dengan
membicarakan integritas dan identitas, kita telah mengasumsikan adanya struktur
yang selalu berproses dalam diti manusia. Integritas dimaksudkan sebagai
kerjasama antara kesadaran dan bawah sadar manusia, seperti tampak dalam
pembicaraanya tentang individualisasi. Sementara Abraham Maslow, integritas ini
tidak bisa dipisahkan dari meta needs yang
disebutnya sebagai aktualisasi diri. Hanya dengan aktualisasi diri inilah
kegiatan-kegiatan yang didorong oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia
mendapatkan landasannya untuk mengutuh. Oleh karenanya, integritas tidak dapat
dipahamkan sebagai satu status quo, tetapi
lebih sebagai suatu keadaan yang berproses.
Dalam hal proses kreatif, maka penciptaan seorang
yang punya integritas, tampak dari kepaduan proses tersebut yang dalam istilah
Jawanya, seperti tampak dalam jogged mentaraman disebut sebagai “sewiji, greget, sengguh, ora mingku”,
integritas memang tidak menjanjikan proses yang laras, yang seimbang dan serasi,
namun memiliki keterpaduan. Integritas proses kreatif ini, yaitu proses
penggarapan masukan menjadi keluaran untuk mencapai tujuan sebagai hasil
kerjasama diantara elemen-elemen yang saling berkaitan. Elemen-elemen inilah
yang bisa dipadankan dengan konstruksi dalam diri manusia , seperti motif,
emosi, intelegensi, konsep diri dan lain-lain.
Demikianlah identitas menjadi salah satu sifat pokok
dari orang kreatif. Integritas dan identitas seorang seniman yang menjadi
sumber keunikanya dittentukan oleh proses-proses sejarah yang menyangkut
interaksi antara struktur dalam dengan struktur lingkungannya.
D.
Proses
Kreatif sebagai aktualisasi diri
Brewater
Smith (Jatman, 1985) dalam bukunya Creative Processes, menunjukkan bahwa proses
kreatif orang itu berbeda-beda dan sulit sekali untuk dijelaskan hanya dari
pola stimulus-response belaka. T.S. Eliot, sependapat dengan C.G. Jung, mencoba
menjelaskan proses kreatifnya sebagai proses yang impersonal. Para penyair
bukannya mengekspresikan emosinya, melainkan membebaskan diri dari emosinya.
Pendapat Abraham Maslow yang lebih melihat kebutuhan untuk kreatif ini sebagai
kebutuhan untuk aktualisasi diri, yakni suatu metamotif yang tertinggi
kedudukannya di antara hirearki motif-motif lain yang ada. Aktualisasi diri ini
merupakan upaya manusia untuk mengaktualisasikan potensi-potensi mereka. Dalam
hal ini peran diri yang sadar sangat penting dalam proses penciptaan. Dengan
aktualisasi diri inilah seseorang menemukan identitas pribadinya serta
integritasnya. Sementara Dorothy Finkelor, yang konsepnya tentang perlunya
meningkatkan derajat kematangan emosi untuk menjadi kreatif perlu diperhatikan,
menyatakan bahwa kematangan emosi adalah satu predisposisi untuk menjadi
kreatif.
E.
Tahap-Tahap
Psikologis dalam Proses Kreatif
Tahap-tahap dalam
proses pemikiran kreatif, ada tiga diantaranya.
a) Tahap
pertama (persiapan) ialah tahap pengumpulan informasi dan data yang dibutuhkan,
pengalaman-pengalaman yang mempersiapkan seseorang untuk melakukan tugas atau
memecahkan masalah tertentu. Poppy Donggo Hutagalung (Eneste, 1984:163)
mengungkapkan mengenai hal itu, “Setelah timbul ide untuk menulis cerita,
beberapa hari bahan ini saya diamkan. Sambil mencoret-coret saya mengarang
dalam hati”. Sitor Situmorang (Eneste, 1984:19) mengakui bahwa si penyair
bekerja dalam keadaan yang lebih mendekati trance,
sampai ilham menjadi karya. Proses inkubasi ini bisa berlangsung hanya beberapa
saat, beberapa hari, bahkan kadang-kadang bertahun-tahun. Menurut pengalaman
Situmorang, si penyair tidak menentukan “saat”-nya.
b) Tahap
kedua dari proses kreatif ialah tahap Iluminasi. Pada tahap iluminasi semua
menjadi jelas (terang), tujuan tercapai, penulisan naskah dapat diselesaikan.
Saat inilah, penulis merasakan suatu kelegaan dan kebahagiaan karena apa yang
tadinya masih berupa gagasan dan masih samar-samar, sekarang sudah menjadi
nyata.
c) Tahap
ketiga ialah tahap verifikasi tinjauan secara kritis. Tujuan dari verifikasi
ialah menghasilkan suatu naskah yang
siap untuk dikomunikasikan. Pada tahap ini pengarang seakan-akan mengambil
jarak, melihat produknya seperti dengan mata orang lain, sehingga dapat
memberikan tinjauan secara kritis.
F.
Model-Model
Proses Kreatif Sastra
Model-model dalam
proses kreatif sastra, ada lima diantaranya.
a) Model
“yoga” atau meditasi: (a) kita coba berkontemplasi, duduk sila tumpang, ambil
napas dalam-dalam, hembuskan. (b) pejamkan mata, tarik napas dalam, ikuti
aba-aba baru tuliskan.
b) Model
ramai-ramai: (a) kita membuat kelompok, 3-5 orang, nanti anda pilih apa yang
akan digarap ramai-ramai; adu kecepatan dengan kelompok lain, tekniknya tunggu
aba-aba; (b) tiap kelompok membacakan, kelompok lain menilai, mengoreksi, skor
60-100. Model responsif kita atau orang lain baca karya orang lain, lalu: (a)
kita merespon, boleh seperti “surat” (bantahan, pengiyaan), (b) ambil kata
“sepotong roti” dikembangkan sendiri.
c) Model
cermin: (a) berawal dari pengamatan secermat-cermatnya tentang makhluk hidup
(perubahan); (b) mencermati benda mati (perubahan). Cari yang paling atau belum
pernah disentuh. (c) pakai lukisan atau gambar tertentu.
d) Model
psiko-kreatif: (a) berawal dari rasa negatif (anyel, marah, gelisah, dendam,
dan lain-lain); (b) dari rasa positif: mencita-citakan, mendambakan, romantik,
kenangan indah.
e) Model
komplikasi: (a) kita sudah ada ilham, lalu kumpulkan kata-kata yang mendukung,
dari istilah lugas sampai konotatif; (b) kata-kata tadi tinggal dimasukkan.
2.2 PSIKOLOGI
KREATIVITAS BACA SASTRA
A.
Kreativitas
Kejiwaan Baca Sastra
Kreativitas adalah ciri olah sastra yang hebat.
Sastrawan yang kaliber, dapat bergerak dalam kreativitas yang canggih. Dari hal
sederhana dapat dia tampilkan menjadi hal kreatif yang jitu. Kretivitas ini
akan membangun orientasi nilai. Lebih dari itu orisinalitas juga akan tergarap
lewat kreativitas.
Baca sastra butuh kreativitas luar
biasa. Ada juga yang membutuhkan baca sastra perlu sutradara. Meskipun
demikian, kreativitas diri tidak kalah pentingnya sutradara atau penata laku
baca, hanya memberi masukan, tapi eksekusi tetap pada pembaca.
Pendapat Merton (1961) bahwa yang
disebut orang kreatif itu bukan karena hanya banyaknya gagasan-gagasan baru
yang dilahirkannya, tetapi karena gagasan-gagasan barunya itu ada satu dua yang
sungguh bermutu, maka bagi para seniman kebaruan ini hanyalah gelar bagi sang
seniman, dan tidak menentukan karya senimannya. Demikianlah kita akan lebih
banyak memusatkan perhatian pada proses kreatif yang mengandung pula
permasalahan orisionalitas, otentisitas, integritas identitas ini.
Konsep tentang orisionalitas
menuntuk seniman untuk selalu
mengembangkan dirinya dengan jalan mencipta dan membaca. Tuntutan akan kebaruan
model ini memang lama-kelamaan menjadi internalized dalam diri seniman,
sehingga mereka akan lebih tampak sebagain produser kebaruan-kebaruan dan
kejutan-kejutan bagi masyarakat dari pada kebaruan yang menyangkut struktur
dalam, atau konstruksi pengalamannya. Kebaruan disini tidak menyangkut lagi
konsep otentisitas, yang lebih bermakna keaslian pengalaman yang sungguh dan
jujur yang menyangkut struktur dalam manusia termasuk kondep pribadinya,
motivasinya, emosinya. Perlu dijelaskan kembali konsep-konsep integritas dan
identitas kreatif seorangb seniman sebelum terlalu banyak korban. Sumber-sumber
variasai dalam penciptaan kesenian. Karena kesenian adalah ekspresi pengalaman
manusia yang indah dan bermakna, maka mudahlah ditebak bahwa sumber variasi
dalam penciptaan karya seni adalah manusia itu sendiri.
Demikianlah keorisinilan,
keotentikan merupakan tuntutan-tuntutan etis dari proses kreatif,dan ini
ditetentukan oleh integritas, serta identitas dari sang pencipta, yakni si
seniman itu sendiri. Paparan demikian menegaskan adanya gejala kejiwaan yang
berperan dalam besar sastra. Jiwa manusia berarti tidak diam. Jiwa manusia
bergelombang, hingga mewujudkan cipta sastra abadi. Jiwa akan membangun
kesadaran pribadi. Melaui kesadaran itu jiwa bergetar sehingga menciptakan
orisinalitas karya.
B.
Baca
sastra : Bermain-main Kejiwaan
Orang yang akan membaca sastra akan mengeksplorasi
jiwa sepenuhnya, mulai mengingat, mengamati, sampai mengekspresikan. Baca
sastra adalah bagian dari proses komunikasi psikologis olah sastra. Dalam
gagasan Hutomo (1997) mengatakan bahwa proses kreatif penciptaan puisi selalu
melalui peristiwa “leaving in” dan “leaving out”. Berdasarkan pendapat ini, Baca sastra yang kearah
pemanggungan,sering terdapat pembuangan
hal yang tak perlu penting untuk kesuksesan baca dan penyisaan yang
tersisa adalah hasil seleksi.
Proses terakhir ini sering membantu
pembaca dalam mengekspresikan sastra secara komunikatif. Penambahan tanda seru,
tanya, koma, asal tidak mengubah makna, mengapa tidak. Untuk memyamakan
persepsi ada beberapa pertanyaan tentang puisi itu apa? Apa membaca puisi harus
tahu dulu tentang puisi? Bukankah anda pernah mendengar, bahkan diajar puisi di
sekolah masing-masing.apa coba puisi itu?. Puisi memang sulit diartikan. Di
dalam pendapat ini puisi di artikan sebagai sebuah obat yang bisa membuat orang
riang, mabuk, tertawa sendiri, ger-geran, ratap tangis, mesra dan lain-lain.
Sebagai obat, jika resep tidak terkomunikasikan dengan baik,akan sia-sia.
Maksudnya, bila baca sastra tidak menggetarkan pendengar amat di sayangkan.
Jadi, baca sastra tentu akan menjadi konsumsi jiwa. Baca sastra yang memukau akan mempengaruhi jiwa. Mungkin awalnya sekedar main-main,
namun dampak baca sastra bisa melebar ke nurani.
Peneliti psikologi sastra akan
menimbang, sejauh mana pembacaan sastra yang main-main memerlukan keterlibatan
psikis. Latihan-latihan penjiwaan mungkin akan memperkaya kemampuan baca. Dalam
situasi seperti ini, berarti peneliti perlu menelusuri bagian mana yang sekedar
main-main kejiwaan tetapi tetap menarik, dan bagian mana yang di garap serius
tetapi tidak menarik.
C.
Psikologi
Membaca Puisi
Membaca
puisi secara individual, berbeda dngan berkelompok. Pembaca harus menguasai
secara keseluruhan. Puisi yang akan di baca
milik sendiri biasanya lebih
bagus meskipun relatif karena, pembaca telah paham, bagian-bagian mana yang
perlu di baca berat, ringan, panjang, pendek, perlu tempo dan sebagainya.
Untuk mengurangi demam
panggung,percayalah bahwa diri anda mampu di banding pemirsa. Anda merasa lebih
hebat, di banding orang lain. Kurangi rasa gugup, badan gemetar, keringat
dingin, dengan cara tidak memandang pendengar satu persatu. Ini bisa dilatih
berkali-kali dengan jalan kesana kemari di depan orang banyak.
Sebelum membaca sastra (puisi),
keterlibatan jiwa tetap harus smpurna. Oleh rasa seyogianya tetap dikedepankan
dalam menyiapkan membaca. Bagian mana yang perlu harus menangis, perlu marah,
dan perlu takut, di cermati
sungguh-sungguh. Yang harus di persiapkan untuk membaca puisi, anatara lain (1)
memilih sejumlah puisi, jika kita bebas membaca. Panjang pendek puisi, perlu di
pertimbangkan, akan di baca dalam suasana apa. Namun, dalam lomba sering di
tentukan, sehingga langkah ini bisa di buat santai saja, (2) pelajari kata-kata
yang sulit, jika tak tahu, di tanyakan
atau di cari dalam kamus. Bahkan, ada baiknya menghubungi orang lain (termasuk
pengarangnya), (3) beri tanda khusus pada kata-kata yang di baca berat, ringan,
lambat, cepat, sedih, gembira, dan seterusnya,(4) pertimbangkan, apakah anda
akan membaca puisi humor, sedih, memberi advice, atau yang lain, (5) berlatih
gerak mimik. Permainan mata amat menentukan keberhasilan. Mana yang perlu
memejamkan, memelototkan, memandang tajam, memandang kosong, semua di gabung
dengan bibir, kerut dahi, dan lain-lain.(6) gerakan tangan, sebaiknya tidak
berlebihan. Tidak semua di gambarkan menggunakan tangan, sperlunya saja,(7)
berlaih akting: berjalan di depan teman-teman, duduk sendirian,
pandang-memandang dengan teman, tertawa sepua-puasnya, bersedih dan seterusnya.
Membaca sastra
harus banyak berlatih. Pada waktu
latihan, jiwa tetap tidak bisa diam. Dari latihan ke latihan, jiwa jiwa harus
menyiapkan diri. Jika jiwa takut atau tidak percaya diri, bisa gagal baca
puisi. Oleh sebab itu, ada beberapa latihan dasar yang harus disiapkan, yakni
(1) berlatihlah membaca, sekurang-kurangnya tiga sampai empat kali perjudul.
Bacalah di temapat yang terbuka, bebas; (2) berlatih pernapasan. Membaca puisi,
dapat menggunakan suara dada dan perut. Keduanya boleh digunakan bersamaan
dalam sebuah puisi. namun, yang harus diingat, karakter suara dada biasa nya
keras (untuk marah, menjerit,dll). Adapun suara perut, biasanya untuk hal-hal
yang menggetarkan, dalam sedih, dalam seterusnya; (3) belajar mengucapkan
vokal. Vokal dilatih dengan berbagai model yang disebut senam mulut/ bibir/
gigi. Latihlah, mana vokal yang bersilabi: satu (dhorrrr, dherr, tharrr, hee,
hemmm,dll), dua (geger, teter, mbeir, teler, beser, emper, dll), tiga (laramu,
atimu, tampamu, kancamu, tanggane, godhaning, dll), empat (sesanggeman,
gembiraning, tumlawunging).
Membaca puisi di panggung ada trik estetis dan
performance art. Kaidah seni perlu di terapkan, agar pendengar dan pemirsa
senang. Dalam hal ini ada bebrapa catatan penting yaitu, (1)membaca judul dan
nama penyair. Keduanya boleh dibalik, mana yang didahulukan, ini wajib di baca.
Nama majalah atau koran yang memuat, boleh di baca boleh tidak. Begitu pula
tanggal pembuatan puisi. Yang terakhir ini, sudah bukan puisi lagi; (2) boleh
dari duduk keberdiri atau sebaliknya. Jika harus berjalan, langkahkan sejalan
dengan irama puisi. Kapan harus berhenti berjalan, harus dalam suasana akting;
(3) membelakangi pemirsa /pendengar sebaiknya jangan dalam hitungan 510
detik,jika sekejap, tentu boleh saja; (4) pada awal dan akhir membaca, tidak
harus hormat, kendati dalam lomba tidak harus mengucapkan, dan apalagi
introduksi sendiri; (5) kalau ada kata yang terlewatkan, tak perlu
diulang(maaf) seperti pembaca berita di radio dan tv.
Hal ihwal yang terkait dengan keterlibatan psikologi
membaca, diramu dan dipaparkan secara riil. Dengan cara ini, maka akan telibat jelas betapa penting dan
tidaknya keterlibatan jiwa. Jiwa pembaca
juga akan terlihat pada waktu membaca ekspresi-ekspresi gender. Jika pembaca laki-laki harus membaca sebagai
perempuan, atau sebaliknya tentu membutuhkan kejiwaan khusus. Abbas Ch yang
sering membaca prosa di radio Retjo Buntung Yogyakarta, bisa bersuara lebih
dari lima karakter wanita. Ini
membuktikan latihan-latihan penjiwaan yang luar biasa. Tentu saja perlu di
lacak juga bagaimana daya psikis penikmat radio tersebut.
D.
Pengamatan,
Penghayatan, dan Pejiwaan
Mungkin tak ada peristiwa baca sastra yang tanpa
pengamatan. Pengamatan memerlukan ketertiban jiwa. Dari pengamatan sederhana
sampai ke tingkat yang rumit dan estetis, perlu dilakukan. Ketajaman psikis
amat penting dalam baca sastra. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa langkah
psikologis membaca sastra, antara lain:
(1) Mari,
bersama-sama diam. Heneng, hening, henung sejenak. Pejamkan matamu. Tarik napas
dalam, tiga kali. Lepaskan dengan desis ular. Buka mata. Tatap ke atas,
kira-kira sepuluh hitungan normal, ke bawah sepuluh hitungan, kanan kiri, ke
belakang. Sampai amda menemukan sesuatu. Perhatikan, pada titik (benda apa saja
boleh). Buka hatimu.
(2) Dari
amatan tadi, segera berandai-andailah. Sepuas-puasmu. Andaikata benda tadi
darimu, andaikata Anda makan benda tadi, andaikata benda tadi tak ada,
andaikata Anda jadi benda itu, andaikata Tuhan ada di benda itu, dan
sebagainya.
(3) Kini,
coba liahat temanmu, dari atas ke bawah. Lihat benda di sekeliling ini, rasakan
sejenak. Lalu lihat dirimu. apa yang Anda amati itu, yang paling Anda
kagumi/jengkeli, sayangi, coba tuliskan ke dalam. Terserah, mau berapa baris,
akan diberi judul atau tidak silahkan. Itu hakmu.
(4) Coba
lagi, saya tanya: siapa orang/tokoh yang paling Anda kagumi: Apanya yang hebat,
apa yang patut dipuja, yang pantas disayang. Tuliskan ke selembar kertas: Kalau
tadi baru dua baris, dua bait, sekarang dilipatkan lagi menjadi tiga, lima,
atau lebih.
(5) Ingat
baik-baik, apa peristiwa sebelum Anda ke tempat ini. Pasti ada yang unik.
Kejadian itu, mungkin Anda sadari atau tak sadari. Mungkin lucu sekali, bisa
saja. Dongengkan, lewat kata apa saja. Susun larik-larik kata itu. permainkan
sesuka hatimu kata itu. Hidupkan kata itu, sejengkelmu. Bangkai kata tiuplah
sebosanmu, tapi tetap selaras, nyaring, enak, dan diberi pemanis.
Ingatan-ingatan itu proses psikis. Kekaguman dan
peniruan gay abaca orang juga kerja ingatan. Pada saat itu pengamatan dan
pengalaman diperlukan. Keterlibatan emosi dalam membaca sastra semakin
dibutuhkan. Kalau demikian bukanlah emosi dan ingatan Anda, untuk mengamati apa
saja. Pengamatan itu modal baca yang natural. Oleh sebab itu, ada beberapa
langkah psikis yang perlu ditempuh:
(1) Alam
sekitar adalah gudang puisi. Anda adalah pembawa kunci gudang. Obrak-abriklah,
cucilah gudang itu. mari, kita kembali ke alam. Alam adalah dirimu. Alam adalah
puisi. Alam adalah kamu. Semua itu, percikan Sang Mahaalam. Ayo, kita keluar,
mencoba menikmati alam. Perhatikan, yang kecil-kecil, sampai yang sulit
teramati. Lalu, ceritakan ke dalam puisimu. Jangan lupa, alam seisinya, kadang
kejam, kadang bersahabat.
(2) Kalau
sudah, bentangkan apa yang Anda anggap menarik dan belum banyak dibicaran orang
dari alam. Apa yang khas. Membentangkan, berarti perlu permainan; permainan
Bahasa puisi harus beda dengan sehari-hari. harus padat dan berisi. Harus
menggetarkan, menggairahkan, penuh tanda tanya. Itu baru permainan kata dan
bahasa yang sukses.
(3) Masukklah
ke dunia pembacaan puisi, berbekal emosi. Ada emosi senang, anyel, gembira, dan
duka, ini semua modal. Seperti Anda menulis surat itu lho, kan ada
emosi. Ada kejujuran. Ada juga hiasan bahasa. Ada lagi aroma bahasa yang nges,
penuh lentik-lentik hati. Kalau begitu, suasana psikologis harus terlibat: ya!
Dalam masalah penghayatan ini yang dituntut dari
seorang pembaca puisi adalah menangkap suasana suatu puisi secara utuh yang
tidak terpenggal-penggal. Selain itu, pembaca puisi mutlak memiliki kerelaan
berbagi rasa dengan penyair yang menulis puisi yang dibacakannya. Artinya,
membaca puisi bukanlah kegiatan memperalat suatu puisi untuk melampiaskan
emosi-emosi pembaca puisi sendiri.
Dengan demikian, jelas bahwa pembaca puisi bukanlah
pertama-tama adu keras suara, adu ngotot, atau adu gaya aneh-aneh. Menyuarakan
dan memanggungkan puisi sebenarnya adalah kerja menggunakan kecerdasan, kerj
mengolah kepekaan batin, dan kerja pengakraban terhadap pengalaman kemanusiaan
kita sendiri yang dihimbaukan oleh karya sastra khususnya puisi. Setelah ada
‘isi’yaitu tafsir dan penghayatan, setelah kita berhasil ‘menciptakan puisi’
kita sendiri berdasarkan dan dalam puisi yang hendak kita bawakan, barulah kita
berhadapan dengan tugas penyampaian tafsir dan penghayatan itu kepada public.
Di sini barulah kita hadapi soal-soal yang menyangkut teknik penyampaian.
Teknik penyampaian ini sendiri sebenarnya membutuhkan latihan dan kerja keras
atau kemauan yang tinggi untuk terus belajar. Latihan teknik penyampaian
meliputi: latihan vocal, latihan pernapasan, dan latihan konsentrasi atau
meditasi.
Latihan vokal adalah latihan untuk mempertajam atau
memperjelas artikulasi. Bisa dimulai dengan latihan pengucapan huruf-huruf
vokal, misalnya: aaaa, iiii, uuuu, eeee, oooo. Selain pengucapan
panjang, bisa juga dilakukan dengan pengucapan vokal secara pendek-pendek.
Selain vokal perlu juga teman-teman berlatih membedakan konsonan da dengan
dha atau ta dengan tha.
Selanjutnya adalah latihan pernapasan. Latihan ini
bisa dimulai dengan cara: ambil napas panjang dari hidung lalu tahan di bagian
perut kira-kira 3 hitungan lalu dikeluarkan secara perlahan-lahan dan lembut
melalui mulut. Pernapasan yang kita gunakan adalah pernapasan perut dan bukan
pernapasan dada.
Latiahan berikutnya adalah latihan konsentrasi atau
meditasi. Konsentrasi mutlak diperlunakan apabila kita sedang menyampaikan atau
membaca puisi di depan public. Pada kesempatan ini saya akan mengajak
teman-teman berlatih konsentrasi dengan cara: ambil sikap duduk bersila,
punggung dalam posisi tegak , dagu tidak menunduk dan pandangan lurus ke depan.
Selanjutnya atur napas, tenang, lalu secara perlahan-lahan pejamkanlah mata.
Latihan konsentrasi ini membutuhkan kenyamanan dan ketenangan. Maksudnya, sikap
duduk yang diambil adalah yang paling enak sehingga tidak menimbulkan kesemutan
atau gangguan-gangguan lainnya. Pada tahap konsentrasi ini, kita bisa menggabungkan
kedua latihan lainnya. Misalnya, sambil memejamkan mata, kita sambil napas
panjang, tahan lalu hembuskan. Atau cara lain setelah menggambil napas panjang,
hembusan napas diikuti dengan mengeluarkan vokal atau pun bergumam hemmmmm.
Kunci dari seluruh psikologi baca sastra memang pada
jiwa. Keterlibatan jiwa selalu menjadi fokus kajian. Mulai dari penghayatan
sampai ekspresi baca, akan dilacak terus- menerus. Meneliti orang membaca
sastra harus harus mulai dari persiapan baca, ketika membaca, dan setelah
membaca. Bahkan jika perlu juga melibatkan pendengar atau penikmat baca sastra.
Dalam suasana apa, baca sastra harus dilakukan, juga terkait dengan proses
penjiwaan. Karya sendiri atau karya orang lain yang dibaca, akan menentukan
kondisi psikis.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
I.
Proses
kreativitas cipta sastra meliputi:
G.
Dorongan
Psikologis dalam Proses Kreatif Sastra
H.
Gaya Psikologis
dalam Proses Kreatif Sastra
I.
Identitas
Psikologis dalam Proses Kreatif
J.
Proses Kreatif
sebagai Akultulisasi Diri
K.
Tahap-tahap
Psikologis dalam Pross Kreatif
L.
Model-model
Proses Kreatif Sastra
II.
Proses
Kreativitas Baca Sastra, meliputi:
A.
Kreativitas
Kejiwaan Baca Sastra
B.
Baca Sastra:
Bermain-main Kejiwaan
C.
Psikologi
Membaca Puisi
D.
Pengamatan,
Penghayatan, dan Penjiwaan
3.2 SARAN
Diharapkan kepada
para pembaca, khususnya kelas 2015 A bisa memahami, mempelajari dan menerapkan
tentang makalah yang berjudul “Proses Kreatif Karya Sastra” dengan baik dan
benar. Kami sebagai penulis mengharapkan saran dan kritikan apabila makalah ini
masih ada kekurangan dan kami ucapkan banyak terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metode Penelitian
PSIKOLOGI SASTRA Teori, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: PT Buku Kita








0 komentar:
Posting Komentar