syarief uye

Autumn Falling Leaves

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 Desember 2017

KELOMPOK 1 (PSIKOLOGI PENGARANG)

PSIKOLOGI PENGARANG
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Sastra
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.pd
Disusun oleh kelompok : 1
1.      Ana Lutfiah                             (15188201002)
2.      Asa Ayu Sakinah                    (15188201004)
3.      Devi Putri Q                             (15188201006)
4.      Hasanah                                  (15188201009)
5.      Hesti  Liadarwati                    (15188201010)
6.      Lailiatuz Zainia                        (15188201016)
7.      Nida’ Qurrotul Firdaus           (15188201026)



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA 2015/A


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah member rahmat dan hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang psikologi pengarang dengan baik, sholawat serta salam kami sampaikan kepada baginda Rosulluah Muhammad SAW.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah psikologi sastra yang berhubungan dengan prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Pasuruan.Makalah berisi tentang materi yang akan di pelajari
M. Bau Firmasnyah, M.Pd selaku dosen pembimbing mata psikologi sastra. Karena dengan bimbingan dan tutunan beliau kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Serta teman-teman yang telah  memberikan motivasi kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat menambah wawasan pembaca namun kami sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami dengan senang hati akan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya,sehingga dimasa mendatang makalah ini akan hadir lebih baik lagi.



Pasuruan, September 2017
                                                                                                                  

               Penulis

DAFTAR ISI

COVER........................................................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................      
DAFTAR ISI..........................................................................................      
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................      
1.1 Latar Belakang...................................................................................       1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................       1
1.3 Tujuan................................................................................................       1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................      
 2.1 Memori Psikologis Pengarang...........................................................       2
2.2 Tipologi Psikis Pengarang..................................................................       3
2.3 Psikobudaya Pengarang.....................................................................       5
2.4 Kepribadian Pengarang......................................................................       7
BAB III PENUTUP...............................................................................      
3.1 Kesimpulan .......................................................................................       9
3.2 Saran..................................................................................................       9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................      





 BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam  penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Psikologi pengarang  merupakan salah satu wilayah psikologi sastra yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi.  Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra. Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan hubungannya dengan psikologi pengarang serta pengaplikasian psikologi pengarang terhadap karya sastra.
Secara teori, terdapat hubungan antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang penulis akan berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan. Keadaan yang bahagia tentunya dapat mengispirasi berbagai karya yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya. Setiap penulis memiliki doktrin dan kepercayaan sendiri-sendiri, maka seorang penulis yang idialisme akan memunculkan sastra dengan terkadung nilai doktrin yang kuat. Ketiga, melalui jenjang pendidikan. Karena pendidikan bertujuan mencetak karakter maka penulis banyak menemukan karya sastra yang mengangkat masalah-masalah pendidikan berangkat dari masalah pendidikan penulis sendiri. 

1.2  Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan  beberapa rumusan masalah yang ada, diantaranya

 
(1). Apa Memori Psikologis Pengarang ?
 (2). Bagaimana Tipologi Psikis Pengarang ?
 (3). Apa Psikobudaya Pengarang ?
 (4). Apa Kepribadian Pengarang ?

1.3  Tujuan Masalah
(1). Untuk mendeskripiskan pengertian tentang memori psikologis pengarang
(2). Untuk mendeskripsikan tentang tipologis psikis pengarang
(1). Untuk mendeskripiskan pengertian tentang psikobudaya pengarang
(2). Untuk mendeskripsikan pengertian kepribadian pengarang
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Memori Psikologis Pengarang

Memori Psikologi Pengarang
Memori adalah persoalan siapapun, termasuk pengarang. Pengarang dengan sendirinya akanmenggunakan memori untuk berkarya. Sayangnya memori tersebut terbatas. Jarang pengarang yang dapat mengingat seluruh hal. Bahkan, yang pernah dilihat dua atau tiga jam ynag lalu, sering kali sudah tidak ingat lagi. Padahal, ingatan merupakan faktor psikis yang amat penting bagi pengarang. Hanya melalui ingatan, karya dapat dibangun secara intensif.

Yag perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang, menurut Wright (1991:149) adalah mencermati sastra sebagai analog fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat memahami seberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan ketaksadaran yang bermanfaat. Proses penelitian semacam ini perlu hati-hati, sehingga akan dapat di temukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi dalam sastra sah-sah saja.

Dalam permasalahan itu, saya tidak menolak jika T.S. Eliot (Wellek dan Warren, 1989:94-95) memperkenalkan pandangannya yang khas tentang penyair. Penyair juga tak akan lepas dari fantasi kejiwaan, seperti dinyatakan Wright tadi. Bahkan, amat mungkin fantasi dalam diri penyair semakin berlebihan. Penyair dianggapnya mengulangi kembali atau tetap mempertahankan hubungan dengan masa kanak-kanaknya dan dengan masa muda umat manusia, sementara ia melangkah ke masa depan. Karya sastra dalam konteks ini, merupakan “rekam ulang” masa lalu tidaklah keliru. Rekaman itu merupakan potret jiwa. Pemutaran ulang kejiwaan, tentu tidak sekedar yang berasal dari dirinya, tetapi juga lingkungannya. Kekayaan diri pengarang akan ditempa oleh kondisi lain.

Pada tahun 1918, Eliot menulis “Seniman lebih primitif dan sekaligus lebih beradab daripada orang-orang sezamannya” (“The artist is more primitive, as well as more civilized, then hiscontemporaries...”). pada tahun 1932, ia kembali mengulang konsepsi ini, terutama tentang “imajinasi pendengaran” serta pencitraan visual penyair. Ia berbicara tentang pencitraan yang selalu berulang, yang mungkin memiliki nilai simbolik, tetapi simbolik apa, kita tak pernah tahu, karena citraan itu mengacu ke dalaman perasaan yang tak dapat kita lihat (may have syimbolic value, but of what we cannot tell, for they have come to represent the depths of feeling into which we cannot peer). Pendapat ii memberikan keluasan pandangan bahwa pengarang memang orang eksklusif. Banyak hal yang tak terlihat oleh mata orang biasa, dapat tertangkap oleh pengarang. Hanya saja, penangkapan pengarang tidak mentah-mentah, melainkan disimbolkan. Padasaat penyair Kanwa menulis Serat Arjunawiwadha, ia mengkritisi kejiwaan raja Erlangga pada masa itu, yang selalu disimbolkan oleh kemenangan Arjuna melawan Prabu Niwatakawaca. Empu Kanwa menjadi corong psikologibudaya zaman, bahwa kesaktian pribadi itu penting dibanding kekuasaan.

Eliot mengutip karya-karya Caillet dan Bade tentang hubungan gerakan simbiolisme dan psyche primitif sebagai contoh-contohyang baik, ia menyimpulkan bahwa “mentalitas pra-logika tetap ada dalam diri manusia beradab, tapi hanya dapat di jangkau oleh, atau melalui penyair”. Pernyataan ini dapat dibenarkan karena penyair mampu memanfaatkan komunikasi batin untuk menangkap mentalitas zaman. Jiwa zaman dapat diramu menggunakan daya imajinasi kritis penyair. Dari sini, akan muncul kejiwaan secara primitif secara simbolik bahwa pemikiran psikologis ynag berunuansa takhayul pun sebenarnya merujuk pada kepribadian yang beradab. Sebut saja, pada saat penyair (anonim) mengungkap Serat Gatoloco, ternyata mampu menggerakkan simbol-simbol zaman. Simbol erotik yang dibangun dengan kekuatan jiwa profetik, dapat menjadi kesaksian jiwa masyarakat. Kepribadian Gatoloco yang polos, mampu menggugah imajinasi pengarang untuk mengungkap simbol metafisik yang berbobot.

Dalam kata-kata Eliot itu, kita dengan cepat melihat pengaruh Carl Jung dan pengulangan tesis Jung bahwa dalam alam bawah sadar manusia, daerah masalalu, masa kanak-kanak dan masa bayi yang tertekan ke bawah sadar, ada ‘kesadaran kolektif’, yakni daerah masalalu umat manusia dan masa sebelum manusia ada. Jung menciptakan tipologi psikologi yang rumit. Memori yang menyelimuti pengarang sekurang-kurangnya ada empat faktor psikologis, yaitu (1) pikiran, (2) perasaan, (3) intuisi, dan (4) sensasi, yang dibagi lagi atas dua kategori yaitu kategori extrovet dan introvet. Di luar dugaan, ia tidak menggolongkan semua pengarang ke kategori introvet-intuitif, atau kategori introvet saja. Untuk menghindari penggolongan yang terlalu sederhana, ia mengatakan bahwa ada pengarang yang menunjukkan tipe aslinya melaluitulisan-tulisannya, dan ada yang justru menampilkan antitipenya, yakni tipe pelengkap yang kontras dengan kepribadiannya.

Dari empat faktor psikologis tersebut, satu dengan yang lain saling melingkupi. Dunia pengarang tak bisa hanya mengandalkan satu tipe saja. Karya yang hanya mengandalkan pikiran kurang begitu menyentuh jika tanpa kehadiran perasaan, begitu seterusnya. Apabila keempat tipe itu dilacak dalam karya sastra di Indonesia, tentu akan banyak yang dominan, yaitu aspek perasaan (emosi). Perasaan seaakan menjadi modal utama pengarang melukiskan duniannya.
2.2  Tipologi Psikis Pengarang

Keadaan psikis pengarang adalah suasana unik. Pengarang hidup dalam suasana yang lain dari yang lain. Pada realitas semacam ini, tugas peneliti psikologi sastra hendaknya lebih menukik sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Hal personal itu dikaitkan dengan sastra yang di hasilkan. Dari sini, bisa memunculkan aneka tipe kepengarangan.

Pada dasarnya, dapat dinyatakan bahwa homo scriptor tidak terdiri dari satu tipe saja. Simpulan Wellek dan Warren (1989: 95-98) ini cukup mewakili peta psikologi sastra kerena pengarang memang tidak berjiwa tunggal. Pengarang adalah makhluk multijiwa, yang bisa bersuara apa saja. Kita bisa menggolongkan Coleridge, Shelly, Baudelarine, dan Poe- kesemuanya penulis-penulis romantik – dalam satu kelompok. Sejajar dengan ini kita juga dapat menggolongkan penulis Widi Widayat, Any Asmara, Ayu Utami dalam kategori pengarang berjiwa romantik. Meskipun karyanya ada nilai-nilai kejiwaan lain, hal itu berarti pengarang memang bersifat ganda.

Ada penyair lirik, romantik, dramatik, dan epik yang secara psikologis mampumenciptakan denyut kejiwaan. Penyair Darmanto jatman, yang memiliki keilmuan dasar psikologis dengan Karta Iya Bilang Boten dapat dikategorikan dengan sebagai penyair lirik psikologis. Karya-karya dwibahasa dia cukup kental dengan endapan psikologi Jawa. Hal tersebut juga berarti multi jiwa akan dibarengi oleh multi bahasa sebagai sarana simbolik. Pengarang juga tak pernah mengkalim dirinya termasuk golongan mana. Kritikus atau pembacalah yang mencoba menggolongkan hal tersebut. Oleh sebab itu, golongan tersebut  bukan paten, melainkan lentur atau cair.

Novelis dan cerpenis juga dapat digolongkan seperti itu. Seorang ahli tipologi yang lain, Kretschmer (seorang Jerman), membedakan penyair dengan novelis, yaitu penyair kurus, lemah dan mudah diserang “schizophrenia”, sedangkan novelis gemuk, pendek dan tidak stabil emosinya. Penggolongan semacam inilah yang tidak sepenuhnya disetujui karena “schizophrenia” adalah gejala sakit jiwa yang mengasingkan diri, dapat melanda penulis apa saja, termasuk novelis dan cerpenis. Mungkin, kondisi kepenyairan luar negeri dengan negara kita berbeda, hingga kesimpulan Wellek dan Warren demikian terwujud. Padahal, jika direnungkan, siapa saja dapat mengasingkan diri karen hendak menemukan orisinilitas. Bahkan, puisi-puisi imajinatif Imam Gazali pun demikian halnya, sementara novelis Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Parukjuga demikian. Hanya saja, kapasitas pengasingan diri satu dengan yang lain memang bisa berbeda.

Sastrawan juga dapat dibagi lagi dalam dua tipe psikologis, yaitu (a) sastrawan yang kesurupan (possessed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan, dan (b) sastrawan pengrajin (maker), yang penuh keterampilan, terlatih dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab. Penggolongan ini tidak selalu tepat. Oleh karena sifat “kesurupan” dalam tradisi sastra, sebenarnya modal yang tidak sederhana. Kesurupan tidak bisa dinilai semena-mena. Begitu juga sastrawan “pengerajin”, tampaknya sekedar mementingkan produktivitas, bukan kualitas.

Memang harus disadari bahwa perbedaan tersebut dapat dilihat sepanjang sejarah sastra : sastrawan “kesurupan” adalah penyair primitif shaman, penyair romantik, penyair ekspresionis, dan penyair surealis. Sementara penyair profesional dari Irlandia dan Islandia serta penyair-penyair Ranaisans, dan neoklasik adalah tipe “pengerajin”. Tentu kedua tipe ini tidak merupakan dau kutub yang terpisah secara eksklusif. Milton, Poe, Henry James, Eliot, Shakespeare, Dante adalah pengarang yang memadukan kedua tipe itu dalam diri mereka. Mereka menyajikan obsesi-obsesi kehidupan dalam karya yang dibuat dengan penuh ketekunan, ketelitian, dan kesadaran. Tak ada satupun  pengarang ynag secara tepat dapat masuk pada tipologi tersebut. Apalagi, derap psikologi pengarang sewaktu-waktu juga dapat berubah.

Penggolongan dua kutub seni ynag paling terkenal dan berpengaruh adalah yang di buat oleh Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy (1872). Apollo dan Dionysus dua dewa seni Yunani mewakili dua jenis seni dan proses seni, seni patung dan seni musik, tingkat psikologis mimpi dan keadaan mabuk ekstase. Keduanya kira-kira sejalan dengan penggolongan sastrawan “pengerajin” dan sastrawan “kesurupan”, sastrawan klasik dan romantik. Keadaan ekstase dan “pengerajin” dalam sastra, secara psikologis amat sulit dipisahkan. Pengarang yang sukses kadang-kadang harus memanfaatkan keduannya. Kedalaman imajinasi biasanya terbangun melalui ekstase. Tipe-tipe pengerajin, sebenarnya dalam sastra tergolong underdoge. Oleh sebab itu, dunia sastra lebih tepat disebut pengarang kreatif.

Pada bagian selanjutnya, psikolog Prnacis, Ribot, terpengaruh Nietzsche ketika membagi dua tipe imajinasi sastrawan menjadi tipe “plastis” dan tipe diffluent (cair). Pengarang tipe “plastis” mampu membuat pencitraan visual yang tajam, yang dirangsang oleh pengindraan dari luar. Pengarang tipe diffluent (pendengaran dan simbolik), memulai imajinasi melalui emosi atau perasaan, lalu menuangkannya melalui irama dan pencitraan yang didorong oleh stimulus dari dalam dirinya. Yang termasuk tipe terkahir adalah penyair simbolis dan pengarang cerita romantik, seperti Tieck, Hoffman, dan Poe. Jelas Eliot mendapatkan ide dari teori Ribot ketika ia mengkontraskan imajinasi visual Dante dan imajinasi pendengaran Milton. Kedua tipe tersebut secara psikologis tidak dapat dipandang remeh. Sebab, watak plastis dan cair dalam sastra merupakan kondisi kejiwaan yang di butuhkan. Gagasan yang plastis dan cair akan menentukan karya sastra itu menarik atau tidak.

2.3 Psikobudaya Pengarang

Psikobudaya adalah kondisi pengarang yang tidak lepas dari aspek budaya. Kejiwaan pengarang dituntun oleh kondisi budayanya. Pengarang yang bebas sama sekali dari faktor budaya, hampir tidak ada. Faktor budaya akan menyublim secara halus dalam jiwa pengarang. Dalam artikel tulisannya, Munandar (1993:19-26) banyak menyoroti masalah psikologi kreativitas pengarang yang terikat dengan budaya. Meskipun tulisan tersebut belum didukung oleh penelitian mendalam di lapangan, namun tetap dapat dijadikan pijakan pemikiran. Paling tidak, penelitian psikologis akan memahami betapa penting faktor internal dan eksternal dalam psikologis pengarang. Pengarang tidak bisa lepas dari budaya, pribadi, dan moral yang mengitari jiwanya. Oleh sebab itu,

kreativitas pengarang sebenarnya merupakan “cetak ulang” dari jiwanya. Menurut dia, kebanyakan pengarang dalam menggambarkan proses kreatif pada dirinya dalam kesibukan mengarang (dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II), mengakui bahwa menulis dan mengarang membutuhkan iklim tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Sitor Situmorong (Eneste,1984:3) bahwa “Sejak lahir atau tumbuh dari iklim tertentu, situasi dan kondisi budaya. ... Penciptaan sebuah sajak, dilakukan oleh seseorang dalam iklim budaya, iklim sastra.” Bahkan, dikatakan “Faktor Budaya dan kesempatan sosial ikut menentukan karier seseorang”. Pernyataan ini memang belum secara langsung terikat dengan iklim psikologis. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa budaya pengarang akan membentuk kejiwaannya.

Maka, peneliti perlu merunut budaya apa saja yang dapat mempengaruhi kreativitas sastrawan. Arieti (1976) menyebutkan masyarakat atau budaya yang menumbuhkan kreativitas anggota masyarakatnya sebagai creativogenic society. Walaupun proses kreatif merupakan suatu fenomena “intrapsikis”, ia merupakan bagian dari suatu sistem terbuka. Sintesis magis (yaitu penciptaan dari suatu karya kreatif) tidak terjadi tanpa masukan dari dunia luar, dan sangat dibantu/ dimudahkan oleh iklim atau lingkungan yang tepat. Menurut, Arieti, masyarakat yang didalamnya berlaku hukum-hukum yang adil dan benar, memberikan kondisi psikologis dan ekonomis untuk semua anggota masyarakat, merupakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan kreativitas. Pendapat demikian dapat dibenarkan, sebab pengarang jelas sebagai makhluk yang hidup dalam pusaran masyarakat. Masyarakat jelas tidak steril dengan pengaruh lain. Akibatnya, kondisi psikologis pengarang tercampuri faktor lain. Faktor mana yang dominan dalam kreativitas, tergantung bagaimana seleksi pengarang itu sendiri. Secara lebih khusus, Arieti membedakan berbagai faktor sosio kultural yang creativogenic. Faktor pertamayang menurutnya paling esensial adalah tersedianya sarana/ prasarana budaya. Misalnya, di Jakarta, adanya Taman Ismail Marzuki yang memungkinkan para seniman, budayawan, sastrawan, dan sebagainya. Saling bertemu, berdiskusi dan memaparkan karya-karya seni mereka sangat membantu perkembangan seni (termasuk seni sastra). Sebagai contoh, Sori Siregar (Enestr, 1984:119) dapat bertemu dengan Arif Budiman di TIM, yang menghasilkan percakapan yang mana antara lain merangsangnya untuk tidak membatasi diri pada penulisan cerpen, tetapi juga novel. Faktor kepengarangan demikian,menurut hemat saya, memang tidak terelakkan dalam diri psikis pengarang. Pengarang yang hidupnya penuh liku-liku kultural, tentu amat kaya jiwanya. Di Yogjakarta, misalnya, di zaman Umbu Landu Paranggi, dengan Sanggar Bambu, budaya Malioboro amat berperan. Peristiwa obrolan dan nongkrong di jantung kota, akan membentuk kreativitas batin.

Kreativitas kedua dari budaya creativogenic ialah keterbukaan terhadap berbagai rangsangan kebudayaan, baik yang nasional maupun internasional. Indonesia beruntung karena memiliki kekayaan dan keberagaman budaya etnis, yang tentunya memperluas dan memperkaya wawasan dan pengalaman pengarang, apalagi juga mempunyai pengalaman mengenai budaya asing, di luar negeri. Tampak bahwa kebanyakan pengarang memang mempunyai cukup banyak kesempatan untuk berkunjung ke luar negeri, apakah untuk tujuan pendidikan,pekerjaan, atau lainnya. Kondisi ini juga menempa sastrawan nusantara yang pernah berkunjung ke luar negeri. Dalam proses studi, seperti Budi Darma, Umar Kayam, Rachmat Djoko Pradopo, jelas kejiwaannya terpengaruh budaya lain. Dalam karyanya tentu dimotori oleh budaya lain tersebut. Begitu pula sastrawan Cak Nun, Linur Suryadi A.G, Darmanto Jatman yang pernah belajar writing di luar negeri akan tertempa jiwannya. Tanpa kehilangan “identitas nasional” keterbukaan terhadap berbagai rangsangan, juga dari luar negeri, hanya akan memperkaya dan meningkatkan kualitas kepengarangan di Indonesia. Faktor lainnya ialah timbulnya kemerdekaan (pembahasan) setelah masa tindasan atau pengekangan. Kondisi ini dapat menumbuhkan daya cipta para senian, dalam hal ini sastrawan. Kehidupan sastra di Indonesia tidak mungkin tidak, sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa atau kejadian historis yang penting, seperti masa Kolonialisme Belanda (misalnya, munculnya Pujangga Baru pada tahun 1930-an yang ditandai oleh semangat kebangsaan yang mengejar kemajuan. Semangat pembebasan ini melahirkan puisi modern Indonesia pada tahun 1930-an). Masa pendudukan Jepang dan kemudian masa kemerdekaan Indonesia betapa banyak karya-karya sastra “diilhami” oleh peristiwa-peristiwa di masa-masa tersebut. Demikian pula perkembangan politis secara langsung atau tidak mempengaruhi kehidupan sastra di Indonesia (saya sendiri walaupun bukan seniman atau sastrawan merasa beruntung sebagai “anak tiga raman”, mempunyai pengalaman yang lebih kaya daripada mereka yang hanya mengenal zaman kolonialisme atau zaman merdeka). Hasrat dalam menghadapi atau menantang kesulitan-kesulitan yang timbul, memperjuangkan kemerdekaan, atau apa yang dirasakan sebagai ketidakadilan, diskriminasi, ini semua merupakan motivasi yang sangat kuat untuk mengarang atau menulis sajak. Faktor yang tidak kurang pentingnya ialah paparan (exposure) terhadap rangsagan yang berbeda-beda, bahkan saling kontras. Dengan memperoleh rangsangan baru dari berbagai budaya, seseorang meningkatkan kemungkinan diperolehnya “sintesis kreatif”. Konsep kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru dari unsur-unsur atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya. Karakteristik lainnya ialah adanya toleransi dan minat terhadap pandangan yang berbeda dan beragam, bukan saja terhadap pandangan dari budaya, melainkan terhadap segala jenis atau bentuk divergensi. Suatu karya kreatif sering mengganggu orang karena ketidaklazimannya. Orang merasa lebih aman dengan apa yang dikenal atau diketahui. Toleransi terhadap pandangan yang berbeda ini perlu diikuti oleh sikap ingin tahu mengenai hal-hal yang baru, yang orisinal. Dari faktor budaya psikologis demikian, dapat dimengerti bahwa pengarang tidak tunggal. Pengarang adalah pribadi yang multirupa. Jiwa pengarang dapat diubah atau mengubah biasanya. Dalam konteks ini berarti penelitian psikologi sastra perlu memperhatikan aspek budaya disekitar pengarang. Pengarang yang hidup dalam lingkup budaya keras,marginal, ketidakadilan tentu berbeda karyanya. Budaya kota dan desa juga akan membentuk jiwa pengarang. Aspek psikologi keluarga sering memengaruhi kejiwaan pengarang. Pengarang yang berasal dari keluarga miskin dan mapan, sering berbeda ekspresinya. Dengan demikian, aspek psikis dapat dipengaruhi oleh situasi ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Jiwa pengarang berarti merupakan ramuan dari sekitar unsur pembangun estetika. Tugas peneliti adalah menemukan sekian banyak unsur pengaruh psikis itu, sehingga makna hakiki akan tertangkap. Pengarang yang bagus tentu yang kaya akan unsur-unsur psikis tersebut, sekaligus mampu mengolah dalam karya secara seksama.

2.4 Tipologi Psikis Pengarang

Kepribadian adalah persoalan jiwa pengarang yang asasi. Pribadi pengarang akan memengaruhi ruh karya. Belajar dari gagasan benedict (Danandjaja,1994:41), kepribadian seseorang ada yang normal ada abnormal. Pribadi normal, biasanya mengikuti irama yang lazim dalam kehidupannya. Apapun abnormal, bila terjadi deviasi kpribadian. Kedua wilayah pribadi sah-sah saja dalam kehidupan pengarang.
Kepribadian memang dapat dibentuk. Dalam pertemuan dengan orang-orang yang ternama dalam bidang sastra dan diluar sastra, pribadi pengarang akan terbentuk. Interaksi antara pribadi-pribadi atau kelompok individu yang mempunyai minat yang sama mempunyai dampak yang amat menentukan. Sitor situmorang (Eneste, 1984:8) berupaya agar ia sempat berjumpa dengan para seniman yang tenar. Hamsad rangkuti mengungkapka bagaimana ia dengan pindah dari kota kecil ke medan, mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh seniman medan; mula mula ia memang merasa “tidak dianggap” pleh mereka, tetapi dengan diterimanya salah satu karyanya dimajalah sastra yang terkenal, mereka mau menegurnya dan meminjaminya buku-buku, hal mana membuatnya lebih mengenal karya-karya sastra.
Faktor terakhir yang dikemukakan oleh arieti sebagai cretivougenic ialah pemberian insentif dan penghargaan. Meskipun hadiah yang paling besar untuk kreativitas adalah kreativitas itu sendiri, dan tak ada yang lebih menggembirakan dalam arti memuaskan pribadi yang kreatif daripada kegiatan mencipta itu sendiri (proses), atau karya kreatifnya (produk), intensif dan penghargaan dapat memperkuat motivasi. Namun, jika berlebih justru menghilangkan motivasi intrinsik untuk mencipta. Bagaimanapun, keamanan atau jaminan finansial dapat membantu hal tersebut. Sekali lagi, faktor-faktor creativogenic tersebut hanya merupakan masukan untuk kreativitas individu, tetapi yang lebih esendial adaalah unsur-unsur intrapsikis dari pribadi kreatif.
Dari suatu penelitian tentang pendapat para ahli psikologi di indonesia mengenai ciri-ciri kpribadian kreatif (Munandar, 1977) diperoleh urutan ciri-ciri sebagai berikut: (a) imajinatif, (b) berprakarsa (dapat memulai sesuatu sendiri), (c) mempunyai minat yang luas, keterbukaan terhadap rangsangan baru , (d) mandiri (bebas dalam berpikir), (e) rasa ingin tau yang kuat, (f) kepetualangan, (g) penuh semangat, energik, (h) percaya diri, (i), bersedia mengambil resiko, dan (i) berani dalam keakinan.
Kebanyakan ciri-ciri ini dapat dikenali  pada para pengarang atau sastrawan kita. Kreativitas sebagai konsep ditinjau dari segi 4P, yaitu dari aspek pribadi, pendorong, proses, dan produk. Ditinjau dari aspek pribadi, tindakan atau prilaku kreatif muncul dari keunikan kepribadian individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
Ditinjau dari segi pendorong atau dorongan, kreativitas dalam sastra, maka ialah jika ingin menumbuhkan kreativitas dalam sastra, maka kita perlu menghargai keunikan pribadi seseorang. Menurut pramoednya anata  toer (eneste, 1984:69), pengalaman berkreasi adalah sangat pribadi, sangat subjektif




















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

            Psikologi pengarang  merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi.  Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.
Karena memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan pengarang selaku pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan pendekatan eskpresif. Pendekatan ekspresif memiliki  fokus kajian  dan cara yang mirip dalam mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta karya sastra. Kalau dicermati lebih lanjut, pendekatan ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih luas karena tidak hanya terbatas pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga latar belakang sosial budaya tempat pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa  psikologi pengarang, sebenarnya merupakan salah satu wilayah kajian dalam pendekatan ekspresif. Oleh karena itu, untuk memisahkan keduanya pada kasus-kasus pengarang dan karya tertentu sering kali tidak memungkinkan.

         
3.2 Saran

Dalam penyusunan makalah ini tentu ada kekurangan dan kelebihan di dalamnya. Maka dari itu, kami menerima segala kritik dan saran yang nantinya akan kami jadikan perbaikan untuk melengkapi makalah ini.




 DAFTAR PUSTAKA
Endraswara Suwardi. Metode Penelitian Psikologi Sastra, Yogyakarta : MedPress
http://trieepram.blogspot.co.id/


KELOMPOK 3 (PSIKOLOGI PEMBACA)

MAKALAH PSIKOLOGI SASTRA
Psikologi Pembaca”

Dibimbing Oleh :
Bayu Firnamsyah, M.Pd


Disusun Oleh :
Kelompok 3
Dia Rodiah (15188201007)
Ellyna May Nur Jannah (15188201008)
Imroatul Mufidah (15188201011)
Mar’ah Qonitatillah (15188201019)
Moh. Muklas (15188201022)
Nafisa (15188201025)
Nur Solikhaturrosida (15188201032)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2015 A
STKIP PGRI PASURUAN
2017-2018


Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Sastra dengan judul “Psikologi Pembaca”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.




Pasuruan, 10 Oktober 2017

Penyusun



 DAFTAR       ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah .............................................................................................  2
1.3  Tujuan Pembahasan ..........................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Daya Psikis Keras dan Lunak ......................................................................... 3
2.2 Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis ....................................................... 3
2.3 Eksperimental Estetik Pembaca Sastra  ........................................................... 5
2.4 Tipologi Psikis Pembaca................................................................................... 6
2.5 Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow…….. 7

BAB III PENUTUP 
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 9 
3.2 Saran ................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 9





 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Wallek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis- menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan, prikologi sastra mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya (Ratna: 2004: 340).
 (Ratna: 2004: 350) psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan penerapan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangant erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “psikologi sastra”. Artinya dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan psikologis sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologis karna dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai psikologi sastra, dapat ditarik benang merah mengenai definisi psikologi sastra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam penerapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.


1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud daya psikis keras dan lunak?
2.      Apa yang dimaksud resepsi dan kebebasan tafsir psikologis?
3.      Bagaimana Eksperimental estetik pembaca sastra?
4.      Apa yang dimaksud Tipologi psikis pembaca?
5.      Apa yang dimaksud kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan daya psikis keras dan lunak.
2.      Untuk mendeskripsikan resepsi dan kebebasan tafsir psikologis.
3.      Untuk mendeskripsikan eksperimental estetik pembaca sastra.
4.      Untuk mendeskripsikan tipologi psikis pembaca.
5.      Untuk mendeskripsikan kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow.














BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Daya Spikis Keras dan Lunak
Agak sulit untuk menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang terkait dengan resepsi pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya bukan studi sastra, melainkan penelitian pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit dipertanggung jawabkan, sebab bagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub sastra. Cukup unik jika sastra telah tersugup di hadapan pembaca. Konsep Holland (Wright, 1991:149) menyebutkan bahwa ada kemungkinan terjadi “kolusi” estetis antara pengarang dengan pembaca. Untuk memahai bagaimana resepsi psikis dapat terjadi dalam proses komunikasi sastra, dapat dicermati gagasan Holland (1968) dan Lesser (1989) yang secara tegas mengemukakamn masalah resepsi sastra secara psikologis. Bagi Holland, sastra memiliki efek relief (pembebasan) sehingga akhir dari semua analisi seni adalah a comfort (suatu kesenangan hidup). Kesenangan hidup di peroleh melalui ‘pelepasan’. Sekalipun karya sastra membuat perasaan kita sakit, bersalah, atau cemas, perasaan-perasaan itu (yang sesungguhnya hanyalah fantasi belaka) kita terima dan kita kuasai sedemikian rupa untuk menjadi pengalaman yang menyenangkan. Gagasan bahwa sastra akan menimbulkan kenikmatan, muncul sebagai akibat alternasi ritmik antara “gangguan” dan “penguasaan”. Orang susah, tetapi puas dan senang adalah efek ketika membaca sastra. Orang dapat kecewa psikisnya, tetapi lega karena membaca sastra. Dalam proses psikis semacam ini, berarti ada gelombang estetis yang merambat dari sastra ke psikis pembaca. Adapun Simon Lasser dalam bukunya Fiction and the Unconscious (1989), mengembangkan teori emotif mellau model komunikasi yang memungkinkan dia mendeskripikan efek-efek relief yang di rasakan pembaca.
2.2  Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis
   Resepsi adalah penerimaan. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural, akan memperkaya pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca bebas bermain imajinasi. Dari situ pula bebas menciptakan dunianya. Sastra setelah lepas dari tangan penulis menjadi hak banyak orang, termasuk pembaca.  Aspek psikis penulis, mungkin bisa diterima berbeda oleh pembaca. Pembaca sering berimajinasi lain ketika menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan pembaca juga sering kali mempengaruhi daya kritisnya. Dalam proses resepsiserupa, saya setuju dengan gagasan bahwa karya sastra ada hanya jika telah diciptakan kembali (dikonkretkan). Istilah “dikonkretkan” adalah hak pembaca. Pembaca boleh berbuat apa saja, menganalogikan bacaan dengan dirinya, boleh menangis, boleh marah, dan seterusnya. Proses konkretisasi itu sebenarnya proses psikologis.
   Daya kritis Junus demikian sah dan dapat dipahami, namun yang terpenting bagi peneliti psikologis adalah kemampuan memahami resepsi pembaca. Penulis, boleh juga pengucap, yang bekerja merumuskan sesuatu ke dalam teks memusatkan perhatiannya kepada hal-hal tertentu dengan melupakan hal-hal lain. dalam kaitan ini, Junus memberikan contoh dalam hubungan bahasa. Seseorang mungkin berhadapan dengan persoalan bagaimana merumuskan dua kalimat menjadi satu kalimat: (a) Saya percaya kepada Tuhan, (b) Tuhan itu satu. Berdasarkan proses bahasa Melayu yang biasa, maka keduanya dapat dibentuk menjadi satu kalimat, yakni “Saya percaya kepada Tuhan yang satu”. Namun, pembaca yang berhadapan dengan kalimat tersebut mungkin akan beranggapan bahwa kalimat itu berasal dari proses lain, yang tidak disadari kehadirannya oleh penulis tadi. Pembaca akan mengalami suatu proses lain, suatu cognition process. Ia akan mengaktifkan pemikirannya berdasarkan segala kemungkinan bahasa yang dikuasainya. Ia akan menyadari hakikat polisemi dari kontruksi “Tuhan yang satu”, karena dua arti menyatu dalam satu homonim.
   Contoh yang  diberikan di atas, hendak menyatakan bahwa teks sastra memang banyak mengundang tafsir. Teks sastra memiliki segala kemungkinan. Tiap pembaca boleh meresepsi secara psikis, sesuai pengalaman masing-masing. Orang yang pertama kali mengucapkan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, tidak menyadari bahwa orang tidak mungkin kencing selagi berlari. Ia juga tidak akan menyadari bahwa pepatah itu mempunyai implikasi lain dari yang dipikirkannya. Ia mungkin berfikir bahwa bila guru kencing duduk, maka murid juga akan kencing duduk (=mencangkung). Namun, pepatah itu memberikan implikasi lain. kalau “guru kencing duduk”, maka “murid akan kencing berdiri” karena pepatah itu menyarankan tentang murid yang “kurang ajar”. Apa yang ada pada pikiran pengucap ialah bagaimana merumuskan sesuatu yang mengandung pengertian kalau guru “kurang ajar”, maka murid akan lebih “kurang ajar” lagi, sedangkan murid akan jadi baik bila gurunya juga baik.
   Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser (1988:213) yang paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran. Teks sastra tidak selalu berhubungan dengan realitas objektif. Dunia sastra menurut Ingarden, akan dilukiskan secara intensional. Kalimat atau baris dalam sastra selalu bermuatan makna. Gagasan demikian sebenarnya lebih pada proporsi ingin menyatakan bahwa wacana sastra memang bersifat terbuka bagi penikmat. Siapa saja boleh berdebat dan mengajukan alibi. Bagi pembaca sastra yang jitu, tentu akan selektif terhadap permainan kata. Setiap pesan psikologis akan terbungkus rapi dalam bahasa. Perbedaan persepsi terhadap wacana sastra, justru memperkaya nilai sastra. Sastra tak pernah tunggal dalam hal makna. Semakin menyebarkan keragaman makna, sastra itu dipandang lebih bagus. Inilah tugas reseptor untuk menerka sampai ke batas psikis yang tepat.
2.3 Eksperimental Estetik Pembaca Sastra
1. Reaksi evaluatif pembaca.
   pembaca akan bereaksi setelah bersentuhan dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya telah terpenuhi berbagai berbagai butir reaksi. Reaksi bisa kea rah konstruktif dan destruktif.
Perlu di pahami bahwa sosiologi tertarik dalam funchtioning masyarakat, sementara psikologi tertarik pada functioning human mind ‘pikiran manusia’. Pendapat ini menekankan aspek kejiwaan dalam penelitian psikologi sastra. Psikologi pembaca juga tidak bisa lepas dari aspek psikis. Dalam buku evaluasi teks sastra, sagers (Sayuti, 20072-82) dengan serius membahas  evaluasi teks sastra secara psikologis. Paparan dia boleh di katakan  akan membantu pemahaman psikologis sastra yang terkait dengan pembaca. Dalam kaitan ini,pembaca adalah bagian dari komunikasi sastra yang tidak bisa ditiadakan. Tanpa pembaca, secara psikologis,  sastra kehilangan peminat. Psikologis sastra meliputi bidang penelitian yang luas,hanya ada sebagian yang memiliki relevensi dengan penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenaan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretative dan reaksi evaliatif pembaca terhadap teks sastra dapat di selidiki. Pernyataan ini memberikan penegasan bahwa penelitian psikologi sastra dapat menurut dua hal dalam resepsi, yaitu (a) reaksi pembaca, dan (b) evaluasi pembaca. Pembaca dapat menginterpretasi teks sastra sesuka hati. Mereka bebas berkomentar, yang penting masuk akal,
2. Langkah Kerja Estetik Ekspertimental
  Sebuah langkah eksperimental yang di tawarkan Bleich (pradopo, 1991:131) cukup penting di pegang oleh peneliti psikologi pembaca. Menurut dia, peneliti perlu menungkap “respon subjektif” pembaca teks. “Respon dia” ini akan menjadi data objektif. untuk  menangkap hal ini dapat dilakukan melalui dua kategori,yaitu (1) “jawaban” spontan pembaca teks,dan (2) ”arti” yang diatributkan pembaca kepadanya. Tanda petik pada kata jawaban dan arti ini menunjukkan bahwa keduanya adalah yang perlu dilacak.jawaban pembaca adalah ekspresi orisinal.Adapun arti harus diinterprestasikan. Itulah pelaksana ekspresimental yang patut dikritisi dalam penelitian.
   Metode penelitian apakah yang tersedia bagi estetika ekspresimental? Berlyne (1972) menyusun perbedaan-perbedaan berikut: (1) Sebagian besar rencana penelitian telah dioperasikan dengan putusan verbal dalam kaitannya dengan karya-karya seni; (2) Ada juga beberapa metode penelitian yang mengimplikasikan pencatatan psikologikal, misalnya mereka mencoba mengukur perubahan-perubahan dalam, aktivitas otak yang elektris ketika subyek sedang melihat film atau mendengarkan musik, yang mungkin menunjukkan perubahan tingkatan perasaan; (3) ada metode untuk mengukur apa yang di sebut non-verbal overt behavior ‘prilaku nonverbal’, misalnya suatu analisi dapat di buat tentang pilihan yang dapat dilakukan subjek terhadap dua karya seni atau lebih, dan waktu yang dibutuhkan bagi setiap pilahan dapat diukur, (4) Ada proyek yang tidak memerlukan responden, tetapi bermaksud menganalisis secara statistic materi artistic atau artefak, dengan pemusatan perhatian pada sisi atau hubungan antara kelas-kelas elemen.
2.4 Tipologi Psikis Pembaca
1. Kejiwaan Pembaca Sastra Anak
            Yang di maksud pembaca sastra anak adalah anak itu sendiri.Meskipum orang dewasa atau remaja bisa membacanya,pembaca sastra anak dalam konteks ini lebih khusus. Nugriyantoro (2005: 35-41) memberikan beberapa kontribusi sastra anak bagi anak.kontribusu ini tentu terkait pula dengan kejiwaan anak. Menurut dia, sastra anak di yakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati yang jelas. Nyanyian-nyanyian yang bisa didendangkan seorang ibu untuk membujuk si buah hati segera tertidur atau sekedar untuk menyenangkan, pada hakikatnya juga bernilai kesastran dan sekaligus mengandung nilai yang besar adilnya bagi perkenbangan kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan keindahan. Dengan membaca buku-buku cerita itu anak akan belajar bersikap dan tingkah laku secara benar. Lewat bacaan cerita itu anak akan belajar bagaimana mengelola emosinya agar tidak merugikan dirinya dan orang lain. Kemampuman seseorang mengelola emosi istilah yang di pakai adalah Emotional Quotien (EQ)  yang analog Intelligence Quotien (IQ), juga Spiritual Quention (SQ) dewasa ini di pandang  sebagai aspek personalitas yang besar pengaruhnya bagi kesuksesan hidup, bahkan diyakini lebih dari pada  IQ.  
2. Tipologi Psikis  Pembaca Remaja
            Pembaca juga raja. Dia berhak membuat merah hijau karya.Kebebasan imajinasi sering tak terkontrol.Akibatnya, sastra kadang-kadang lebih indah dari aslinya ketika di santap pembaca. Remaja mungkin gemar pada hal-hal cinta dalam sastra. Cinta adalah ahwal universal psikis manusia. Maka, kalo pembaca remaja mendambakan cinta dan seks, itu sah-sah saja. Golongan pembaca dari sisi umur memang sering berbeda inisiatif dan minatnya. Pembaca remaja, biasanya berbeda dengan pembaca dewasa.
3. Tipologi Psikis Pembaca Dewasa
            Pembaca dewasa,tuntutannya berlainan sama sekali dengan remaja.Orang dewasa telah matang kejiwaannya. Pembaca dewasa relative lebih mapan psikisnya. Banyak pilihanpun mereka lakukan dalam menentukan bacaan. Karena keseimbangan emosi stabil, tentu daya kekuatan psikis sastra ada perbedaan di banding pembaca remaja dan anak. Motivasi dan minat baca orang dewasa juga perlu di acak. Ada pembaca yang sekedar bersenang-senang, ada yang ingin meneliti, dan yang bermotif ekonomi, polotik, budaya, dan seterusnya. Seluruh hal tersebut di cermati aspek psikologisnya sehingga di temukan makna yang signifikan.
2.5  Kebutuhan Aktualisasi Diri dalam Teori Humanistik Abraham Maslow
Teori psikologi humanistik dikembangkan oleh Abraham Maslow. Psikologi humanistik menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif, dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri. Melalui Motivation and Personatity (Wiyatmi, 2011:12).
Psikologi humanistik mempunyai empat ciri, yaitu:
1.    Memusatkan perhatian pada person yang mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia.
2.    Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti kreativitas, aktualisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanis dan reduksionistis.
3.    Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah yang akan dipelajari dan prosedur penelitian yang akan digunakan.
4.    Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu (Misiak dan Sexton, dalam Walgito: 2004:92).
Menurut Maslow, tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan individu tersebut lebih bahagia dan sekaligus memuaskan. Maslow mengemukakan teori kebutuhan bertingkat yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49). Diantara lima kebutuhan tersebut kebutuhan yang paling penting dan tertinggi dalam tingkatan kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Maslow menyatakan bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk yang baik, sehingga manusia memiliki hak untuk merealisasikan jati dirinya agar mencapai self-actualization atau disebut juga dengan aktualisasi diri (Minderop, 2013: 48). Setiap manusia berhak untuk melakukan aktualisasi diri, untuk mencapai aktualisasi diri tersebut manusia harus terlebih dahulu memenuhi empat kebutuhan lainnya dalam tingkatan kebutuhan Abraham Maslow.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk mengungkapkan diri atau aktualisasi diri. Kebutuhan individu akan aktualisasi diri dapat diartikan sebagai hasrat individu untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri, untuk menyadari semua potensi dirinya, menjadi apa saja menurut kemampuannya dan menjadi kreatif untuk bebas mencapai puncak prestasi potensinya, serta menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimiliki. Dengan demikian, kebutuhan aktualisasi diri ini merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk menunjukkan potensi yang dimilikinya setelah kebutuhan-kebutuhan lainnya terpenuhi (Hikma, 2015:7). Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengungkapkan diri berdasarkan potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu, kebutuhan yang memanfaatkan segala potensi yang ada dalam diri seseorang untuk terus mengembangkan kemampuannya hingga seseorang tersebut menjadi individu yang mampu menunjukkan serta mengungkapkan apa yang ada didalam dirinya.
Maslow menganggap bahwa orang-orang yang teraktualisasi diri adalah orang-orang yang luar biasa karena mereka telah menjadi manusia secara penuh. Ciri-ciri universal dari manusia-manusia ini adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, melihat hidup apa adanya, dan bersikap objektif (Goble, dalam Nugrahini, 2014:21). Seseorang dapat dikatakan telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri apabila ia dapat mengamati realitas kehidupan secara tepat, mengemukakan pendapatnya dengan jelas, spontan, dan sederhana. Seseorang yang telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri melihat segala realitas kehidupan secara apa adanya dan sederhana. Kebutuhan aktualisasi diri dapat dilihat melalui pengungkapan pendapat yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan potensi atau kemampuan yang dimiliki.






















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikologi sastra kaitannya dengan masalah pengaruh daya sastra adalah mengikuti aliran daya itu dalam diri pembaca. Mungkin sastra mengikuti proses keras, cepat, dan secara tiba-tiba menjadikan pembaca berubah total atau sebagian. Kemungkinan lain pengaruh yang lembut, penuh kearifan, tetapi tetap menjadi motif kuat dalam jiwa pembaca. Kemungkinan psikis yang terakhir ini, bisa jadi akan mengubah pandangan hidup pembaca.
Resepsi dan kebebasan tafsir psikologis
Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser (1988:213) yang paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran. Kalimat atau baris dalam sastra selalu bermuatan makna.
Eksperimental estetik pembaca sastra dibagi atas dua macam, yaitu:
1.      Reaksi evaluasi pembaca
Pembaca akan bereaksi setelah bersentuhan dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya telah terpenuhi berbagai butiran reaksi. Reaksi bisa ke arah kontruktif dan destruktif.
2.      Langkah kerja estetik eksperimental
Studi psikologis membutuhkan pengedepanan

Tipologi psikis pembaca dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Kejiwaan pembaca sastra anak.
2.      Tipologi psikis pembaca remaja.
3.      Tipologi psikis pembaca dewasa.
Menurut Maslow, tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan individu tersebut lebih bahagia dan sekaligus memuaskan. Maslow mengemukakan teori kebutuhan bertingkat yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Minderop, 2013:49). Diantara lima kebutuhan tersebut kebutuhan yang paling penting dan tertinggi dalam tingkatan kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow adalah kebutuhan aktualisasi diri.

3.2 Saran
Pembaca adalah bagian dari kutub sastra. Sebagai pembaca di harapkan mampu meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan dalam diri pembaca.  


DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Jakarta: Media Pressindo.