syarief uye

Autumn Falling Leaves

Rabu, 10 Januari 2018

ANALISIS KELOMPOK 4-A "SEPATU HITAM"

PROSES KREATIF KARYA SASTRA
dalam Analisis Cerpen “Sepatu Hitam”

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Sastra
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.Pd

PBSI 2015 A
Disusun Oleh Kelompok 4A
1.      Irfanniyah                                    (15188201012)
2.      Kiki Rizki Sintyani                      (15188201015)
3.      M. Khozinatul Ashror                (15188201018)






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN
Jalan Ki Hajar Dewantara No. 27-29 PasuruaN
Telp. (0343) 421948 Fax. (0343) 411086
Tahun Ajaran 2016-2017
Sinopsis
            Ningsih adalah seorang gadis sebatang kara. Saat usianya baru 4 tahun ia harus menyaksikan Ayah dan Ibunya tewas akibat peristiwa mengerikan yang terjadi selama Oktober 1965. Ayah Ibunya dibantai oleh orang-orang bersepatu hitam, dengan dalih pemberantasan antek-antek PKI. Padahal kenyataanya orang tua Ningsih hanyalah seorang petani buta huruf, ia terserempet dengan PKI hanya karena pernah menghadiri pelantikan pengurus ranting PKI. Hanya sekedar menghadiri bukan menjadi anggota. Sejak orang tuanya meninggal ia hidup bersama Neneknya, namun saat usianya menginjak remaja neneknya wafat, kemudian ia bertahan hidup sebatang kara dalam bayang-bayang peristiwa pembantaian Ayah Ibunya dengan menyewakan sawah warisan.
Latar Belakang Pengarang dalam menciptakan cerpen yang berjudul “Sepatu Hitam”
Berdasarkan kisah nyata tentang peristiwa PKI yang dialami oleh pengarang selama hidupnya. Hal ini dapat dibuktikan dari biografi pengarang yang lahir pada tanggal 06 Juli 1961, sedangkan peristiwa Sepatu Hitam tersebut terjadi pada bulan Oktober 1965. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa yang terjadi dalam cerpen yang berjudul Sepatu Hitam merupakan kisah hidup si pengarang melalui tokoh Ningsih yang berusia 4 tahun.
Konsep Psikologi Proses Kreatif Karya Sastra
Dalam pandangan Ratna (2004:344-346), proses kreatif merupakan salah satu model yang banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan psikologis. Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan, seperti obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itulah, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala (penyakit) kejiwaan (Suwardi Endaswara, 2008:216). Dalam KBBI, 1) obsesi adalah gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan, 2) kontemplasi adalah renungan dan sebagaianya dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh , 3) Kompensasi adalah pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain, 4) Sublimasi adalah perubahan kea rah satu tingkat lebih tinggi, 5) Neurosis adalah penyakit saraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan organic pada bagian susunan saraf (seperti histeri, depresi, fobia).



Analisis Karya Sastra

Kata kunci : kontemplasi, kompensasi, sublimasi, neurosis, obsesi
Data 1 :
Termasuk gangguan jiwa neurosis, karena Tokoh Ningsih mengalami trauma akibat kejadian pembantaian ayah dan ibunya.  Trauma yang dialami tokoh tersebut tidak merusak daya ingat pada susunan sarafnya. Kondisi trauma Ningsih dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:
1)      Tak mungkin Ningsih bisa melupakan peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi selama bulan Oktober 1965. Saat itu, Ningsih masih kecil, baru berumur 4 tahun, tapi sudah menyaksikan ayah ibunya dibantai karena dituduh sebagai antek PKI. Padahal, ayah ibunya hanya petani buta huruf yang tak mengerti urusan politik. Ningsih juga diajak neneknya melayat sejumlah tetangga yang tewas dibantai seperti ayah ibunya. (Paragraf ke-1)
Interprestasi :
·         Seorang anak kecil yang mudah mengingat kejadian yang telah menimpa kedua orang tuanya. Meskipun anak kecil tersebut tidak terlalu memahami kejadian yang menimpa orang tuanya, yang dia tau hanya orang-orang bersepatu hitam itu menyakiti kedua orang tuanya.
·         Dia hanya mengetahui jika orang tuanya itu adalah seorang petani yang tidak pernah duduk dibangku pendidikan, sehingga tidak mungkin kedua orang tuanya memahami dunia politik.
·         Dari peristiwa tersebut, Ningsih juga diajarkan untuk memiliki jiwa sosial antar sesama dengan melayat ke beberapa tentangganya yang juga menjadi korban pembunuhan secara kejam.
·         Ningsih tidak pernah bisa melupakan peristiwa yang telah terjadi pada bulan Oktober 1965.
·         Disaat usianya masih dibilang terlalu kecil, tetapi Ningsih sudah melihat kejadian mengerikan yang menimpa ayah dan ibunya, yang seharusnya di usia tersebut ia tidak patut menyaksikan peristiwa mengerikan itu.

2)      Semua tetangga, yang sebaya dengan Ningsih, juga sama-sama mengidap trauma, selalu tercekam kenangan mengerikan, karena ayah ibu mereka juga dibantai pada bulan Oktober 1965. Mereka hidup tak jauh berbeda dengan Ningsih. Begitulah hidup dalam bayang-bayang kenangan mengerikan tentang pembantaian ayah ibunya yang pernah disaksikanya, membuat Ningsih sakit ingatan kronis. ... (Muchtar, Sepatu Hitam). (Paragraf  ke-9)
Interprestasi :
·         Anak-anak seusia Ningsih juga mengalami trauma, karena ayah dan ibu mereka juga mengalami nasib yang serupa dengan orang tua Ningsih.
·         Dalam menjalani kehidupanya, Ningsih selalu teringat akan peristiwa mengerikan itu sehingga ia mengalami gangguan ingatan yang sangat serius untuk anak seusianya.

3)      Malam itu di teras depan, Ningsih yang dibopong neneknya begitu jelas menyaksikan kasus pembantaian ayah-ibunya di halaman rumah. Di bawah remang bulan, Ayah Ibunya dipancung dengan pedang. Kepala ayah dan ibunya terpenggal, jatuh di atas tanah, sebelum kemudian tubuh-tubuh yang tanpa kepala itu ambruk bersimbah darah (Muchtar, Sepatu Hitam).
(Paragraf ke-5)
Interprestasi :
·         Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa trauma ini akibat dari peristiwa dahsyat yang dialami seseorang, sehingga ketika bersinggungan dengan hal-hal tersebut jiwanya akan terganggu.
·         Jika saja neneknya tidak membawanya keluar rumah, Ningsih tidak akan melihat kejadian mengerikan yang telah menimpa orang tuanya.
·         Ningsih menyaksikan langsung pembantaian orang tuanya, mulai saat kedua orang tuanya diseret, kemudian kepalanya dipenggal menggunakan pedang yang teramat tajam hingga banyak darah yang mengalir di halaman rumah Ningsih.


Data 2 :
Termasuk gangguan jiwa neurosis, karena Tokoh Ningsih mengalami fobia akibat seseorang yang memaksa masuk ke dalam rumahnya dengan menggunakan sepatu hitam.  Fobia yang dialami tokoh tersebut tidak merusak daya ingat pada susunan sarafnya. Kondisi trauma Ningsih dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:
1)      Dengan menggigil ketakutan, Ningsih menggelengkan kepala. Matanya nanar memandangi sepatu hitam yang dipakai panitia Pemilu itu. Sekilas bayang-bayang kenangan mengerikan itu mencekam hati Ningsih. ... (Muchtar, Sepatu Hitam)
(Paragraf ke-11)
Interprestasi :
·         Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa ningsih mengalami fobia terhadap orang bersepatu hitam, ia ketakutan melihatnya, sehingga membuat dirinya teringat tentang peristiwa mengerikan itu.

2)      Malam itu, di kamar depan Ningsih tidur bersama ayah ibunya, sedangkan neneknya tidur di kamar belakang. Tiba-tiba pintu depan didobrak hingga jebol. Lantas terdengar teriakan keras agar ayah ibunya keluar dari kamar dan menyerah.  Ayah ibunya sempat mengajak Ningsih bersembunyi di kolong dipan, sebelum orang-orang bersepatu hitam menggeledah kamar depan yang tidak berdaun pintu kecuali hanya tertutup kain kelambu itu. Tapi Ningsih menangis ketika diajak bersembunyi di kolong dipan. (Paragraf ke-3)

Interprestasi

·         Tokoh Ningsih mempunyai sifat fobia pertama kali terhadap sepatu hitam disebabkan karena ia mendengar ada beberapa orang yang ingin memaksa masuk ke dalam rumahnya dan dia langsung dibawa bersembunyi di dalam kolong tempat tidur. Kemudian datanglah orang-orang bersepatu hitam mencari pemilik rumah, jadi Ningsih hanya melihat sepatu yang dikenakan oleh beberapa orang itu bukan bentu fisik dari orang tersebut.

Data 3 :
Termasuk gangguan kejiwaan obsesi karena tokoh tersebut pikiranya selalu tergoda oleh orang-orang yang memakai sepatu hitam dan sangat sukar dihilangkan. Bukti kutipan bahwa tokoh Ningsih mengalami gangguan kejiwaan obsesi :
Ningsih juga tidak pernah masuk sekolah karena takut melihat guru-guru yang memakai sepatu hitam. Pada umur enam tahun dulu, neneknya pernah mendaftarkannya menjadi murid baru di SD terdekat. Tapi begitu melihat guru-guru bersepatu hitam, Ningsih menggigil ketakutan(Paragraf ke-12)

Interprestasi :
·         Sewaktu kecil ia pernah bersekolah namun karena ketakutan yang amat sangat terhadap sepatu hitam, ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk bersekolah kembali.
Data 4 :
Termasuk gangguan kejiwaan sublimasi karena tokoh Ningsih mempunyai keberanian untuk menemui panitia. Bukti kutipan bahwa tokoh Ningsih mengalami gangguan kejiwaan sublimasi :
Suatu sore yang lain, ketika Panitia Pemilu Tingkat Desa datang  di rumah Ningsih untuk membagikan surat undangan untuk mencoblos di Tempat Pemungutan Suara, Ningsih juga menggigil ketakutan. (Paragraf ke-11)
Interprestasi :
·         Ia sedikit memiliki keberanian ketika menemui sesorang  yang datang kerumahnya, namun dengan rasa takut yang sama ketika melihat sepatu hitam.
Data 5 :
Termasuk gangguan kejiwaan kontemplasi karena tokoh Ningsih fokus kepada sepatu yang digunakan oleh panitia pemilu. Bukti kutipan bahwa tokoh Ningsih mengalami gangguan kejiwaan komtemplasi :
Dengan menggigil ketakutan, Ningsih menggelengkan kepala. Matanya nanar memandangi sepatu hitam yang dipakai Panitia Pemilu itu. Sekilas bayang-bayang kenangan mengerikan itu mencekam hati Ningsih. (Paragraf ke-11)
Interprestasi :
·         Ia lebih fokus kepada sepatu hitam yang dikenakan seseorang saat datang ke rumahnya. Kemudian ketakutan itu muncul dengan sendirinya.

Kesimpulan
Analisis cerpen “Sepatu Hitam” karya DR Asmadji As Muchtar, proses kreatif karya sastra dapat dilihat melalui latar belakang pengarang dimana pengarang mengaitkan pengalaman pribadinya melalui tokoh Ningsih. Kemudian beliau mengeksplorasi peristiwa yang dialaminya melalui sebuah karya sastra yang berupa cerpen yang di dalamnya terdapat sebuah kecemasan atas peristiwa masa lalunya. Sehingga beliau sampai saat ini sangat sulit untuk melupakan peristiwa tersebut terutama setiap bulan Oktober.
Dalam kutipan cerpen diatas tipe pengarang yakni sebagai pribadi. Maksudnya dalam menciptakan karyanya pengarang juga berperan sebagai tokoh dalam cerita yakni sebagai tokoh utama. Jadi, dapat disebutkan bahwa cerpen Sepatu Hitam karya DR Asmadji As Muchtar merupakan cerpen yang menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh pengarangnya sendiri ketika masih kecil.




Sepatu Hitam
Oleh : DR Asmadji As Muchtar | Minggu, 28 April 2013 10:34 WIB

1          Tak mungkin Ningsih bisa melupakan peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi selama bulan Oktober 1965.  Saat itu, Ningsih masih kecil, baru berumur 4 tahun, tapi sudah menyaksikan ayah ibunya dibantai karena dituduh sebagai antek PKI. Padahal, ayah ibunya hanya petani buta huruf yang tak mengerti urusan politik. Ningsih juga diajak tetangga yang tewas dibantai seperti ayah ibunya.  

2          Seiiring dengan bertambahnya usianya, bertambah pula pengetahuan Ningsih mengenai latar belakang kasus pembantaian ayah dan ibunya serta banyak warga desa, karena nenek yang mengasuhnya sering bercerita menjelang tidur. Menurut cerita neneknya, ayah dan ibunya serta banyak warga desa dibantai karena pernah ikut-ikutan menghadiri acara Pelantikan Pengurus Ranting Partai Komunis Indonesia (PKI) di rumah pak Kades. Ayah ibunya bukan anggota atau antek PKI, melainkan hanya petani kecil. Ayah ibunya ikut-ikutan menghadiri acara di rumah Pak kades karena tergiur iming-iming bakal menerima bantuan pupuk dari Pak Bupati. Dan saat itu semua petani memang sedang membutuhkan pupuk untuk menyuburkan sawah menjelang musim tanam.

3          Malam itu, di kamar depan Ningsih tidur bersama ayah ibunya, sedangkan neneknya tidur di kamar belakang. Tiba-tiba pintu depan didobrak hingga jebol. Lantas terdengar teriakan keras agar ayah ibunya keluar dari kamar dan menyerah. Ayah ibunya sempat mengajak Ningsih bersembunyi di kolong dipan, sebelum orang-orang bersepatu hitam menggeledah kamar depan yang tidak berdaun pintu kecuali hanya tertutup kain kelambu itu. Tapi Ningsih menangis ketika diajak bersembunyi di kolong dipan. Mendengar suara tengisan Ningsih di kolong dipan, orang-orang bersepatu hitam itu berteriak lagi  “cepat keluar dan menyerah!”

4          Ayah ibunya kemudian keluar dari kolong ranjang. Ningsih dibiarkan tergeletak di kolong dipan sambil menangis ketakutan. Lantas muncul neneknya dan langsung membopongnya sambil ikut menangis ketakutan. Tubuh neneknya menggigil saat menggendongnya. Tanpa bicara lagi, orang-orang bersepatu hitam itu kemudian menggelandang ayah dan ibunya menuju halaman depan. Sambil membopongnya, neneknya yang menggigil ketakutan dan menangis bergegas melangkah ke teras depan, ingin melihat apa yang bakal terjadi di halaman depan.

5          Malam itu, di teras depan, Ningsih yang dibopong neneknya begitu jelas menyaksikan kasus pembantaian ayah ibunya di halaman rumah. Di bawah remang cahaya bulan, Ayah ibunya dipancung dengan pedang. Kepala ayah dan ibunya terpenggal, jatuh di atas tanah, sebelum kemudian tubuh-tubuh yang tanpa kepala itu ambruk bersimbah darah. Sambil membopongnya, neneknya lantas mendekati kedua sosok jenazah ayah ibunya. Neneknya menangis dan meratap-ratap. “Gusti allah, salah apa rakyat kecil ini, sehingga bernasib seperti ini?!”

6          Orang-orang bersepatu hitam itu buru-buru pergi ke rumah sebelah untuk melakukan pembantaian serupa. Mereka membiarkan neneknya dan Ningsih untuk tetap hidup mungkin supaya bisa menyaksikan peristiwa pembantaian itu dan mengenangnya sebagai tragedi mengerikan sepanjang hidupnya. Begitulah, sejak saat itu, Ningsih dan neneknya hidup berdua dalam bayang-bayang kenangan mengerikan.

7          Setiap menjelang tidur, neneknya sering bercerita bahwa pada malam-malam berikutnya setelah ayah ibunya dibantai banyak warga desa yang dibantai juga padahal semuanya hanya petani kecil yang tidak mengerti urusan politik. Semua dibantai hanya karena pernah menghadiri acara di rumah Pak Kades karena tergiur iming-iming akan menerima bantuan pupuk dari Pak Bupati. Neneknya juga bercerita bahwa Pak Kades dan Pak Bupati juga dibantai karena memang nyata-nyata menjadi anggota PKI. Bahkan, pembantaian juga terjadi di kantor kecamatan, menjelang siang. Pak Camat bersama semua staf kantor kecamatan dibantai karena semua memang anggota PKI.

8          Ketika Ningsih sudah menjadi gadis remaja yang manis, neneknya wafat. Lantas Ningsih hidup sebatang kara, sendirian menghuni rumahnya. Ningsih membiayai hidupnya dengan menyewakan sawah warisan. Biasanya, sawah warisan itu disewa oleh seseorang selama setahun, selanjutnya diperpanjang lagi setiap tahunnya. Uang dari penyewaan sawah warisan tidak seberapa, sehingga membuat Ningsih selalu mengirit biaya hidup agar tidak berhutang. Baginya, berhutang dianggap tabu. Lebih baik mengirit biaya hidup daripada berhutang. Karena itu, Ningsih sering berpuasa atau hanya makan sekali sehari.

9          Sebelum wafat, neneknya mengajak Ningsih untuk menggarap sawah. Menanam palawija dan sayur-sayuran yang dijual sendiri di pasar terdekat. Namun setelah neneknya wafat, Ningsih tidak berani menggarap sawah sendiri. Setiap hari hanya tinggal di rumah.  Semua tetangga, yang sebaya dengan Ningsih, juga sama-sama mengidap trauma, selalu tercekam kenangan mengerikan, karena ayah ibu mereka juga dibantai pada bulan Oktober 1965. Mereka hidup tak jauh berbeda dengan Ningsih.

10        Begitulah, hidup dalam bayang-bayang kenangan mengerikan tentang pembantaian ayah ibunya yang pernah disaksikannya, membuat Ningsih sakit ingatan kronis. Ingatannya sering berhenti pada kenangan mengerikan itu. Tapi kadang Ningsih bisa sejenak melupakannya. Jika sedang tercekam kenangan mengerikan itu, Ningsih sering menggigil dengan wajah pucat seperti menderita demam flu yang berat.  Biasanya, Ningsih sangat tercekam kenangan mengerikan itu, tubuhnya jadi menggigil dan wajahnya jadi pucat, setiap kali melihat orang bersepatu hitam.

11        Suatu sore, ketika didatangi Petugas Sensus Penduduk yang bersepatu hitam, Ningsih ketakutan. Bersembunyi di kolong dipan. Tubuhnya menggigil. Petugas sensus itu kemudia urung mendata Ningsih. Suatu sore yang lain, ketika Panitia Pemilu Tingkat Desa datang  di rumah Ningsih untuk membagikan surat undangan untuk mencoblos di Tempat Pemungutan Suara, Ningsih juga menggigil ketakutan. “Mbak Ningsih sakit, ya?” tanya Panitia pemilu. Dengan menggigil ketakutan, Ningsih menggelengkan kepala. Matanya nanar memandangi sepatu hitam yang dipakai Panitia Pemilu itu. Sekilas bayang-bayang kenangan mengerikan itu mencekam hati Ningsih. Tiba-tiba amarah dan dendam di hati Ningsih berkobar-kobar.  Panitia Pemilu terkejut ketika Ningsih tiba-tiba menatapnya dengan mata mendelik dan napas mendengus-dengus. ‘’Aku harus segera pergi, sebelum gadis ini mengamuk. Nampaknya gadis ini tidak waras.” Gumamnya sambil bergegas pergi.
12        Karena mengidap trauma, sejak menyaksikan pembantaian ayah ibunya, Ningsih dan warga desa sebayanya tak pernah bersedia ikut memberikan hak suaranya dalam Pemilu, Pilkada maupun Pilkades. Ningsih juga tidak pernah masuk sekolah karena takut melihat guru-guru yang memakai sepatu hitam. Pada umur enam tahun dulu, neneknya pernah mendaftarkannya menjadi murid baru di SD terdekat. Tapi begitu melihat guru-guru bersepatu hitam, Ningsih menggigil ketakutan. 

‘’Saya tak mau masuk sekolah, Nek,’’ kata Ningsih setiap kali neneknya menyuruhnya masuk sekolah. 
Neneknya mencoba merayunya lagi. “Kamu harus masuk sekolah, supaya tidak buta huruf seperti nenek.”
“Lebih baik saya buta huruf dari pada melihat sepatu hitam”, jawab Ningsih.

13        Neneknya kemudian tidak menyuruhnya lagi untuk masuk sekolah. Neneknya nampak mengerti bahwa Ningsih betul-betul mengidap trauma kronis yang selalu tercekam ketakutan setiap kali melihat orang-orang termasuk guru-guru bersepatu hitam. 

14        Sejak Oktober 1965 itu, memang banyak anak petani yang tidak mau masuk sekolah karena takut melihat guru-guru bersepatu hitam. Karena itulah, mengapa sampai sekarang masih banyak rakyat di negeri ini yang buta huruf dan selalu menderita dirundung kemiskinan. ***



BIOGRAFI DR. Asmadji As Muchtar
Description: Gambar terkait

Nama Lengkap                        : Dr. Asmadji As Muchtar
Tempat & Tanggal Lahir         : Pati, 06 Juli 1961
Alamat                                    : Jalan Simpang Kudus, Jawa Tengah, Indonesia
Riwayat Pendidikan               :

Doktor Dakwah dan Pembangunan Insan Universiti Malaya,Direktur Religions to Peace Institute, Dosen Pasca Sarjana UII Yogyakarta, Dosen Pasca Sarjana UNSIQ Wonosobo, Pengasuh Pesantren Al Mathar Sunggingan Kudus, Direktur Forum Multi-Studies, Direktur Eksekutif Yayasan Perpustakaan Islam dan Penyebaran Ilmu Pengetahuan Kudus, guru sekolah swasta, Tinggal di Jl. Sunggingan RT. 2 RW. 3 Kecamatan.

0 komentar:

Posting Komentar