MAKALAH
“Psikologi Karya
Sastra”
Dosen
Pengampu : M. Bayu Firmansyah,
M.Pd
Mata Kuliah : Psikologi Sastra
Disusun Oleh
Kelompok 2
1.
Maria Ulfa (13188201009)
2.
Arika Musafitri (15188201003)
3.
Khusniatul Ummatir R (15188201014)
4.
Mitha Agus Priyanti (15188201020)
5.
M. Syariffuddin (15188201024)
6.
Nur Fadilah (15199201029)
Kelas/semester : 2015 A/5
Prodi : Pendidikan
Bahasa Dan Sastra Indonesia
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
STKIP-STIT PGRI PASURUAN
Jalan Ki Hajar Dewantara 27-29 Pasuruan
Telp. (0343) 421948
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah.............................................................................. 1
1.3 Tujuan................................................................................................ 1
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian
dan Ruang Lingkup Psikologi Karya Sastr....................... 2
2.2 Kajian
Psikologi Karya Sastra............................................................. 2
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 6
3.2 Saran.................................................................................................. 6
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufik
dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Psikologi Karya Sastra”
dengan lancar sesuai jadwal yang
ditetapkan.
Dalam penulisan
makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak berupa
dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis menyampaikan rasa hormat
dan terimakasih kepada:
1. M. Bayu Firmansyah, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Sastra.
2. Teman-teman seperjuangan angkatan PBSI
2015 A.
3. Serta semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini.
Penulis barharap
semoga penyusunan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terutama bagi penulis
sendiri. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah ini.
Pasuruan, Oktober 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah suatu kegiatan
kreatif sebuah karya seni. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan. Studi sastra
memiliki metode-metode yang abash yang ilmiah, walau tidak selalu sama dengan
metode ilmu-ilmu alam. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus
bersifat khusus atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus. Studi
sastraadalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus menerus.
Dengan memfokuskan pada
karya sastra, terutama fakta cerita dalam sebuah fiksi atau drama, psigologi
sastra mengkaji tipe dan hokum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya
sastra. Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama,
melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap
karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra
sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang
dianggap relevan untuk melakukan analisis karya sastra.
Dengan memfokuskan pada
karya sastra sebagai dasar penganalisisan maka pemecahan masalah akan dapat
dijembatani secara bertahap. Didalam makalah ini akan di kaji secara terperinci
tentang psikologi karya sastra.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagimanakah Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi
Karya Sastra ?
2. Bagaimanakah
Kajian Psikologi Karya Sastra ?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mendeskripsikan Pengertian dan Ruang Lingkup
Psikologi Karya Sastra.
2. Untuk
mendeskripsikan Kajian Psikologi Karya Sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi
Karya Sastra
Dengan memfokuskan pada karya
sastra, terutama fakta cerita dalam sebuah fiksi atau drama, psikologi karya
sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya
sastra. Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama,
melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap
karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra
sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap
relevan untuk melakukan analisis karya sastra (Ratna, 2004:344).
Kalau cara pertama yang dipilih,
maka karya sastra cenderung ditempatkan sebagai gejala sekunder, karena karya
sastra dianggap sebagai gejala yang pasif atau semata-mata sebagai objek untuk
mengaplikasikan teori. Kalau cara kedua yang dipilih, maka kita menempatkan
karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastralah yang menentukan
teori, bukan sebaliknya. Untuk menentukan teori psikologi yang relevan untuk
karya sastra tertentu, pada dasarnya sudah terjadi dialog, yang melaluinya akan
terungkap berbagai problematika yang terkandung dalam objek (Ratna, 2004:344).
2.2 Kajian Psikologi Karya Sastra
Apabila kita memilih cara yang
pertama, maka sebelum membaca karya sastra, misalnya kita sudah menentukan akan
menganalisis penyimpangan kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra.
Dengan bekal teori psikologi abnormal, dicarilah karya sastra yang di dalamnya
menceritakan tokoh yang mengalami kasus penyimpangan kejiwaan. Setelah menemukan
karya sastra yang dicari, misalnya cerpen “Durian” karya Djenar Maesa Ayu
(2002:19-30), kita akan menganalisis bagaimana dan mengapa tokoh Hyza dalam
cerpen tersebut mengalami gangguan kejiwaan sehingga harus menjadi pasien
seorang psikiater. Dalam cerpen “Durian” diceritakan seorang tokoh (perempuan)
bernama Hyza yang mengalami depresi setelah bermimpi bertemu dengan seorang
laki-laki yang datang kepadanya dengan membawa sebuah durian berwarna keemasan.
Hyza adalah seorang ibu, tanpa suami dengan tiga orang anak yang masih
kecil-kecil. Pada waktu berumur tujuh tahun kedua orang tuanya meninggal dalam
sebuah kecelakaan. Dia kemudian tinggal bersama kakak laki-laki tertua ayahnya,
yang ditunjuk sebagai walinya. Ketika usianya baru sembilan tahun, dia diperkosa
oleh walinya tersebut. Masa lalunya yang kelam mempengaruhi kehidupan
seksualnya setelah remaja. Hyza bercinta dengan banyak laki-laki. Dia tidak
pernah malu menyatakan keinginan seksualnya kepada siapa pun yang
diinginkannya, sampai akhirnya dia melahirkan tiga orang anak (Ayu, 2002:20).
Dalam mimpinya tersebut Hyza sangat
ingin mencicipi durian tersebut, namun laki-laki itu bersikeras akan memberikan
durian keemasan itu hanya jika Hyza bangun dari tidurnya. Sebenarnya, sepanjang
hidupnya Hyza tidak pernah mau makan durian, karena waktu masih sangat kecil ia
pernah makan durian dengan sangat lahap. Ketika durian itu habis, perutnya
lantas membesar, kemudian Hyza kemudian melahirkan seorang bayi perempuan
berpenyakit kusta. Ia tidak pernah menceritakan kepada siapa pun perihal
mimpinya itu dan bersumpah tidak pernah makan durian dan menjaga keturunannya
dari kutukan penyakit kusta (Ayu, 2002:20).
Setelah bangun dari tidurnya, Hyza
menemukan durian keemasan itu berseinar terang dalam kegelapan kamarnya. Durian
tersebut kemudian disimpannya dalam gudang. Namun wangi durian tersebut terus
menhikuti dan menggodanya. Hyza kemudian membuang durian itu ke bak sampah di
depan rumahnya. Durian tersebut kemudian diambil oleh Bi Inah, yang juga
tergoda oleh wangi durian tersebut. Terjadilah pertengkaran antara Hyza denga
Bi Inah yang ingin memiliki durian tersebut. Pada akhirnya dunia emas tersebut
disimpan di dalam kamar Bi Inah. Namun, Hyza tidak pernah dapat melupakan
durian tersebut. Pikirannya hanya terpaku pada dunia itu. Durian keemasan yang
sangat menggiurkan. Untuk mengatasi masalahnya, Hyza telah mengkonsumsi obat
penenang dari psikiater. Di samping itu, dia juga mulai minum minuman keras dan
kembali ke pergaulannya yang dulu, pergaulan bebas. Pada suatu hari, dalam
keadaan mabuk ia mengambil durian dari kamar Bi Inah dan menukarnya dengan
durian palsu yang sudah dilapisi emas. Hyza membuang durian tersebut ke tong
sampah, tetapi kemudian diambilnya lagi dan membuangnya ke laki. Setelah durian
hanyut ke kali, Hyza masih memburu durian tersebut dengan berlari menyusuri
kali, sampai akhirnya bertemu dengan segerombolan laki-laki pemabuk yang
kemudian memperkosanya bergantian habis-habisn (Ayu, 2002:27-28).
Setelah selama sebulan Hyza tidak
berselera makan karena hanya menginginkan durian berwarna keemasan dan beraroma
sangat menggiurkan, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya dia bertemu kembali
dengan laki-laki yang pernah menemuinya dalam mimpi terdahulu. Laki-laki itu
bertanya kepadanya: “Sudahkah kamu mencicipi durian itu?” “Lalu mengapa kamu
tetap menyimpannya?” Ketika Hyza terbangun, dia berbegas mencari durian
keemasan itu ke kamar Bi Inah, tapi durian tersebut tidak ada. Kemudian, dia
membangunkan anak-anaknya untuk bersiap-siap ke sekolah. Dia sangat terkejut
ketika melihat ketiga anaknya sudah terjangkit penyakit kusta (Ayu,
2000:29-30).
Membaca perjalanan hidup tokoh Hyza
dalam cerpen “Durian” dengan menyandarkan pada teori psikologi, kita akan
melihat bagaimana tokoh dengan masa lalu yang kelam telah mengalami
perkembangan kejiwaan yang tidak normal. Sebagai korban pelecehan seksual pada
masa kecil, dia telah berkembang menjadi seorang perempuan yang cenderung seks
maniak. Dalam cerpen ini dideskripsikan bagaimana Hyza yang baru berumur dua
belas tahun telah memperkosa teman sekelasnya.
Sewaktu Hyza bermur dua belas tahun
ia mengajak teman sekelasnya yang bernana
Stefan untuk menginap di rumahnya. Hyza hanya tinggal bersama dengan tiga orang
pembantu…
Ketika Stefan tertidur, Hyza mulai
memperkosa Stefan. Ia mengunyah bibir Stefan, melucuti bajudan memuaskan
kehendaknya di atas tubuh Stefan yang tetap pura-pura tertidur. Keesokkan
harinya Hyza berkata, “Stefan, saya tahu kamu tidak tidur.”
Stefan tidak menjawab. Ia hanya
bertanya tanpa melihat ke mata Hyza, “bagaimana kalau kamu hamil?”
Hyza tertawa.
“Stefan, saya tidak akan hamil.
Saya tidak makan durian…” (Ayu, 2002: 20-21).
Durian
yang berhubungan dengan kenikmatan yang sangat didamba Hyza, --bahkan dia dapat
mengalami orgasme hanya membayangkan telah menikmatinya--, dimunculkan dalam
mimpi Hyza dalam cerpen ini. Dalam tafsir mimpi Freud hal ini menunjukkan
adanya hasrat kenikmatan dan ketakutan terpendam yang direpresi dalam diri
Hyza. Kenikmatan seksual dan ketakutan akan hamil dan melahirkan anak berpenyakit
kusta.
Ketika Hyza kembali ke dalam
kamarnya, wangi durian keemasan itu masih tertinggal. Ia tidak dapat memejamkan
mata, wangi durian itu merasuki jiwanya. Memenjakan penciumannya. Membawa
khayalnya melayang tinggi menembus langit-langit, beterbangan bersama kelap
kelip gemintang.
Ia ingin mengiris durian keemasan
itu dengan sebilah pisau berkilat yang tajam ia ingin membelah durian itu
dengan kedua belah tangannya perlahan hingga durian itu meregang terputus jadi
dua bagian. Ia ingin menjilati tangannya yang sedikit berdarah tergores duri
dan terkena daging buah durian yang sedikit men yeruak ketika ia membukanya,
lalu mengambil sebuah dengan tangannya, memasukkan perlahan ke dalam mulutnya
yang basah, dan mengisapnya penuh dengan lidahnya hingga yang tertinggal hanya
bijinya yang kini sudah sangat bersih.
Hyza mengerang pelan, lalu orgasme.
(Ayu, 2002:22).
Depresi
yang dialami Hyza, seperti digambarkan di awal cerpen, terjadi karena dia tidak
kuat lagi menghadapi kenyataan bahwa mimpinya tentang durian dan penyakit kusta
yang menyerang anak-anaknya menjadi kenyataan. Depresi itu menjadi semakin
berat karena Hyza tidak mampu menceritakan kepada psikiaternya tentang mimpi
anehnya itu.
Sudah
hampir genap sebulan Hyza tidak berselera makan. Berat badannya
menurun drastis, keceriaannya hilang,
jantungnya berdebar-debar tanpa sebab pasti dan kerap terserang panik secara
tiba-tiba. Hyza sudah menemui seorang psikiater yang ternyata hanya mampu
memberinya obat penenang dan penambah nafsu makan sebagai solusi tunggal. Hyza
memang tidak pernah terbuka menceritakan kepada psikiater penyebab
kegundahannya. Ia malu dan sangat takut jika psikiaternya menyatakan bahwa dia
gila dan harus mendapat perawatan di rumah sakit jiwa. Ia tak mampu mengatakan
bahwa penyebab sumua ini adalah sebuah durian. (Ayu, 2002:19).
Teori
psikologi tentang gannguan kejiwaan seperti depresi dan kecemasan, penyebab dan
akibatnya, cara mengatasinya dapat digunakan untuk menjelaskan (bahkan juga
mendiagnosa) kondisi kejiwaan dan apa yang tokoh Hyza dalam cerpen “Durian”.
Dengan memilih cara kedua, maka
kita dapat mulai dengan membaca dan memahami sebuah karya sastra, misalnya
novel, cerpen, atau drama dengan memfokuskan pada tokoh dan perwatakannya.
Dalam hal ini latar dan alur dalam novel hadir dalam rangka mendukung
perwatakan tokoh. Dalam membaca dan memahami tokoh, aspek kejiwaan (psikologi)
tokohlah yang perlu mendapatkan perhatian. Agar dapat memahami dan
menginterpretasikan aspek kejiwaan tokoh, maka kita harus memiliki pengetahuan
yang berkaitan dengan hukum-hukum psikologi. Cara kedua ini pernah dilakukan
oleh M.S. Hutagalung (1968) ketika menganalisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya
Mochtar Lubis. Pada karya Hutagalung, kajian psikologi merupakan salah
satu dari kajian lainnya yang dipakai, yaitu latar belakang
pengarang dan karyanya, struktur naratif, gaya bercerita, sosiologi, dan
filsafat eksistensialisme. Kajian tersebut terdapat dalam buku berjudul
Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (Gunung Agung, 1963). Buku tersebut, awalnya
merupakan skripsi untuk mencapai tingkat Sarjana Muda kesusastraan
modern di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Pada kajian psikolgi sastra, yang
diberi subjudul “Pengaruh Sistem Ilmu Jiwa Dalam pada Jalan Tak Ada
Ujung”, Hutagalung mendeskripsikan adanya soal nafsu-nafsu seksual,
lapisan tak sadar dan penekakan-penekanan terhadapnya, soal-soal mimpi,
soal-soal kecemasan dan ketakutan, dan superego dalam novel Jalan Tak Ada
Ujung.
Dalam hubungannya dengan soal
nafsunafsu seksual, Hutagalung (1968:48) menunjukkan betapa besar pengaruh
kelemahan syahwat Guru Isa pada jiwanya dan betapa gembiranya waktu
impotensinya hilang, yang menunjukkan besarnya pengaruh nafsu seksual pada diri
manusia, seperti dikemukakan darai teori Freud. soal nafsu-nafsu seksual juga
ditemukan pada peristiwa serdaduserdadu Sikh yang masih sempat meraba-raba dada
isteri seorang tuan rumah, biarpun dalam keadaan perang, kenang-kenagan Mr.
Kamarudin tentang kepuasannya dengan wanita-wanita di luar rumah tangga,
gurauan Rachmat dan Hazil ketika hendak melempar granat di saat perang, yang
mengatakan, “Boleh ini Hazil. Lihat goyang pantatnya,” ketika melihat seorang
wanita lewat.
Hutagalung (1968: 49) mengemukakan
pada tokoh Guru Isa Nampak sekali pengaruh pandangan Freud tentang lapisan tak
sadar dari jiwa manusia. Peristiwa: Isa menutup mukanya dengan kedua belah
matanya, dan mengerang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi apa yang dirasanya
sekarang ialah reaksi yang lambat yang sekarang timbul dari perasaan
ketakutannya yang tertekan tadi. Pelukisan ini sesuai dengan system Freud
tentang balam tak sadar sebagai sumber neorosis atau sakit syaraf karena
individu mencoba membuang ke daerah kenang-kenangannya yang tak ia sukai dan
harapan-harapannya yang berakhir dengan kekecewaan-kekecewaan. Demikian juga
ketika Guru Isa menekan keinginannya untuk memeluk dan bercinta dengan istrinya
karena impotensi yang dialaminya akan mengecewakan istrinya.
Soal mimpi, yang banyak dibahas
oleh Freud, juga ditemukan dalam Jalan Tak Ada Ujung. Mimpi menurut
Freud memiliki tugas sebagai alat pemuas bagi Id yang pada waktu keadaan sadar
dalam kehidupan tidak dapat dipuaskan. Dalam novel tersebut, Fatimah sering
memimpikan Hazil, Guru Isa selalu bermimpi hal-hal yang sangat menakutkan,
sering bermimpi melihat “jalan tak ada ujung” (Hutagalung, 1968: 50).
Hutagalung (1968:50-51) juga
mengemukakan bahwa kecemasan dan ketakutan yang dialami Guru Isa sangat mirip
dengan konsepsi Freud. Kecemasan yang dialami Guru Isa nampaknya termasuk
kecemasan neorotis atau syaraf. Kecemasan ini ditimbulkan oleh ketakutan
tentang apa yang mungkin terjadi. Kecemasan ini menjadi sifat orang gelisah,
yang selalu mengira bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi, seperti yang dialami
Guru Isa. Di samping itu, Hutagalung (1968:51-52) juga menunjukkan bahwa
gerak-gerik tokoh-tokoh dalam Jalan Tak Ada Ujung memiliki lapisan
superego yang mempengaruhi kelakuan-kelakuannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dengan memfokuskan pada karya
sastra, terutama fakta cerita dalam sebuah fiksi atau drama, psikologi sastra
mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, melalui
pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap karya sastra.
Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan
untuk melakukan analisis karya sastra.
3.2
Saran
Diharapkan
kepada para pembaca, khususnya progam studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia bisa mempelajari serta memahami tentang teori Psikologi Karya Sastra
dengan baik dan benar. Kami sebagai penulis mengharapkan saran dan kritikan
apabila makalah ini masih ada kekurangan dan kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Kanwa Publisher.











