PROSES KREATIF KARYA SASTRA
dalam Analisis Cerpen “Sepatu Hitam”
MAKALAH
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Psikologi Sastra
Dosen Pembimbing
: M. Bayu Firmansyah, M.Pd
PBSI 2015 A
Disusun Oleh Kelompok 4A
1.
Irfanniyah
(15188201012)
2.
Kiki
Rizki Sintyani (15188201015)
3.
M.
Khozinatul Ashror (15188201018)
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN
Jalan Ki Hajar
Dewantara No. 27-29 PasuruaN
Telp. (0343) 421948 Fax. (0343) 411086
Tahun Ajaran 2016-2017
Sinopsis
Ningsih
adalah seorang gadis sebatang kara. Saat usianya baru 4 tahun ia harus
menyaksikan Ayah dan Ibunya tewas akibat peristiwa mengerikan yang terjadi
selama Oktober 1965. Ayah Ibunya dibantai oleh orang-orang bersepatu hitam,
dengan dalih pemberantasan antek-antek PKI. Padahal kenyataanya orang tua
Ningsih hanyalah seorang petani buta huruf, ia terserempet dengan PKI hanya
karena pernah menghadiri pelantikan pengurus ranting PKI. Hanya sekedar
menghadiri bukan menjadi anggota. Sejak orang tuanya meninggal ia hidup bersama
Neneknya, namun saat usianya menginjak remaja neneknya wafat, kemudian ia
bertahan hidup sebatang kara dalam bayang-bayang peristiwa pembantaian Ayah
Ibunya dengan menyewakan sawah warisan.
Latar Belakang Pengarang dalam menciptakan
cerpen yang berjudul “Sepatu Hitam”
Berdasarkan
kisah nyata tentang peristiwa PKI yang dialami oleh pengarang selama hidupnya.
Hal ini dapat dibuktikan dari biografi pengarang yang lahir pada tanggal 06
Juli 1961, sedangkan peristiwa Sepatu Hitam tersebut terjadi pada bulan Oktober
1965. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa yang terjadi dalam cerpen
yang berjudul Sepatu Hitam merupakan kisah hidup si pengarang melalui tokoh
Ningsih yang berusia 4 tahun.
Konsep Psikologi Proses Kreatif Karya
Sastra
Dalam
pandangan Ratna (2004:344-346), proses kreatif merupakan salah satu model yang
banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan psikologis. Karya sastra dianggap
sebagai hasil aktivitas penulis yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala
kejiwaan, seperti obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai
neurosis. Oleh karena itulah, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala
(penyakit) kejiwaan (Suwardi Endaswara, 2008:216). Dalam KBBI, 1) obsesi adalah
gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar
dihilangkan, 2) kontemplasi adalah renungan dan sebagaianya dengan kebulatan
pikiran atau perhatian penuh , 3) Kompensasi adalah pencarian kepuasan dalam
suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain,
4) Sublimasi adalah perubahan kea rah satu tingkat lebih tinggi, 5) Neurosis
adalah penyakit saraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan
organic pada bagian susunan saraf (seperti histeri, depresi, fobia).
Analisis Karya Sastra
Kata kunci
: kontemplasi, kompensasi, sublimasi, neurosis, obsesi
Data 1 :
Termasuk
gangguan jiwa neurosis, karena Tokoh
Ningsih mengalami trauma akibat kejadian pembantaian ayah dan ibunya. Trauma yang dialami tokoh tersebut tidak
merusak daya ingat pada susunan sarafnya. Kondisi trauma Ningsih
dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:
1) Tak mungkin Ningsih bisa melupakan
peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi selama bulan Oktober 1965. Saat itu, Ningsih masih kecil, baru berumur
4 tahun, tapi sudah menyaksikan ayah ibunya dibantai karena dituduh sebagai
antek PKI. Padahal, ayah ibunya hanya petani buta huruf yang tak mengerti
urusan politik. Ningsih juga diajak neneknya melayat sejumlah tetangga yang
tewas dibantai seperti ayah ibunya. (Paragraf ke-1)
Interprestasi
:
·
Seorang anak kecil yang mudah mengingat kejadian yang telah
menimpa kedua orang tuanya. Meskipun anak kecil tersebut tidak terlalu memahami
kejadian yang menimpa orang tuanya, yang dia tau hanya orang-orang bersepatu
hitam itu menyakiti kedua orang tuanya.
·
Dia hanya mengetahui jika orang tuanya itu adalah seorang
petani yang tidak pernah duduk dibangku pendidikan, sehingga tidak mungkin
kedua orang tuanya memahami dunia politik.
·
Dari peristiwa tersebut, Ningsih juga diajarkan untuk
memiliki jiwa sosial antar sesama dengan melayat ke beberapa tentangganya yang
juga menjadi korban pembunuhan secara kejam.
·
Ningsih tidak pernah bisa melupakan peristiwa yang telah terjadi pada
bulan Oktober 1965.
·
Disaat usianya masih dibilang terlalu kecil, tetapi Ningsih sudah
melihat kejadian mengerikan yang menimpa ayah dan ibunya, yang seharusnya di
usia tersebut ia tidak patut menyaksikan peristiwa mengerikan itu.
2) Semua tetangga, yang sebaya dengan Ningsih, juga
sama-sama mengidap trauma, selalu tercekam kenangan mengerikan, karena ayah ibu
mereka juga dibantai pada bulan Oktober 1965. Mereka hidup tak jauh berbeda
dengan Ningsih. Begitulah hidup dalam bayang-bayang kenangan mengerikan tentang
pembantaian ayah ibunya yang pernah disaksikanya, membuat Ningsih sakit ingatan
kronis. ... (Muchtar, Sepatu Hitam). (Paragraf
ke-9)
Interprestasi :
·
Anak-anak seusia Ningsih juga mengalami trauma, karena ayah dan ibu
mereka juga mengalami nasib yang serupa dengan orang tua Ningsih.
·
Dalam menjalani kehidupanya, Ningsih selalu teringat akan peristiwa mengerikan
itu sehingga ia mengalami gangguan ingatan yang sangat serius untuk anak
seusianya.
3) Malam itu di teras depan, Ningsih yang dibopong
neneknya begitu jelas menyaksikan kasus pembantaian ayah-ibunya di halaman
rumah. Di bawah remang bulan, Ayah Ibunya dipancung dengan pedang. Kepala ayah
dan ibunya terpenggal, jatuh di atas tanah, sebelum kemudian tubuh-tubuh yang
tanpa kepala itu ambruk bersimbah darah (Muchtar, Sepatu Hitam).
(Paragraf ke-5)
Interprestasi :
·
Seperti yang
sudah dijelaskan di atas bahwa trauma ini akibat dari peristiwa dahsyat yang
dialami seseorang, sehingga ketika bersinggungan dengan hal-hal tersebut
jiwanya akan terganggu.
·
Jika saja neneknya tidak membawanya keluar rumah, Ningsih tidak akan
melihat kejadian mengerikan yang telah menimpa orang tuanya.
·
Ningsih menyaksikan langsung pembantaian orang tuanya, mulai saat kedua
orang tuanya diseret, kemudian kepalanya dipenggal menggunakan pedang yang teramat
tajam hingga banyak darah yang mengalir di halaman rumah Ningsih.
Data 2 :
Termasuk
gangguan jiwa neurosis, karena Tokoh
Ningsih mengalami fobia akibat seseorang yang memaksa masuk ke dalam rumahnya
dengan menggunakan sepatu hitam. Fobia
yang dialami tokoh tersebut tidak merusak daya ingat pada susunan sarafnya. Kondisi
trauma Ningsih dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:
1) Dengan menggigil ketakutan, Ningsih menggelengkan
kepala. Matanya nanar memandangi sepatu hitam yang dipakai panitia Pemilu itu.
Sekilas bayang-bayang kenangan mengerikan itu mencekam hati Ningsih. ...
(Muchtar, Sepatu Hitam)
(Paragraf ke-11)
Interprestasi :
·
Dari kutipan di
atas terlihat jelas bahwa ningsih mengalami fobia terhadap orang bersepatu
hitam, ia ketakutan melihatnya, sehingga membuat dirinya teringat tentang
peristiwa mengerikan itu.
2) Malam itu, di kamar depan Ningsih tidur bersama ayah ibunya,
sedangkan neneknya tidur di kamar belakang. Tiba-tiba pintu depan didobrak
hingga jebol. Lantas terdengar teriakan keras agar ayah ibunya keluar dari
kamar dan menyerah. Ayah ibunya sempat mengajak Ningsih bersembunyi di
kolong dipan, sebelum orang-orang bersepatu hitam menggeledah kamar depan yang
tidak berdaun pintu kecuali hanya tertutup kain kelambu itu. Tapi Ningsih
menangis ketika diajak bersembunyi di kolong dipan. (Paragraf ke-3)
Interprestasi
·
Tokoh Ningsih mempunyai sifat fobia pertama kali terhadap
sepatu hitam disebabkan karena ia mendengar ada beberapa orang yang ingin
memaksa masuk ke dalam rumahnya dan dia langsung dibawa bersembunyi di dalam
kolong tempat tidur. Kemudian datanglah orang-orang bersepatu hitam mencari
pemilik rumah, jadi Ningsih hanya melihat sepatu yang dikenakan oleh beberapa
orang itu bukan bentu fisik dari orang tersebut.
Data 3 :
Termasuk
gangguan kejiwaan obsesi karena tokoh tersebut pikiranya selalu tergoda oleh
orang-orang yang memakai sepatu hitam dan sangat sukar dihilangkan. Bukti
kutipan bahwa tokoh Ningsih mengalami gangguan kejiwaan obsesi :
Ningsih
juga tidak pernah masuk sekolah karena takut melihat guru-guru yang memakai
sepatu hitam. Pada umur enam tahun dulu, neneknya pernah mendaftarkannya
menjadi murid baru di SD terdekat. Tapi begitu melihat guru-guru bersepatu
hitam, Ningsih menggigil ketakutan. (Paragraf
ke-12)
Interprestasi :
·
Sewaktu kecil ia
pernah bersekolah namun karena ketakutan yang amat sangat terhadap sepatu
hitam, ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk bersekolah kembali.
Data 4 :
Termasuk
gangguan kejiwaan sublimasi karena tokoh Ningsih mempunyai keberanian untuk
menemui panitia. Bukti kutipan bahwa tokoh Ningsih mengalami gangguan kejiwaan
sublimasi :
Suatu
sore yang lain, ketika Panitia Pemilu Tingkat Desa datang di rumah
Ningsih untuk membagikan surat undangan untuk mencoblos di Tempat Pemungutan
Suara, Ningsih juga menggigil ketakutan. (Paragraf ke-11)
Interprestasi :
·
Ia sedikit
memiliki keberanian ketika menemui sesorang
yang datang kerumahnya, namun dengan rasa takut yang sama ketika melihat
sepatu hitam.
Data 5 :
Termasuk
gangguan kejiwaan kontemplasi karena tokoh Ningsih fokus kepada sepatu yang
digunakan oleh panitia pemilu. Bukti kutipan bahwa tokoh Ningsih mengalami
gangguan kejiwaan komtemplasi :
Dengan
menggigil ketakutan, Ningsih menggelengkan kepala. Matanya nanar memandangi
sepatu hitam yang dipakai Panitia Pemilu itu. Sekilas bayang-bayang kenangan
mengerikan itu mencekam hati Ningsih. (Paragraf ke-11)
Interprestasi :
·
Ia lebih fokus
kepada sepatu hitam yang dikenakan seseorang saat datang ke rumahnya. Kemudian
ketakutan itu muncul dengan sendirinya.
Kesimpulan
Analisis cerpen “Sepatu Hitam” karya
DR Asmadji As Muchtar, proses kreatif karya sastra dapat dilihat melalui latar
belakang pengarang dimana pengarang mengaitkan pengalaman pribadinya melalui
tokoh Ningsih. Kemudian beliau mengeksplorasi peristiwa yang dialaminya melalui
sebuah karya sastra yang berupa cerpen yang di dalamnya terdapat sebuah
kecemasan atas peristiwa masa lalunya. Sehingga beliau sampai saat ini sangat
sulit untuk melupakan peristiwa tersebut terutama setiap bulan Oktober.
Dalam kutipan cerpen diatas tipe
pengarang yakni sebagai pribadi. Maksudnya dalam menciptakan karyanya pengarang
juga berperan sebagai tokoh dalam cerita yakni sebagai tokoh utama. Jadi, dapat
disebutkan bahwa cerpen Sepatu Hitam karya DR Asmadji As Muchtar merupakan
cerpen yang menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh pengarangnya
sendiri ketika masih kecil.
Sepatu Hitam
Oleh
: DR Asmadji As Muchtar | Minggu, 28 April 2013 10:34 WIB
1 Tak
mungkin Ningsih bisa melupakan peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi
selama bulan Oktober 1965. Saat itu, Ningsih masih kecil, baru berumur 4
tahun, tapi sudah menyaksikan ayah ibunya dibantai karena dituduh sebagai antek
PKI. Padahal, ayah ibunya hanya petani buta huruf yang tak mengerti urusan
politik. Ningsih juga diajak tetangga yang tewas dibantai seperti ayah ibunya.
2 Seiiring
dengan bertambahnya usianya, bertambah pula pengetahuan Ningsih mengenai latar
belakang kasus pembantaian ayah dan ibunya serta banyak warga desa, karena
nenek yang mengasuhnya sering bercerita menjelang tidur. Menurut cerita
neneknya, ayah dan ibunya serta banyak warga desa dibantai karena pernah ikut-ikutan
menghadiri acara Pelantikan Pengurus Ranting Partai Komunis Indonesia (PKI) di
rumah pak Kades. Ayah ibunya bukan anggota atau antek PKI, melainkan hanya
petani kecil. Ayah ibunya ikut-ikutan menghadiri acara di rumah Pak kades
karena tergiur iming-iming bakal menerima bantuan pupuk dari Pak Bupati. Dan
saat itu semua petani memang sedang membutuhkan pupuk untuk menyuburkan sawah
menjelang musim tanam.
3 Malam
itu, di kamar depan Ningsih tidur bersama ayah ibunya, sedangkan neneknya tidur
di kamar belakang. Tiba-tiba pintu depan didobrak hingga jebol. Lantas
terdengar teriakan keras agar ayah ibunya keluar dari kamar dan menyerah. Ayah
ibunya sempat mengajak Ningsih bersembunyi di kolong dipan, sebelum orang-orang
bersepatu hitam menggeledah kamar depan yang tidak berdaun pintu kecuali hanya
tertutup kain kelambu itu. Tapi Ningsih menangis ketika diajak bersembunyi di
kolong dipan. Mendengar suara tengisan Ningsih di kolong dipan, orang-orang bersepatu
hitam itu berteriak lagi “cepat keluar
dan menyerah!”
4 Ayah
ibunya kemudian keluar dari kolong ranjang. Ningsih dibiarkan tergeletak di
kolong dipan sambil menangis ketakutan. Lantas muncul neneknya dan langsung
membopongnya sambil ikut menangis ketakutan. Tubuh neneknya menggigil saat
menggendongnya. Tanpa bicara lagi, orang-orang bersepatu hitam itu
kemudian menggelandang ayah dan ibunya menuju halaman depan. Sambil
membopongnya, neneknya yang menggigil ketakutan dan menangis bergegas melangkah
ke teras depan, ingin melihat apa yang bakal terjadi di halaman depan.
5 Malam
itu, di teras depan, Ningsih yang dibopong neneknya begitu jelas menyaksikan
kasus pembantaian ayah ibunya di halaman rumah. Di bawah remang cahaya bulan,
Ayah ibunya dipancung dengan pedang. Kepala ayah dan ibunya terpenggal, jatuh
di atas tanah, sebelum kemudian tubuh-tubuh yang tanpa kepala itu ambruk
bersimbah darah. Sambil membopongnya, neneknya lantas mendekati kedua sosok
jenazah ayah ibunya. Neneknya menangis dan meratap-ratap. “Gusti allah, salah
apa rakyat kecil ini, sehingga bernasib seperti ini?!”
6 Orang-orang
bersepatu hitam itu buru-buru pergi ke rumah sebelah untuk melakukan
pembantaian serupa. Mereka membiarkan neneknya dan Ningsih untuk tetap hidup
mungkin supaya bisa menyaksikan peristiwa pembantaian itu dan mengenangnya
sebagai tragedi mengerikan sepanjang hidupnya. Begitulah, sejak saat itu,
Ningsih dan neneknya hidup berdua dalam bayang-bayang kenangan mengerikan.
7 Setiap
menjelang tidur, neneknya sering bercerita bahwa pada malam-malam berikutnya
setelah ayah ibunya dibantai banyak warga desa yang dibantai juga padahal
semuanya hanya petani kecil yang tidak mengerti urusan politik. Semua dibantai
hanya karena pernah menghadiri acara di rumah Pak Kades karena tergiur
iming-iming akan menerima bantuan pupuk dari Pak Bupati. Neneknya juga
bercerita bahwa Pak Kades dan Pak Bupati juga dibantai karena memang
nyata-nyata menjadi anggota PKI. Bahkan, pembantaian juga terjadi di kantor
kecamatan, menjelang siang. Pak Camat bersama semua staf kantor kecamatan
dibantai karena semua memang anggota PKI.
8 Ketika
Ningsih sudah menjadi gadis remaja yang manis, neneknya wafat. Lantas Ningsih
hidup sebatang kara, sendirian menghuni rumahnya. Ningsih membiayai hidupnya dengan
menyewakan sawah warisan. Biasanya, sawah warisan itu disewa oleh seseorang
selama setahun, selanjutnya diperpanjang lagi setiap tahunnya. Uang dari
penyewaan sawah warisan tidak seberapa, sehingga membuat Ningsih selalu
mengirit biaya hidup agar tidak berhutang. Baginya, berhutang dianggap tabu. Lebih
baik mengirit biaya hidup daripada berhutang. Karena itu, Ningsih sering
berpuasa atau hanya makan sekali sehari.
9 Sebelum
wafat, neneknya mengajak Ningsih untuk menggarap sawah. Menanam palawija dan sayur-sayuran
yang dijual sendiri di pasar terdekat. Namun setelah neneknya wafat, Ningsih
tidak berani menggarap sawah sendiri. Setiap hari hanya tinggal di rumah.
Semua tetangga, yang sebaya dengan Ningsih, juga sama-sama mengidap trauma,
selalu tercekam kenangan mengerikan, karena ayah ibu mereka juga dibantai pada
bulan Oktober 1965. Mereka hidup tak jauh berbeda dengan Ningsih.
10 Begitulah,
hidup dalam bayang-bayang kenangan mengerikan tentang pembantaian ayah ibunya
yang pernah disaksikannya, membuat Ningsih sakit ingatan kronis. Ingatannya
sering berhenti pada kenangan mengerikan itu. Tapi kadang Ningsih bisa sejenak
melupakannya. Jika sedang tercekam kenangan mengerikan itu, Ningsih sering
menggigil dengan wajah pucat seperti menderita demam flu yang berat.
Biasanya, Ningsih sangat tercekam kenangan mengerikan itu, tubuhnya jadi
menggigil dan wajahnya jadi pucat, setiap kali melihat orang bersepatu hitam.
11 Suatu
sore, ketika didatangi Petugas Sensus Penduduk yang bersepatu hitam, Ningsih
ketakutan. Bersembunyi di kolong dipan. Tubuhnya menggigil. Petugas sensus itu
kemudia urung mendata Ningsih. Suatu sore yang lain, ketika Panitia Pemilu
Tingkat Desa datang di rumah Ningsih untuk membagikan surat undangan
untuk mencoblos di Tempat Pemungutan Suara, Ningsih juga menggigil ketakutan.
“Mbak Ningsih sakit, ya?” tanya Panitia pemilu. Dengan menggigil ketakutan,
Ningsih menggelengkan kepala. Matanya nanar memandangi sepatu hitam yang
dipakai Panitia Pemilu itu. Sekilas bayang-bayang kenangan mengerikan itu
mencekam hati Ningsih. Tiba-tiba amarah dan dendam di hati Ningsih
berkobar-kobar. Panitia Pemilu terkejut ketika Ningsih tiba-tiba
menatapnya dengan mata mendelik dan napas mendengus-dengus. ‘’Aku harus segera
pergi, sebelum gadis ini mengamuk. Nampaknya gadis ini tidak waras.” Gumamnya
sambil bergegas pergi.
12 Karena
mengidap trauma, sejak menyaksikan pembantaian ayah ibunya, Ningsih dan warga
desa sebayanya tak pernah bersedia ikut memberikan hak suaranya dalam Pemilu,
Pilkada maupun Pilkades. Ningsih juga tidak pernah masuk sekolah karena takut
melihat guru-guru yang memakai sepatu hitam. Pada umur enam tahun dulu,
neneknya pernah mendaftarkannya menjadi murid baru di SD terdekat. Tapi begitu
melihat guru-guru bersepatu hitam, Ningsih menggigil ketakutan.
‘’Saya tak mau masuk sekolah, Nek,’’ kata Ningsih setiap
kali neneknya menyuruhnya masuk sekolah.
Neneknya mencoba merayunya lagi. “Kamu harus masuk sekolah,
supaya tidak buta huruf seperti nenek.”
“Lebih baik saya buta huruf dari pada melihat sepatu hitam”,
jawab Ningsih.
13 Neneknya
kemudian tidak menyuruhnya lagi untuk masuk sekolah. Neneknya nampak mengerti
bahwa Ningsih betul-betul mengidap trauma kronis yang selalu tercekam ketakutan
setiap kali melihat orang-orang termasuk guru-guru bersepatu hitam.
14 Sejak Oktober
1965 itu, memang banyak anak petani yang tidak mau masuk sekolah karena takut
melihat guru-guru bersepatu hitam. Karena itulah, mengapa sampai sekarang masih
banyak rakyat di negeri ini yang buta huruf dan selalu menderita dirundung
kemiskinan. ***
BIOGRAFI DR. Asmadji
As Muchtar

Nama Lengkap : Dr. Asmadji As Muchtar
Tempat & Tanggal Lahir : Pati, 06 Juli 1961
Alamat : Jalan Simpang Kudus, Jawa
Tengah, Indonesia
Riwayat Pendidikan :
Doktor Dakwah dan Pembangunan Insan
Universiti Malaya,Direktur Religions to Peace Institute, Dosen Pasca Sarjana
UII Yogyakarta, Dosen Pasca Sarjana UNSIQ Wonosobo, Pengasuh Pesantren Al Mathar
Sunggingan Kudus, Direktur Forum Multi-Studies, Direktur Eksekutif Yayasan
Perpustakaan Islam dan Penyebaran Ilmu Pengetahuan Kudus, guru sekolah swasta,
Tinggal di Jl. Sunggingan RT. 2 RW. 3 Kecamatan.








0 komentar:
Posting Komentar